Dari aku, Pidi Baiq
1
Namaku Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi
baru selesai makan jeruk. Nama belakangku, diambil dari nama ayahku.
Seseorang yang aku kagumi, dan dia adalah TNI Angkatan Darat yang
bertugas di Kodiklat. Dia lahir di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat.
Sejak kecil aku tinggal di Jakarta, yaitu di daerah kawasan Slipi.
Tahun 1990 ayahku dipindah tugas ke Bandung, sehingga ibuku, aku, adik
bungsuku, pembantuku, dan semua barang-barang di rumah pun jadi pada
ikut pindah.
Rumahku, yang di Buah Batu, adalah milik Kakekku, Bapak Abidin, yaitu
ayah dari ibuku. Tapi Kakek sudah meninggal pada bulan Mei tahun 1989.
Di rumah itu, jadi cuma ada nenek, karena ibuku adalah anak tunggal.
Khabar bahwa kami mau pindah ke Bandung, membuat nenek sangat senang
dan meminta kami untuk tinggal di rumahnya. Tapi sayang, tahun 1990,
kira-kira sebulan sebelum pindah, nenekku meninggal dunia.
Rumah yang berukuran type 70 itu, kemudian jadi milik ibuku
sepenuhnya. Ada halaman di depannya, meskipun ukurannya tidak luas, tapi
cukup. Tempat tumbuh berbagai bunga dan satu pohon jambu, yaitu jambu
batu, yang ibuku suka kesel kalau sudah mulai banyak ulatnya.
2
Aku juga pindah sekolah, ke SMA Negeri yang ada di Bandung. Bagiku,
itu adalah sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau enggak,
minimal se-Asia lah. Bangunannya sudah tua, peninggalan Belanda, tapi
masih bagus karena keurus.
Ada tumbuh pohon besar di halaman sekolah. Cabangnya banyak dan bagus
kalau dilihat senja hari, dan juga siang, kalau mendung, dan juga pagi,
kalau mau. Sebagian orang percaya pohon itu berhantu, tapi aku gak
takut, kecuali kalau harus tidur sendirian malam hari di situ.
Dulu, jalan di depan sekolahku, cuma jalan biasa, lebarnya kira-kira
tiga meter dan belum banyak kendaraan yang lewat, termasuk angkot.
Sehingga untuk bisa sampai di sekolah, aku harus mau berjalan sepanjang
kira-kira 200 meter, yaitu setelah aku turun dari angkot di daerah
pertigaan jalan itu.
Sekarang jalan itu, sudah berubah, sudah jadi jalan raya yang
dipadati oleh banyak kendaraan. Dulu, motor juga belum banyak. Hanya
beberapa orang saja yang pake. Sebagian besar bepergian dengan angkot
atau bemo.
Rasanya, waktu itu, Bandung masih sepi, belum begitu banyak orang.
Setiap pagi masih suka ada kabut dan hawanya cukup dingin, seperti
menyuruh orang untuk memakai sweater atau jaket kalau punya.
Selain romantis, sekolah itu adalah tempat yang banyak menyimpan
kenangan. Terutama menyangkut dengan seseorang yang sangat aku cintai,
yang pernah selalu mengisi hari-hariku di masa lalu, yang malam ini,
ingin kuceritakan kepadamu.
Akan aku tulis semuanya sesuai dengan apa yang terjadi, meskipun
tidak begitu detail, tapi itulah intinya. Ada nama tempat dan nama orang
yang sengaja kusamarkan, untuk tidak merembet menjadi suatu persoalan
dengan pemilik tempat dan orang yang bersangkutan.
Semua, akan kutulis dengan menggunakan cara si dia di dalam bergaya
bahasa. Entah gaya apa, pokoknya, kalau dia bicara pun, bahasa
Indonesianya cenderung agak baku. Kedenger sedikit tidak lazim, seperti
bahasa melayu lama yang biasa digunakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Tapi itu bukan hal yang harus dipersoalkan, ini cuma sekedar agar bisa
sekaligus mengenang khas dari dirinya.
Sebelumnya, aku mau cerita dulu di mana posisiku sekarang. Malam ini
aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling
Stones, di kawasan Jakarta Pusat, di rumah yang aku tempati bersama
suamiku sejak tahun 1997.
Malam ini, tanggal 11 September tahun 2010. Anakku sudah tidur. Dia
lelaki dan masih berusia 10 tahun. Sedangkan suamiku, dia belum pulang,
katanya ada kerjaan kantor yang membuat dia harus lembur.
Mari kita mulai, dan inilah ceritanya:
3
Pagi itu, di Bandung, pada bulan September, tahun 1990, setelah turun
dari angkot, aku jalan menuju sekolahku sebagaimana yang lainnya yang
juga sama begitu. Bedanya, aku jalan sendirian, yang lain ada yang
berdua atau lebih.
Dari arah belakang, aku mendengar suara motor. Suaranya agak berisik
dan yang bisa kuingat di masa itu, belum begitu banyak siswa yang pergi
sekolah dengan memakai motor.
Ketika motor itu sudah mulai sejajar denganku, jalannya melambat.
Seperti sengaja ingin menyamai kecepatanku berjalan. Pengendaranya
menggunakan seragam SMA
Meskipun saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku tetap
waspada, kuatir barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku. Dia
bertanya:
“Selamat pagi”
“Pagi”, kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar
“Kamu Milea, ya?”
“Eh?”, kutoleh dia, memastikan barangkali aku kenal dirinya. Nyatanya tidak, lalu kujawab: “Iya”
“Boleh gak aku meramal?”
“Meramal?”, Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok meramal? Kok bukan kenalan?
“Iya. Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin”.
Dia pasti ngajak becanda. Aku gak mau. Tapi aku tidak tahu harus
jawab apa. Hanya bisa senyum, mungkin itu cukup, sekedar untuk
berbasa-basi. Jangan judes juga. Iya.
Asli, aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Mungkin satu
sekolah denganku, tapi aku belum mengenal semua siswa di sekolahku,
termasuk dirinya. Aku hanya murid baru. Baru dua minggu.
“Mau ikut?”, dia nanya
“Makasih”, jawabku. Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Kupandang dia, sebentar: “Udah deket”, lanjutku.
“Oke”, katanya, “Suatu hari, Milea, kamu akan naik motorku. Percayalah”
Aku diam, karena gak tahu aku harus bilang apa
“Duluan ya!”, katanya.
Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata “iya”. Habis itu, dia
berlalu, memacu motornya. Nampak baju seragamnya berkelabatan, kalau
guru tahu, pasti akan disuruh dimasukin ke celana.
4
Waktu istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan
untuk memenuhi ramalan anak itu. Boro-boro, kepikiran juga enggak. Aku
hanya ingin membeli sesuatu untuk kuminum. Tapi Nandan, teman sekelas,
Ketua Murid kelas 2 Biologi 3, minta waktu ingin ngobrol denganku,
katanya ada yang mau dibahas.
Dia bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar dia saja yang beli.
Makasih kataku, dan memang, dia lalu pergi, ke kantin. Tak lama dia
kembali, membawa beberapa teh kotak.
Di kelas, selain Nandan, ada juga Rani dan Agus, semuanya teman
sekelas. Hal yang dibahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk
aku menjadi sekertaris, dan juga sekaligus menjadi bendahara kelas 2
Biologi 3. Aku sih oke saja. Bagiku, gampang lah itu.
Waktu kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang permisi dan
lalu masuk ke kelas. Nandan, Rani dan juga Agus, tahu siapa dia. Namanya
Piyan, siswa dari kelas 2 Fisika 1, datang memberiku surat, katanya itu
surat titipan dari kawannya, tapi tidak disebut nama kawannya.
Dengan sedikit rasa heran, setelah Piyan berlalu, kubaca surat itu:
“Milea, ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi aku mau meramal lagi: Besok kita akan ketemu”
Aku langsung bisa tahu siapa yang ngirim surat. Ini pasti dia, orang
yang tadi pagi naik motor dan bilang mau meramal. Nandan nanya, dia
ingin tahu surat apa, aku bilang cuma surat biasa.
Surat itu, segera kulesakkan dalam tas sekolah, untuk kembali
menyimak Nandan yang banyak bicara tentang ini itu yang menurutku
membosankan. Tapi aku sudah tidak bisa lagi konsentrasi dengan kata-kata
mereka. Pikiranku, entah mengapa, sebagian besar, mendadak melayang
kepada Sang Peramal.
5
Hari itu hujan, aku pulang dijemput pamanku. Dia itu adik dari
ayahku, mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi swasta, namanya
Fariz. Dia sudah lama di Bandung dan kost di daerah Setiabudi.
Ayah nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah
dinas ayahku, karena ada sedikit keperluan. Di jalan pulang, entah
mengapa, ramalan orang itu: bahwa besok akan bertemu, terus saja
kepikiran.
Apa? Besok? Hah, besok bertemu? Bukankah besok itu hari minggu? Aku
langsung bisa nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi. Bagaimana bisa
bertemu, kalau tidak di sekolah? Dia, ah, cuma tukang ramal amatir!
Bagiku, tak lebih, dia hanya anak nakal, yang suka iseng menggoda
cewek. Huh! Jika itu baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia
harus tahu aku orangnya selektif.
6
Di hari minggu, waktu sedang nyuci sepatuku, aku mendengar bel rumah
berbunyi, karena dipijit oleh tamu. Aku teriak manggil si Bibi untuk
meladeni tamu itu.
Kebetulan, hari itu, di rumah, hanya ada aku dan si Bibi. Ayah, ibu
dan adik bungsuku sedang pergi ke acara pernikahan saudara. Si Bibi
bergegas nemui tamu dan lalu balik kembali menemuiku:
“Tamu. Mau ke Lia”, kata si Bibi. Lia itu nama panggilanku di rumah
Aku bersihkan tanganku dari busa dan langsung ke sana, nemui tamu
itu. Ya tuhan, aku kaget, ternyata tamunya adalah dia: Sang Peramal. Aku
senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku. Berasa seperti sedang terjadi
kontak batin, antara aku dengannya, membahas ramalannya yang
benar-benar terjadi.
“Hei” Kusapa dia.
“Ada undangan”, dia langsung bilang begitu, seraya menyodorkan sebuah amplop sambil masih berdiri di situ, di depan pintu.
“Undangan apa?”, kupandangi amplop itu.
“Bacalah, tapi nanti”
“Oke”
“Bacalah, bahasa arabnya apa, Yan?” Dia nanya ke si Piyan yang datang bersamanya.
“Apa ya?”, Piyan balik nanya
“Oh! Iqra”, dia jawab pertanyaannya sendiri: “Iqra, Milea!”, katanya lagi.
“He he he” Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja kupandang matanya.
“Aku langsung ya?”, dia permisi untuk pergi
“Kok tahu rumahku?”, kutanya
“Aku juga akan tahu kapan ulangtahunmu”
“He he”
“Aku pergi dulu ya?”
“Iya”
“Assalamualaikum jangan?!”
“Assalamualaikum”
“Alaikumsalam”
“He he he”
7
Aduh, Tuhan, siapa sih dia itu! Maksudku, selain seorang Peramal, aku
ingin tahu siapa dia itu sesungguhnya, dan mengapa tadi aku harus gugup
di depannya?
Aku masuk kamar dan senyum sendiri terutama karena memikirkan soal
ramalannya yang benar. Tapi kenapa dia tidak membahasnya? Membahas soal
ramalan? Atau sengaja? Entahlah. Aku baca surat undangan darinya sambil
selonjoran di atas kasur.
Itu adalah surat undangan yang ditulis dengan mesin tik di atas
kertas HVS. Aku langsung bisa nebak, surat itu dia bikin sendiri:
“Bismillahirahmannirahiim. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Dengan ini, dengan penuh perasaan, mengundang Milea Adnan
untuk sekolah pada: Hari senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu”.
Semua nama hari-hari itu, disertai dengan tanggal.
Di dalam surat itu ada nama: Tuan Hamid Amidjaya. Itu Kepala
sekolahku, sebagai orang yang turut mengundang. Di tiap sisi kertas, ada
gambar hiasannya. Dibikin pake spidol. Gambarnya bagus. Entah bikinan
siapa.
Setelah kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak ingin
pergi dari atas kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan
oleh rasa penasaran karena ingin tahu siapa dia sebenarnya.
Sambil tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang menerawang,
memandang atap kamarku. Ketika ada terbayang wajahnya, langsung
kupejamkan mataku, agar dengan begitu aku bisa mengusirnya, karena aku
merasa itu gak perlu. Gak penting!
Ah, sial. Itu hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan tugas nyuci
sepatu. Segera kusimpan surat itu, di dalam laci meja belajar, sambil
senyum-senyum sendirian, dan langsung pergi ke kamar mandi, menemui
sepatuku.
Kucuci sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya, dan
berusaha kulupakan dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja
kepikiran meskipun sesekali. Aduh, hai, siapa sih dia itu?
Setahuku dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas denganku. Cuma
itu. Itu saja. Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kenapa dia tidak
memberitahu namanya di saat pertama jumpa itu? Haruskah aku yang nanya?
Oh sori ya, gak mau!
Kudengar telepon rumah berdering. Aku senang, karena itu dari Beni,
pacarku di Jakarta. Dia satu sekolah denganku waktu masih di Jakarta,
dan sekarang kami menjalin pacaran jarak jauh.
Beniku keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak
tampan-tampan amat, tapi cukup dan dia sangat baik. Ayahnya seorang
artis film terkenal, yang kadang-kadang suka aku banggakan kepada ayah
ibuku.
Beni sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya. Meskipun
sesekali suka bertengkar, tapi cuma masalah kecil, dan selalu bisa
diselesaikan dengan baik. Hampir setiap hari, Beni selalu menelponku
untuk melepas rasa rindu dan hal lain sebagainya.
8
Hari senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku
berharap tidak ada satu pun orang tahu bahwa diam-diam mataku mencari
dirinya, meskipun aku sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari. Mungkin
cuma ingin lihat saja. Tidak lebih dari itu.
Sampai upacara sudah mau selesai, orang itu, Peramal itu, tak
berhasil kutemukan. Di mana dia? Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak
sekolah? Aku tidak tahu. Ah, ngapain juga kupikirin! Emang siapa dia?
Seorang guru, dengan menggunakan speaker, tiba-tiba, memberi komando,
agar seluruh siswa jangan dulu bubar dari barisan. Kupandang ke depan
karena ingin tahu ada soal apa gerangan, oh saat itulah aku bisa melihat
dirinya.
Dia di sana, di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya.
Berdiri di sana karena dibawa oleh guru BP, setelah berhasil ditemukan
dari tempatnya sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.
Dia dan dua orang temannnya disebut Komunis oleh guru BP. Aku tidak
mengerti apa sebabnya seseorang sampai disebut komunis hanya gara-gara
tidak ikut upacara. Entahlah.
Nun di sana, di tempatnya berdiri, aku yakin, dia sedang menyadari
bahwa ada seseorang di tengah barisan peserta upacara, yang sedang
memandangnya, yaitu diriku. Atau tidak?
Tapi yang pasti, sebagaimana yang lain, aku sedang memandangnya dari jauh, dengan perasaan yang sulit kumengerti.
“Dia lagi!”, bisik Revi seperti ngomong sendiri. Dia teman sekelas, yg berdiri di sampingku
“Siapa dia?”, kutanya Revi
“Dilan”
“Oh”
Dilan itu, adalah yang kemaren datang ke rumah, senyam-senyum depan
pintu. Komunis itu, adalah yang pernah nyuruh si Piyan ngirim surat ke
aku. Anak nakal itu, adalah yang kemaren sempat membuatku penasaran
karena ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.
Mendadak, hari itu, aku bagai malu sendiri bahwa aku pernah ada
sangkut paut dengan dirinya. Mendadak, aku bagai menyesal karena sudah
merasa terhibur oleh surat undangannya.
Sampai-sampai kalau misal ada orang yang nanya, apakah Milea kenal
Dilan? Aku yakin, aku akan langsung pura-pura tidak tahu. Apakah Milea
teman Dilan? Entah mengapa segera akan langsung kujawab: Bukan. Aku
hanya mengenal Beni, pacarku! Beniku baik dan tidak nakal, malahan
guru-guru banyak yang suka kepadanya walau entah karena apa.
Kata Rani, di kelas, setelah upacara, Dilan itu anak kelas 2 Fisika 1
dan anggota gengmotor yang terkenal di Bandung. Jabatannya Panglima
Tempur. Oh ya ya. Aku sering membaca namanya ditulis di tembok-tembok
pake pilox. Oh dia ternyata!
Aku betul-betul jadi takut. Dia pasti sangat nakal, dan juga mungkin
jahat. Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga. Lagi pun kalau
benar dia begitu, mengapa juga harus takut, toh siapa pun dirinya,
ayahku seorang tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.
Pokoknya, mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha
mendekati, meskipun tidak harus kasar kepadanya. Dan tidak perlu terlalu
menanggapi apa pun yang ia lakukan padaku, jika hal itu adalah bagian
dari usahanya untuk melakukan pendekatan.
Kalau dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan
minder setelah tahu siapa Beni. Dilan pasti akan mundur daripada harus
kecewa karena cinta yang tak sampai.
9
Bubar dari sekolah, cuaca mendung, aku pulang bersama kawan-kawan.
Ada Dilan yang menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin dia
pasti akan mengajak aku pulang bersamanya naik motor. Nyatanya tidak,
padahal aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk bisa menolaknya.
“Kamu pulang naik angkot?”
Kujawab dengan anggukan. Entah mengapa, saat itu, aku seperti gak enak
dilihat kawan-kawan sedang didekati oleh dia, si anak nakal.
“Aku ikut….”
“Ikut apa?”, tanyaku tanpa menoleh kepadanya, tapi bagian sudut mataku berusaha melihat ke arahnya.
“Naik angkot”.
“Gak usah”, jawabku sambil memandangnya sebentar
“Kan angkot buat siapa aja”
“Kamu kan naik motor?”
“Nanti motorku dibawa kawan”
“Eh?”
Lalu dia pergi. Kutengok sebentar ke belakang, dia datang lagi dengan
sedikit berlari. Aku tak ingin tahu disimpan di mana motornya. Itu
bukan urusanku, termasuk kalau hilang.
Di angkot, dia duduk di sampingku. Aku benar-benar jadi kikuk, dan juga mati gaya.
“Ini hari pertama, aku duduk denganmu”
Tidak kurespon, karena memang gak perlu. Kuambil buku, lalu kubaca.
Mudah-mudahan bisa membantu mengalihkan pikiranku kepadanya.
Mudah-mudahan bisa membantu membuat dia mengerti untuk jangan mengganggu
orang yang sedang baca.
Tapi dia berbisik, suaranya kudengar pelan sekali menyebut namaku:
“Milea”
Aku diam untuk tidak menanggapi.
“Kamu cantik”, katanya lagi dengan suara yang pelan tanpa memandangku.
Heh? Aku kaget. Serius, hampir-hampir tak percaya dia akan bicara
begitu. Aku bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa
kawan-kawanku di angkot, tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku
merasa seperti malu.
“Makasih”, akhirnya kujawab sambil tetap baca buku, dengan intonasi yang
datar, tanpa memandang dirinya. Dengan suara yang pelan bagai berbisik,
kudengar dia bicara:
“Tapi, aku belum mencintaimu…….Enggak tahu kalau sore”
Ih! Suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir. Aku diam, tidak mau merespon omongannya
“Tunggu aja”, katanya lagi.
Betul-betul, saat itu, rasanya ingin teriak, tepat di kupingnya: Apa sih
kamu ini?! Tapi tidak kulakukan. Aku memilih diam dan bersikap berusaha
tidak akrab dengannya. Habis itu, dia juga diam.
“Aku ramal, kamu akan segera tahu namaku”.
Udah tahuuu! Gak usah diramal-ramal. Udah tahu! Tapi kujawab:
“Iya”
Ketika sudah sampai, aku turun dari angkot, dan langsung kaget,
karena dia juga turun. Aku nyaris merasa kuatir dia akan mampir ke
rumahku. Jika benar, aku akan langsung melarangnya. Jangan sampai
terjadi!
Syukurnya tidak. Dia pamit pergi, dan lalu nyebrang jalan, untuk naik
angkot lagi, menuju arah sekolah. Aku ramal, dia ke sana pasti mau
mengambil motornya.
Tadi, sebelum dia pergi, dia sempat bilang:
“Kamu tahu, Milea, semua siswa itu sombong?”
“Kenapa?”, tanyaku.
“Siapa yang mau datang ke ruang BP, menemui Pak Suripto? Cuma aku, Milea!”
“Ooh!”, aku senyum, tapi sedikit.
Ketika dia pergi, muncul perasaan bersalah sudah bersikap judes
kepadanya. Pastilah dia sedih. Pastilah dia kesal. Dan besok, mungkin,
dia kapok.
Sesampainya di rumah, si Bibi memberiku surat. Itu surat yang terbungkus dalam amplop warna ungu. Oh, surat dari Beni!
10
Kubaca surat Beni sambil terus kepikiran soal Dilan yang mungkin hari
ini sudah kecewa dengan sikapku. Apa salahnya dia, Milea? Mengapa hari
ini kau begitu, padahal baru kemaren engkau tersenyum kepadanya dan
sedikit terhibur oleh surat undangan yang dia berikan padamu?
Aku simpan surat Beni, surat yang penuh kata-kata mendayu berisi
melulu soal cinta dan rindu itu. Heran, biasanya aku senang, entah
mengapa, hari itu, aku merasa seperti sedang berubah di dalam
menilainya: Ah, Beni kurang asik! Maksudku, mungkin aku merasa bosan
dengan dia yang terlalu monoton!
Si Bibi ngetuk pintu, manggil, untuk nyuruh aku makan. Aku keluar
dari kamar dengan isi kepala yang mulai dikacaukan oleh pikiran tentang
omongan Dilan di angkot tadi:
“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja”.
Kata-kata aneh, yang sudah membuatku tersenyum dan yang terus nempel
di kepalaku sampai malam harinya. Di kamar, tiba-tiba ku ketawa, dan
teriak dalam hati, seolah-olah hal itu kutujukan padanya: Mau cinta mau
enggak, dengar ya, hai kau yang bernama Dilan: Terseraaaaaahhh! Itu
urusanmu! Emang gua pikirin!?
Setelah usai shalat isya, aku dapat telepon dari Beni. Dia bicara
lama sekali. Atau sebentar? Tapi entah mengapa aku merasa itu sangat
lama. Dan katanya, dia mau ke Bandung, nanti, minggu depan.
“Kamu senang?”, Beni nanya apakah aku senang jika dia ke Bandung menemuiku? Kujawab:
“Iya”
Memang, harusnya aku senang, Beni. Oke, kalau begitu, baiklah, aku akan berusaha untuk senang.
11
Itu hari selasa, ketika aku mendapat surat dari Dilan. Entah bagaimana Dilan bisa nitip suratnya ke Rani. Isi suratnya pendek:
”Pemberitahuan: Sejak sore kemaren, aku sudah mencintaimu – Dilan!”.
Aku seperti terkesiap membacanya. Lalu dengan cepat, langsung kututup surat itu.
Jadi malu sendiri rasanya, dan berharap Rani tidak sudah membacanya.
Kayaknya belum, karena surat itu dimasukkan ke dalam amlop yang
tertutup.
Aku hanya kuatir orang-orang akan tahu apa isinya. Lalu dengan cepat
kumasukkan ke dalam tas, seolah dengan itu bisa kujejalkan sampai masuk
sedalam mungkin.
Dia, menurutku, hari ini, harus bertanggungjawab, karena sudah berhasil mengganggu kosentrasi belajarku.
12
Di kantin, pada waktu istirahat, aku duduk satu meja dengan Nandan,
Dito, Jenar dan Rani. Masing-masing makan batagor sambil bicara ini itu
yang gak perlu. Mereka semuanya teman sekelas, kecuali Jenar, dia anak
kelas 2 Sosial.
Dilan pasti di sana, bersama kawan-kawannya, di warung bi Eem. Aku
belum pernah makan di sana, selain cuma lewat setiap pergi dan saat
pulang sekolah.
Warung kecil, kira-kira 30 meter dari sekolah, di samping gereja
Pantekosta. Huh! Aku juga tahu, kenapa kamu milih ke sana. Biar bisa
merokok.
13
Aku mau cerita tentang yang lain yang bukan Dilan. Ini tentang
Nandan. Nandan Hadi Prayitno. Kata Rani, Nandan naksir aku, tapi aku
cuma senyum mendengarnya, karena soal itu sudah lama aku tahu.
Aku bisa membaca bagaimana sikap dan perilaku Nandan kepadaku.
Bagiku, semuanya, termasuk suka nelepon malam hari nanya-nanya soal PR,
nraktir kami makan di kantin, berusaha membuatku ketawa dengan aneka
macam lawakan, itu adalah modus, untuk mencari perhatianku.
Aku setuju, kalau ada yang bilang Nandan baik. Dan, kalau aku boleh
jujur, Nandan lebih tampan dari Dilan. Nandan juga humoris, jago basket,
dan lain-lain, pokoknya Nandan adalah lelaki idaman tiap wanita.
Nandan juga masih jomblo, masih belum punya pacar. Pernah sih dekat
dengan Pila, anak kelas 2 Sosial, tapi ga tahu kenapa, belakangan
hubungan mereka jadi renggang.
Aku mau cerita tentang yang lain yang bukan Dilan. Ini tentang
Nandan. Nandan Hadi Prayitno. Kata Rani, Nandan naksir aku, tapi aku
cuma senyum mendengarnya, karena soal itu sudah lama aku tahu.
Aku bisa membaca bagaimana sikap dan perilaku Nandan kepadaku.
Bagiku, semuanya, termasuk suka nelepon malam hari nanya-nanya soal PR,
nraktir kami makan di kantin, berusaha membuatku ketawa dengan aneka
macam lawakan, itu adalah modus, untuk mencari perhatianku.
Aku setuju, kalau ada yang bilang Nandan baik. Dan, kalau aku boleh
jujur, Nandan lebih tampan dari Dilan. Nandan juga humoris, jago basket,
dan lain-lain, pokoknya Nandan adalah lelaki idaman tiap wanita.
Nandan juga masih jomblo, masih belum punya pacar. Pernah sih dekat
dengan Pila, anak kelas 2 Sosial, tapi ga tahu kenapa, belakangan
hubungan mereka jadi renggang.
14
Sumpah, aku terkejut, pas kulihat ada Dilan. Dia datang ke kantin
bersama dua orang yang belum kutahu namanya. Entah bagaimana perasaanku
saat itu, sangat sulit kuungkapkan. Aku hanya tahu aku menjadi salah
tingkah.
Dia mendatangi meja kami, dan menyapaku:
“Hei, Milea!”
“Hei, Dilan”
“Cuma nyapa”
Lalu dia pergi bersama kedua temannya, entah kemana, mungkin ke kelas, tapi sebelum pergi, dia bicara ke Nandan:
“Eh, Dan, kamu tahu gak?”
“Tahu apa?”
“Aku mencintai Milea?”
“He he he”. Nandan tersenyum sambil sekilas memandangku. Rani, Dito dan Jenar, semuanya ketawa. Mukaku pasti merah.
“Tapi malu mau bilang”, kata Dilan lagi
“Itu, sudah bilang? He he” Nandan ketawa kecil
“Aku kan bilang ke kamu, bukan ke dia”
“Dia denger kan?”, tanya Nandan
“Mudah-mudahan”
Dilan pergi. Bisa kubaca mata Nandan, kayaknya dia merasa keganggu
oleh kata-kata Dilan. Bisa jadi itu cuma tebakanku saja. Aku bukan ahli
membaca bahasa tubuh. Cuma aku yakin, Nandan tidak suka dengan Dilan,
sejak itu, sejak dia tahu Dilan menyukaiku. Mencintaiku.
15
Setelah istirahat selesai, kami masuk lagi ke kelas untuk ikut
pelajaran lainnya. Kamu tahu kemana Dilan? Dilan masuk ke kelasku, dan
duduk di bangku sebelahku, membuat Rani jadi pindah ke kursi belakang
yang memang kosong.
Heran, kenapa tidak seorang pun yang berusaha ngusir Dilan? Nandan
sebagai dirinya Ketua Murid, cuma bisa diam saja. Sejujurnya, aku
sendiri merasa risih dengan adanya Dilan. Tapi mau gimana lagi.
Dilan minta kertas, aku kasih. Di kertas itu, dia nulis:
Informasi:
Daftar orang-orang yang ingin jadi pacarmu:
1. Nandan (Kelas 2 Biologi)
2. Pak Aslan (Guru Olah Raga)
3. Tobri (Kelas 3 Sosial)
4. Acil (Kelas 2 Fisika)
5. Dilan (Manusia)
Aku senyum membacanya. Kemudian kulihat dia mencoret semua nama di daftar itu, kecuali nama dirinya.
“Kenapa?”, kutanya
“Semuanya akan gagal”, dia bilang begitu dengan berbisik.
“Kecuali kamu?”
“Iya. Doain”
Kawan-kawanku sibuk dengan dirinya sendiri, seolah-olah tidak merasa
terganggu oleh adanya Dilan, meskipun aku yakin mereka pasti gak suka.
Kulihat Nandan, duduk terus di bangkunya, seperti orang bingung yang gak
suka ada Dilan, tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Pak Atam, guru pelajaran Bahasa Indonesia, sudah datang masuk kelas,
tapi Dilan tidak pergi. Tetap duduk. Edan ini orang, pikirku! Dilan
benar-benar ikut pelajaran Pak Atam. Sambil berbisik, aku ngomong ke
dia:
”Nanti kamu dialpain di kelasmu”
“Ga apa-apa”, jawabnya, seraya tetap memandang ke depan, menyimak
pelajaran, sampai akhirnya Pak Atam tahu ada seorang penyelundup:
“Kenapa di sini?”. Pak Atam nanya. Kawan-kawan sekelas memandang semua
ke arah Dilan. Muka mereka seperti puas karena akhirnya Pak Atam tahu
dan menegurnya.
“Salah masuk, Pak! Maaf!!”, jawab Dilan sambil beranjak dari duduknya
dan pergi diiringi tatapan Pak Atam yang tidak respek kepadanya.
16
Waktu bubar sekolah, Dilan nyusul dan bilang:
“Aku mau datang ke rumahmu. Malam ini”.
Hah? Aku kaget.
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Ayahku galak”
“Menggigit?”
“Serius”
“Aku tidak takut ayahmu”
“Jangan! Pokoknya jangan”
“Aku mau datang”, katanya, sambil berlalu.
“Jangan ih!”, tanpa sadar aku bicara agak teriak. Aku jadi merasa malu
sambil kupandang ke banyak arah, berharap tak ada orang yang denger.
17
Aku belum ngantuk, masih terus ingin nulis. Suamiku masih juga belum
pulang. Mick Jagger, bersama Rolling Stonesnya, sudah habis. Giliran Bob
Dylan yang nyanyi. Sampai mana ceritanya?
Oh ya. Dilan datang! Benar-benar dia datang. Itu kira-kira pada pukul
tujuh malam. Awalnya kudengar suara motor, masuk ke halaman rumahku.
Aku yang sedang makan malam, langsung bisa yakin, tidak salah lagi, itu
pasti Dilan.
Aku lekas masuk kamar bersama piring makan malamku dan bersama perasaan yang tidak karuan.
Biasanya ayahku jarang di rumah, sudah hampir tiga hari ini dia cuti.
Malam itu, dia sedang ada di ruang tengah, sibuk membetulkan radio
CB-nya. Ibuku juga di sana, sedang mencatat urusan kegiatan semacam
Dharma Wanita, Bhayangkara atau apalah.
Jika bel rumah berbunyi, maka salah satu di antara merekalah yang
akan membuka pintu. Menyambut Dilan, kalau benar tamu itu adalah Dilan.
Ya, Tuhan, bisikku dalam hati. Kututup kepalaku dengan bantal sambil
tiduran di kasur.
Entah siapa yang buka pintu, aku gak tahu. Pasti ada dialog di sana,
tapi tidak bisa kudengar. Aku ingin tahu, Aku merasa akan lebih baik
jika tetap diam di kamar. Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara
motor itu, keluar dari halaman rumahku. Ya, jika itu Dilan, dia sudah
pergi.
Dengan aneka macam pikiran yang memenuhi kepalaku, aku duduk di kursi
belajarku, meneruskan makan malam sampai habis dan lalu keluar dari
kamar untuk menyimpan piring makanku.
Selesai dari gosok gigi, pas aku mau kembali ke kamar, telepon
rumahku berdering. Aku lebih dekat ke tempat telepon, sehingga aku yang
ngangkat dan itu adalah telepon dari Dilan, buatku, untuk yang pertama
kalinya.
Tidak usah ditanya bagaimana Dilan tahu nomor telepon rumahku. Kukira dia banyak akal.
“Hallo?”, kusapa yang nelepon
“Selamat malam”
“Malam”
“Bisa bicara dengan Milea?”
“Iya, saya”
“Oh. Aku Dilan”
“Hey”. Mendadak jantungku langsung deg-degan.
“Milea bisa bicara dengan aku?”
“Iya bisa”
“Tadi aku datang”
“Iya”
“Kau tahu?”
“Tahu”
“Kau tahu kenapa aku datang?”
“Kenapa?”
“Kalau aku gak datang, gara-gara kamu bilang ayahmu galak, berarti aku pecundang”
“Iya”
“Lebih baik aku datang. Kalau nanti dimarah, itu bagus, kamu akan kasihan ke aku”
“He he”.
“Kasihan gak?”
“Tadi dimarah?”
“Enggak”
“Syukurlah”
“Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur”
“Oh”
“Kenapa sekarang bisa ngomong? Kamu ngigau?”
“Iya”
“Ha ha ha ha ha”. Dilan ketawa
Sebenarnya aku juga ingin ketawa, tapi pasti kutahan. Boro-boro
ketawa, bicaraku juga sebisa mungkin kubikin singkat-singkat. Entah
mengapa, aku merasa ga enak, kuatir ayah dan ibu dengar. Seolah saat itu
aku merasa bahwa mereka akan marah kalau tahu itu telepon dari Dilan,
meskipun belum tentu mereka akan begitu.
Selesai nerima telepon, aku langsung ke kamar lagi. Sebelumnya ayahku
nanya, telepon dari siapa, aku jawab dari Beni. Dan di kamar, selain
kupakai untuk menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku kugunakan untuk
memikirkan dialog terakhir dengan Dilan di telepon:
“Boleh aku meramal?”, Dilan nanya
“Iya”
“Iya apa?”
“Boleh”
“Aku ramal, nanti kamu akan menjadi pacarku!”
“He he he”
“Percaya tidak?”
“Musyrik”
“Ha ha ha”
“He he he”
“Hey, Milea”
“Iya”
“Kau tahu kenapa aku tidak langsung jujur saja bilang ke kamu bahwa aku mencintaimu?”
“Enggak”
“Padahal kalau mau, aku bisa. Itu gampang”
“Terus? Kenapa?”
“Kalau langsung, gak seru. Terlalu biasa”
“He he he”
“Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang mengucapkan selamat tidur, dari jauh. Kamu ga akan denger”
“He he he”
Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan, haruskah
terus terang, bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya pacar? Iya,
kayaknya harus. Biar sejak itu, Dilan akan berhenti mengejarku.
Biar Dilan tidak akan lagi membuat kejutan-kejutan, yang kalau aku
harus jujur, sebetulnya aku juga suka. Seru! Tidak, kayaknya tidak.
Enggak usah aku bilang. Biarin saja. Aku merasa, sejak ada Dilan di
dalam hidupku, ah, susah kukatakan dengan kata-kata.
Atau haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang di Bandung, satu
sekolah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku? Kayaknya
jangan, aku tahu Beni, jika kukatakan, justeru malah akan nambah masalah
dari pada berusaha menyelesaikannya. Aduh, Beni, aku yakin kamu tidak
akan bisa menolongku!
Lebih baik aku tidur. Di luar turun hujan. Kamu di mana sekarang,
Dilan? Hati-hati kalau di jalan. Kututup mataku dengan bantal dan:
“Selamat tidur juga, Dilan”
18
Aku baru selesai dari kantin, bersama Nandan, Hadi dan Rani. Tak ada
Dilan. Dia jarang ke kantin. Aku sendiri juga heran, kalau memang benar
dia sedang mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin menemuiku? Kenapa
lebih memilih kumpul bersama teman-temannya di warung bi Eem?
Kenapa tidak berusaha bisa duduk di kantin denganku. Bicara denganku,
setidaknya dengan itu, aku bisa tahu langsung darimu, benarkah kamu
suka nge-ganja seperti yang dikatakan oleh Nandan dan Dito? Benarkah
kamu suka minum-minuman keras, seperti yang dikatakan oleh Nandan, Erfan
dan Rani? Benarkah kamu playboy, punya banyak pacar, seperti yang
dikatakan oleh Nandan?
Aku tidak bermaksud mau ikut campur urusanmu, Dilan. Siapalah aku
ini. Tetapi rasanya hampir setiap hari aku selalu mendapat informasi
yang buruk tentangmu. Aku ingin tidak percaya.
Tetapi jika memang itu benar, ya sudah, aku jadi tahu siapa dirimu
dan bagaimana harusnya aku bersikap kepadamu, itu pilihanku. Kamu bukan
pacarku, apa urusanku memikirkan dirimu, tapi aku tidak tahu, Dilan,
mengapa aku ingin tahu.
Ah, Tuhan! Kenapa aku jadi begini?
19
Dari kantin, sebelum mau masuk ke kelas, aku berpapasan dengan Dilan dan kawan-kawan. Pasti baru datang dari warung bi Eem.
“Milea!”, dia manggil dan mendekat
“Ya?”
“Boleh ga aku ikut pelajaran di kelasmu lagi”,
“Kamu mau bikin aku senang?”. Kupandang matanya, hampir-hampir gak percaya bahwa aku bisa nanya seperti itu kepadanya.
“Iya?”
“Ikuti mauku”
“Apa itu, Milea?”
“Jangan!”
“Oh. Oke, kalau begitu”
Dia pergi. Aku masuk kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya. Itu
adalah pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, nama gurunya Ibu Sri, aku
masih ingat.
Bukan ibu Srinya yang kuingat, tapi kejadiannnya, yaitu selagi Ibu
Sri sedang menjelaskan materi pelajaran, papan pembatas kelas itu
tiba-tiba roboh, jatuh ke arah kami.
Ibu Sri lari sambil teriak: “Allahuakbar!!”. Semua orang juga lari,
berusaha menghindar ke arah bangku di bagian paling belakang.
Dari sana, bisa kami saksikan sendiri, bagaimana papan pembatas kelas
itu roboh bersama dua orang yang masih menggantung di atasnya, seperti
sedang menggulingkan papan tulis.
Kedua orang itu adalah: Piyan dan Dilan! Sejak itu, kami bisa melihat wajah-wajah siswa di kelas 2 Fisika 1 pada melongo semua.
Bagaimana itu bisa terjadi? Aku dapat penjelasan langsung dari Dilan
setelah beberapa bulan kemudian. Katanya, waktu itu, di kelas sedang
tidak ada pelajaran, gurunya tidak datang karena sakit. Dia dan Piyan,
berusaha naik ke atas pembatas kelas, untuk mencapai lubang pentilasi
yang ada di tembok bagian atas.
“Ih! Ngapaiiiin?”, kutanya
“Ngintip kamu ha ha ha ha”
“Ha ha ha ha”
“Resiko tinggi mencintaimu”
“Ha ha ha”
Tapi itulah yang terjadi. Mau gimana lagi. Wati, teman sekelasku,
mungkin jengkel. Dia hampiri Dilan, dan melemparkan buku pelajaran ke
arahnya, sambil ngomong:
“Maneh wae, Siah!”. Itu bahasa sunda, kira-kira artinya: “Elu lagi! Elu lagi!”
Dilan tak melawan. Aku langsung ingin tahu, siapa Wati sebenarnya?
Kenapa dia berani kepad Dilan? Dan Dilan diam saja. Selidik punya
selidik, ternyata ibunya Wati adalah adik dari Ayahya Dilan. Ya, Tuhan,
kenapa aku baru tahu?
Dilan dan Piyan, dibawa ke ruang guru! Anehnya aku tidak cemas.
Anehnya aku percaya, Dilan pasti bisa menghadapinya dengan tenang.
Tapi sejak peristiwa itu, selama dua hari, aku tidak lihat Dilan di
sekolah dan juga di mana pun. Mungkin dia sakit. Mungkin dia diskors.
Aku tidak tahu. Aku ingin tahu. Tapi bingung bagaimana caranya? Nanya ke
Nandan atau Rani, kuatir akan nyangka yang bukan-bukan. Nyangka aku
perhatian atau apalah, meskipun iya begitu, tapi mereka jangan tahu.
20
Keinginanku bisa ke kantin berdua dengan Wati, akhirnya kesampaian.
Di kantin, ada Nandan, Rani dan Jenar ingin gabung, makan satu meja
dengan kami, tapi kubilang aku ada urusan dengan Wati. Untung mereka
ngerti.
Pasti kamu tahu, tujuanku ngobrol dengan Wati. Meskipun malu, harus
kuakui, bahwa dari Wati, aku ingin dapat informasi lebih banyak tentang
Dilan. Maksudku, ini menyangkut tentang banyak informasi buruk yang
kudapat tentang Dilan. Aku ingin tahu semuanya, apakah semuanya itu
benar?
Bukan mau ikut campur. Aku mengerti, hidup Dilan urusannya. Bagaimana
pun dirinya, apalah urusanku dengan itu. Aku bukan siapa-siapanya. Aku
bukan pacarnya. Tapi, pengetahuanku tentang Dilan, bagiku, bisa sangat
membantu untuk bagaimana harusnya aku bersikap kepadanya.
Atau, entahlah, aku sendiri tidak mengerti, apa sesungguhnya yang
membuat aku jadi begitu. Jadi seperti detektif yang ngorek-ngorek
informasi orang lain. Tapi, cobalah kamu jadi aku, aku yakin kamu juga
akan melakukan hal yang sama.
Aku duduk berdua dengan Wati, agak di dekat jendela. Aku harus
hati-hati, jangan sampai Wati tahu tujuanku. Setelah ngobrol tentang hal
lain yang gak penting, aku mulai berusaha mengarahkan pembicaraan
supaya membahas pada pokok yang kumaui:
“Eh, ngomong-ngomong, kemarin, waktu si Dilan jatuh, kamu lempar dia pake buku, kok kamu berani sih?”
“Oh? Ha ha ha. Berani lah! Habisnya kesel. Dia itu nakal tahu? Di rumahnya juga begitu!”
“Kamu saudaraan ya?”
“Iya, ibuku kan adik ayahnya”
“Oh, pantes! Enggak. Kaget aja, pas lihat kamu berani mukul dia ha ha ha”
“Habisnya kesel. Nakal dia itu”
“Nakal gimana?”
“Ah, banyak! Pernah tuh, waktu malam minggu, kapan ya, pokoknya dia motong ayam ibuku, diambil di kandang gak bilang-bilang”
“Oh ya?”
“Disate tahu gak?! Dimakan sama temen-temennya di belakang rumah dia!”
“Ha ha ha. Mabuka-mabukan ya?”
“Enggaklah!”
“Tahunya enggak?”
“Tahu aja”
“Ngambil ayam ibu kamu? Kok berani?”
“Pas ditegur ibuku, dia bilangnya salah ngambil, gelap, gak kelihatan”
“Ha ha ha”
“Padahal, kamu tahu gak? Ayahnya itu galak. Tentara”
“Oh ya?!”
“Iya”
“Kecabangan apa?”
“Gak tahu tuh. Gak ngerti”
“Si Dilan pasti pacarnya banyak tuh!”
“Ah, siapa? Kayaknya ga punya pacar dia mah? Terlalu cuek ke cewek!”
“Mungkin masih lebih suka main sama kawan-kawannya”
“Iya kali”
“Emang belum punya pacar?”
“Enggak tahu tuh. Eh, kok jadi ngomongin si Dilan sih?!”
“Iya ha ha ha. Wat, aku pengen main dong ke rumahmu?”
“Boleh aja. Kapan?”
“Nanti deh, aku bilang dulu ke nyokap”
“Hayu”
Yes! Yes! Yes! Aku mauu, Wati. Nanti kita ngobrol yaaaaa!!!
21
Dilan kulihat sekolah lagi. Tapi sejak itu, selama tiga hari, tidak
ada gerakan apa-apa dari Dilan yang bersangkut paut dengan diriku.
Bahkan sampai sehari menjelang ulangtahunku, Dilan kayaknya bersikap
biasa saja.
Aku sempat berfikir, jangan-jangan Dilan malu oleh kejadian robohnya
papan pembatas kelas. Atau, mungkin dia sudah tidak mau lagi denganku.
Atau apa? Aku gak tahu! Aku gak tahu! Termasuk aku gak tahu kenapa hal
itu membuat aku jadi sedih!
Meskipun tidak kurayakan ulangtahunku, tapi banyak kawan-kawan yang
pada ngasih kado, termasuk Nandan. Dia ngasih boneka panda yang cukup
besar. Boneka itu dibungkus dalam plastik, dengan ujungnya yang diikat
pita merah. Nandan ngasih kado itu di kelas, pada waktu istirahat:
”Selamat ulangtahun, Milea. Panjang umur ya. Kadonya boneka, biar apa coba?”
“Biar apa?” Aku senyum.
“Biar kalau tidur, kamu bisa memeluknya”.
“Ih”, aku senyum lagi
Mungkin dia bercanda, atau mungkin juga serius, tapi yang pasti,
mendengar Nandan bilang begitu, kawan-kawanku yang saat itu ada di
kelas, pada teriak:
”Asik euy!!!”.
“Suit-suit!!”
Apa siiih. Biasa aja! Cuma kado Panda, kalau ada uangnya, semua orang
bisa beli. Meluk boneka, mau bentuknya panda mau monyet, bagaimana bisa
kurasakan seolah aku sama sedang memeluk orang yang memberinya? Mungkin
ada yang bisa begitu, tapi aku tidak, kecuali boneka itu bikinan
sendiri.
Dan Beni, sengaja datang ke Bandung, demi untuk merayakan
ulangtahunku. Dia ke rumah pada pukul dua belas malam, bersama empat
orang temannya, Adhit, Bram, Lilo dan Ical. Beni memberiku seikat
rangkaian bunga yang indah. Warna warni dan harum baunya.
Itu bunga kasih sayang katanya, sambil mengecup keningku. Dia juga
membawa kue ulang tahun, yang kami nikmati di ruang tamu, setelah
sebelumnya ada perang colek-colekan krim kue yang seru. Beni pulang ke
Jakarta, satu jam kemudian.
Dilan? Pada harinya, dia tidak memberiku ucapan ulangtahun. Aku
sempat curiga, jangan-jangan Dilan gak tahu ulang tahunku. Mana? Katanya
kamu akan segera tahu hari ulangtahunku?
Kamu tahu tidak, Dilan? Aku sempet yakin, kamu akan menelponku tepat
pada pukul 00:00, menjadi orang awal yang mengucapkan selamat ulangtahun
untukku. Nyatanya tidak. Aku bingung, apakah aku harus kecewa atau
tidak?
Jika aku kecewa, emang siapa diriku bagimu? Kalau tidak kecewa, tapi
aku menunggu ucapanmu, Dilan. Aku tidur dalam gelombang perasaan yang
kosong.
22
Hari itu, aku sedang belajar Biologi, pelajaran praktek mnggambar
anatomi kodok dibagi ke dalam beberapa kelompok, tiba-tiba terdengar
pintu kelas ada yang ngetuk. Aku terkejut ketika tahu orang itu adalah
Dilan.
Untunglah gurunya Pak Rahmat, dan Dilan juga kayaknya tahu, Pak
Rahmat baik, sehingga barangkali itulah maka dia jadi berani. Atau, itu
cuma kebetulan. Kukira, dia pasti akan berani meski siapa pun gurunya.
“Permisi, Pak?”
“Iya?”, jawab pak Rahmat yang sedang duduk di kursi guru.
“Maaf. Ada titipan penting buat Milea”
“Oh. Iya. Silakan”
Dilan masuk, mendatangiku, dilihatin oleh hampir semua orang yang ada
di kelas. Bungkusan yang dibawanya, entah apa itu, dia berikan kepadaku
sambil menjabat tanganku:
”Selamat Ulangtahun, Milea”.
“Makasih, Dilan”, aku senyum. Aku memandang matanya sebagaimana ia juga kepadaku!
Habis itu, dia pergi seraya pamit kepada Pak Rahmat. Heran, aku
merasa tidak malu. Heran, aku justeru malah bangga. Terimakasih, Pak
Rahmat yang baik, guruku yang tua dan pendiam. Aku tidak ingin bilang
bagaimana sikap Nandan saat itu, kau tebaklah sendiri.
Jika hari itu ada yang bilang bahwa hatiku berbunga-bunga, aku
langsung akan setuju. Aku senang, hari itu, ah, entah bagaimana
kukatakan, pokoknya itu adalah hari pertamaku memegang tangan Dilan!
Atau, hari itu adalah hari pertama Dilan memegang tanganku!
23
Jangan diganggu. Aku lagi di kamar, sendirian, membuka kado Dilan.
Tak sabar rasanya ingin tahu apa isinya. Bungkus kadonya dipenuhi oleh
gambar yang dibikin dengan menggunakan spidol warna-warni, entah siapa
yang bikin. Mungkin dia. Mungkin nyuruh kawannya yang jago gambar.
Pelan-pelan kusobek ujung dari pembungkus kado itu. Dan, mari
kuberitahu apa isinya: Satu buah TTS!!! Sama, aku juga terkejut. Kenapa
TTS? Kubuka-buka, barangkali TTS itu cuma hal lain dari inti kado yang
sesungguhnya.
TTS nya udah diisi semua. Sudah dijawab semua, entah benar atau
tidak. Belum sempat kuperiksa, sudah kudapati di tengahnya ada selembar
kertas putih. Ukuran A4 dengan tulisan tangan Dilan yang bagus:
SELAMAT ULANG TAHUN, MILEA.
INI HADIAH UNTUKMU, CUMA TTS.
TAPI SUDAH KUISI SEMUA.
AKU SAYANG KAMU
AKU TIDAK MAU KAMU PUSING
KARENA HARUS MENGISINYA.
DILAN!
24
Hari-hari berikutnya, ada yang lain dari Dilan. Aku merasa Dilan
berubah. Seperti menjauh. Bahkan sudah masuk kategori boleh kuanggap
sombong.
Tak ada lagi hal yang ia lakukan untukku, sebagaimana selalu
kudapatkan sebelumnya. Dia tidak pernah ke kantin, sehingga kalau di
sekolah, hanya sesekali saja aku bisa melihatnya, dan itu pun dari jauh.
Aku tidak tahu, mengapa dia jadi gitu? Aku tidak merasa perlu
bertanya kepada Wati, karena Wati pasti akan menjawab tidak tahu. Itu
urusan Dilan.
Pada kesempatan bertemu Piyan, kuberanikan diriku minta waktunya Piyan untuk ngobrol denganku. Boleh, katanya.
“Tapi jangan sampai Dilan tau”
“Kenapa memang?”, Piyan senyum
“Nanti deh aku cerita”
“Sip!”
25
Akhirnya aku bisa ngobrol dengan Piyan, pada waktu istirahat, di
tempat tukang photo copy yang ada di luar sekolah. Aku ceritakan
semuanya, dari mulai awal aku bertemu Dilan, sampai tentang banyak hal
yang sudah ia lakukan untuk “mendekati”ku. Piyan ketawa. Sama, aku juga
ketawa.
“Tahu gak, Mamaku ketawa, pas aku ceritain soal dia ngasih TTS buat hadiah ulangtahunku”, kataku kepada Piyan.
“Si Gelo!”
“Ha ha ha ha. Dia pernah ngasih coklat ke aku. Tahu siapa yang nganterinnya?”
“Siapa?”
“Tukang koran ha ha ha! Yang suka datang ke rumah nganterin majalah langganan”
“Ha ha ha”
“Yang nerimanya si Bibi!!”
“Hah? Ha ha ha terus?”
“Pas dia tau tukang koran itu ngasih coklat buat aku, Si Bibi pastilah nanya dari siapa?”
“Apa kata tukang koran?”
“Dari Dilan, penjaga Milea ha ha ha!”
“Anjrit! Ha ha ha”
“Ada lagi! Ada lagi!”
“Apa?”
“Kan dia nelpon……..”
“Ya?”
“Yang nerima si Bibi”
“Terus?”
“Dia malah ngobrol, sama si Bibi…coba! Bukannya langsung bilang mau bicara sama aku”
“Skandal! Ha ha ha. Ngobrol apa?”
“Kata si Bibi sih, dia ngaku teman aku, dan tukang ramal. Ngaku bisa
tahu angka berapa judi Porkas besok keluar”. (Porkas itu semacam judi
yang dilegalkan oleh pemerintahan zaman Orde Baru. Konon, untuk membantu
kegiatan olah raga di tanah air. Sekarang sudah tak ada)
“Ha ha ha berapa katanya?”
“Ah, paling juga dijawab ngawur. Terus, dia bilang, sampaikan ke Lia, kalau sholat harus menghadap kiblat”
“Ha ha ha ha”
“Ada lagi! Ada lagi!”
“Banyak amat!”
“Banyak, Piyaaaan!”
Terus kenapa sekarang Dilan berubah, Piyan? Kenapa dia jadi sombong,
Piyan? Si Piyan bilang tidak tahu. Tapi kemudian dia cerita bahwa, Dilan
sering cerita soal aku. Ah, aku senang pas dia ngomong bagian yang ini.
“Nah, soal dia berubah, apa ya? Dia pernah bilang sih: Jangan diganggu Milea. Dia sudah pacaran sama Nandan?”
“Hah? Apa?”
“Iya. Dia bilang gitu. Menurutku sih kayaknya gara-gara itu deh. Bisa jadi”
“Kok? Enggak ih!! Kok dia bisa bilang begitu?”
“Enggak tahu. Dilan bilang ke aku sama si Ajun, katanya, sudah jangan diganggu”
“Iiihh, Enggak, Piyan ih! Bilangin ke dia!”
“Bilang gimana?”
“Aku enggak pacaran sama Nandaan!!”
“Ya, udah, nanti aku bilang!”
“Harus, Piyan! Jangan lupa sampaiin. Tolong ya, Piyan!”
26
Aku tahu sekarang. Pantesan Dilan jadi gitu! Aku enggak pacaran sama
Nandan, Dilan! Emang siapa sih yang bilang, sampai kamu bisa ngomong
begitu? Pokoknya Piyan harus menyampaikan kepadanya bahwa aku tidak
pacaran sama Nandan! Titik! Harus! Wajib!
Sejak itu, mulai besoknya, aku sudah tidak pernah ke kantin lagi
bareng-bareng dengan Nandan. Setiap hari, selalu kuusahakan punya alasan
untuk menolak ajakan Nandan pergi ke kantin. Sampai-sampai kalau pas
istirahat aku lebih sering memilih untuk diam di kelas.
Jengkelnya kalau Nandan sudah ikut-ikutan diam di kelas, aku jadi
pura-pura pergi ke toilet atau kemana lah yang penting terhindar dari
gosip bahwa aku pacaran sama Nandan. Ya, Nandan pasti ngerasa aku
berubah. Ya, aku juga kasihan ke dia. Tapi biarin! Asal Jangan Dilan
yang berubah ke aku!
Bagaimana dengan Beni? Ya, aku pacaran dengan dia. Tapi, aku mau ke
dia karena dulu belum tahu bahwa di dunia ini ada Dilan! Mengerti kaaan?
Selama cuma pacaran, kukira, aku masih punya hak untuk memilih, sampai
bisa kudapati orang yang pantas kunikahi! Coba jadi aku deh, biar bisa
kau maklumi.
27
Hari itu adalah hari sabtu, belajar di kelas ditiadakan, karena ada
acara seleksi pemilihan siswa terbaik, yang akan mewakili sekolah
menjadi peserta Cerdas Cermat di TVRI. Acara itu di selenggarakan di
aula sekolah.
Pesertanya diambil dari tiap kelas, sebanyak tiga orang, yaitu mereka
yang tercatat sebagai siswa yang selalu mendapat rangking 1, 2 dan 3.
Diambil dari kelas Sosial, Biologi dan Fisika. Di kelasku yang terpilih
adalah Gatot, Enjang dan Warti. Mau tahu tidak, siapa siswa yang
ditunjuk dari kelas 2 Fisika 1? Dia adalah: Dilaaaaaaaann!! Yeeeeee!!!
dan dua orang lagi yang aku sudah lupa namanya. Masing-masing dicampur
menjadi beberapa group.
Ketika acara itu dimulai, aku nonton sedikit agak di depan, ah kau
taulah kenapa. Aku bisa puas melihat Dilan dari agak sedikit dekat,
meskipun, aku GR sedikit ya, aku takut kalau Dilan tau ada aku, nanti
akan membuatnya grogi. Nyatanya tidak, kulihat dia biasa saja.
Itu acara yang seru. Satu sesi menampilkan 3 group. Group A, B dan C.
Ketika giliran groupnya Dilan, aku langsung degdegan! Serius! Sangat
berharap groupnya Dilan akan menang dan terpilih! Tapi pas selesai babak
satu, babak dua dan tiga, hasil perhitungan nilai menunjukkan groupnya
Dilan dapat posisi kedua. Aku sedikit kecewa.
Aku berharap, groupnya Dilan bisa mengejar ketinggalan pada sesi
pertanyaan rebutan. Itu adalah sesi di mana Sang Penanya akan memberikan
pertanyaan kepada siapa saja, dan yang bisa lebih dulu memijit bel,
akan mendapat kesempatan untuk menjawab. Resikonya adalah, jika
jawabannya itu salah, maka akan dikurangi nilainya.
Dari jauh aku bisa lihat Dilan nampak terlihat tenang. Iya, bagus,
Dilan, harus gitu! Jadikan ini hari terbaikmu! Tetap semangat. Doaku
selalu menyertaimu. Begitulah aku hari itu. Repot dengan diriku sendiri.
Lebih repot dari mereka yang lebih pantas untuk repot. Biariiiiiin!
Sesi pertanyaan rebutan dimulai. Sang Penanya mengajukan
pertanyaan:“Siapa menteri Agama Kabinet Pembangunan V?”. Aku senang, pas
tahu Dilan berhasil mijit bel lebih dulu. Yes! Dilan pasti tahu!
Tapi apa jawaban Dilan waktu itu?: “Mahatma Gandhi!”. Aku langsung
kecewa! Bukan ih!! Munawir Sadjali, Dilaaaaaann!! Aku langsung curiga,
dia pasti sengaja! Pasti!!!
Semua orang ketawa bahkan ada yang sampai terkekeh-kekeh. Tentu saja,
karena penonton juga tahu, Mahatma Gandhi itu bukan Menteri Agama, tapi
seorang Penggerak Kemerdekaan India!
Kalau aku pernah sangat jengkel ke Dilan, maka itulah harinya! Tapi,
asli, ini adalah kenangan lainnya dari dia yang tidak bisa kulupakan.
Tidak cuma itu! Waktu ada pertanyaan:” Jelaskan latar belakang
pergeseran kekuasaan yang membentuk undang-undang dari Presiden menjadi
kewenangan DPR?”. Tahu apa jawaban Dilan? Setelah dia berhasil bisa
mijit bel lebih awal? Dia menjawab dengan tenang:”Tidak tahu, Pak!”.
Semua orang ketawa. Aku tidak! Serius, aku tidak! Aku justeru jengkel
ke dia. Ya, udah, Dilan, kalau memang tidak tahu, jangan dijawab ih!
Jadi aja nilaimu terus dikurangi dan akhirnya group kamu kalah! Gak jadi
deh masuk teve. Aku pandang dia dari jauh, tapi itu adalah pandangan
yang gemas!
Tapi biar bagaimana pun, itu adalah harinya, di mana dan kapan pun, setiap aku mengingatnya, aku akan langsung tersenyum.
28
Seandainya semua anggota gengmotor seperti Dilan, atau minimal Piyan,
maka tidak akan ada seperti si Anhar dan si Kusnadi. Anhar itu anak
kelas 3 Sosial. Temannya Dilan, satu komplotan, sama-sama gengster,
sama-sama suka kumpul di warung bi Eem.
Anhar suka petantang petenteng, seolah-olah, baginya, hanya
dirinyalah yang paling jago di dunia dan akhirat. Truoblemaker dan konon
diam-diam, bersama si Engkus, suka malakin anak-anak kelas satu.
Malahan ada info dari Rani, katanya, Anhar itu pernah ditahan polisi
karena melakukan tindakan kriminal di jalan. Memalukan! Menjijikan!
Tidak elegan! Menghancurkan citra korpsnya sendiri. Memanfaatkan nama
kelompoknya hanya untuk kepentingan pribadi dan untuk merasa puas bisa
menekan siapa pun yang dia anggap remeh!
Di sini, aku sedang tidak ingin membela Dilan, seolah aku sedang
berusaha menyampaikan bahwa Dilan itu orang suci. Tidak sama sekali. Aku
juga tahu Dilan suka berantem. Aku juga tahu bahwa Dilan pernah
diskors, sebelum aku pindah ke Bandung, karena terlibat tawuran.
Kau boleh bilang bermilyar-milyar kali bahwa Dilan itu anak nakal,
genster brengsek, atau yang lebih buruk dari itu. Itu hakmu. Tapi
bagiku, Dilan berbeda dengan Anhar dan Engkus. Ini aku bilang dengan
melepas perasaanku kepadanya, biar sedikit bisa objektif.
Sebetulnya, ingin juga kujelaskan, kepada siapa pun, di sini, bahwa
jika Dilan berantem, sesungguhnya itu lebih disebabkan oleh karena ia
ingin membela harga dirinya, dan kehormatannya. Tapi kayaknya percuma,
sebab aku yakin kamu tidak akan percaya.
Sebelum aku datang, kata Wati, Dilan pernah berantem dengan anak
kelas 3. Gara-garanya disebabkan oleh karena orang itu bilang ke Dilan,
waktu Dilan melewati mereka yang sedang nongkrong, (kelak di kemudian
hari, Dilan menjelaskannya kepadaku dengan detail):
”Tong mentang-mentang Anak Kolong lah! Biasa weh! Teu sieun!”. Bahasa
sunda, kira-kira artinya:”Jangan mentang-mentang Anak Kolong lah! Biasa
aja! Gak takut!”. (Anak Kolong adalah sebutan untuk mereka yang ayahnya
tentara)
“Kenapa kamu ngomong gitu?”, Dilan menghampiri orang itu.
“Naon ieu teh?”, si orang itu balik nanya (”Apa sih ini?”)
“Kenapa kamu ngomong gitu?”.
“Ngomong naon?”. Si orang itu masih juga balik nanya (“Ngomong apa? Enggak”)
“Kenapa kamu ngomong gitu?”, Dilan masih dengan pertanyaan yang sama
“Naon, Anjing!”. (“Apa, Anjing!?”) Si orang itu akhirnya berdiri dan mulai merangsek.
Dilan kemudian menghajarnya, dan terjadilah baku hantam. Konon,
diawali dengan adanya kejadian itu, Dilan pernah di rawat di rumah sakit
Boromeus, katanya di ruang Yosep, kamar 1520, dan koma selama 1 hari,
akibat terkena tusukan di perutnya.
Itu terjadi di daerah jalan Merdeka, sekarang Bandung Indah Plaza
(BIP). Aku pernah melihat bekas jahitan di perutnya. Dicurigai sebagai
balasan yang harus Dilan terima. Tapi entahlah. Kasus ini tidak pernah
diusut sampai tuntas. Pelakunya tidak pernah terungkap!!!
29
Aku yakin, kepada Anhar, Dilan tidak pernah membicarakan soal
dirinya menyukaiku. Karena kalau Anhar tahu, dia pasti tidak akan berani
menggodaku. Sekali waktu, dia pernah nelepon ke rumahku, entah dapat
nomor dari mana.
“Aku suka merhatiin kamu lho?”
“Oh ya? Kenapa?”
“Kamu cantik lah”
“Kamu temenan sama Dilan?”, aku nanya.
“Iya. Kenapa gitu?”
“Salam buat dia!”
“Pengen ya ke Dilan?”
“Menurutmu?”
“Suka ya?”
“Tanya aja dia”
“Nanti deh aku tanyain”
“Tanyalah”
“Eh Milea, boleh ga, aku pinjem jaketmu? Biar kalau kupake jadi kerasa dipeluk kamu”
“Norak tahu!”
“Tapi kamu suka kan?”
“Alhamdulilah enggak”
Obrolan yang sangat membosankan! Cowok macam apa pengen make jaket
cewek! Katanya gengster, tapi obsesinya malah pengen jadi waria.
30
Siswa yang terpilih untuk mewakili sekolahku menjadi peserta cerdas
cermat di TVRI adalah Gatot, Haikal dan Ayu. Tapi siswa lain juga boleh
ikut untuk menjadi suporter. Syaratnya harus bayar ongkos untuk biaya
menyewa bis ke Jakarta.
Aku ikut dan senang karena bisa datang ke Jakarta, setidaknya dengan
itu bisa sekalian dimanfaatkan untuk aku bernostalgia. Tapi aku kecewa,
karena Dilan tidak ikut!
Karena tahu Dilan gak ikut (Aku dapat info dari Piyan), malamnya
kutelepon Beni. Sebetulnya, aku tidak sama sekali berharap ketemu Beni.
Aku cuma takut, kalau kemudian Beni tahu bahwa aku ke Jakarta dan tidak
bilang, pasti dia akan marah.
Di telepon, Beni bilang dia senang. Dia memastikan akan datang ke
stasiun televisi tempat di mana kami akan melangsungkan pertarungan.
Tapi pas selesai acara (Tim kami kalah), Beni belum kunjung datang juga.
Sampai-sampai aku mengira, mungkin Beni ada acara, sehingga dia tidak
bisa datang.
Sudah dicoba kutelepon ke rumahnya, dengan menggunakan telepon umum, tapi yang nerima ibunya, katanya dia di rumah pamannya.
Setelah usai acara, sebelum pulang ke Bandung, rencananya kami akan
mampir dulu ke Monas. Jalan-jalan. Tapi sebelumnya, siswa disarankan
untuk mencari makan dulu, yaitu di sekitar kawasan kantor stasiun
televisi. Jangan jauh-jauh.
Nandan ngajak aku makan, awalnya aku gak mau, tapi karena Novi ikut
juga, aku jadi mau. Pas lagi makan, Novi izin, bilang mau ke toilet. Dia
pergi, meninggalkan aku berdua dengan Nandan. Pada saat itulah Beni
datang.
Dia berdua dengan Saribin, kawan sekelasnya, kawanku juga. Dia
langsung duduk di depanku, karena aku duduk bersampingan dengan Nandan.
“Tahu dari mana aku di sini?”, kutanya Beni
“Temenmu ngasih tau. Emang kenapa kalau tahu?”, Beni balik nanya
“Ga apa-apa. Nanya aja. Kirain ga akan datang”, jawabku.
“Suka kalau gue ga datang?”, Beni nanya dengan tatapan yang bisa dianggap mengerikan
Aku diam. Percumalah kujawab. Matanya sudah nyala oleh api cemburu.
Dia pasti marah! Aku tahu siapa dia. Harusnya hal sepele macem ini gak
usah terjadi, seandainya dia bukan orang cemburuan.
Dengan perasaan gak karuan, aku kenalkan Nandan kepadanya. Beni
menyikapinya dengan mata kebencian. Dia memandang kami menggunakan wajah
permusuhan. Aku jadi gak enak ke Nandan.
Beni nanya:
“Cuma berdua?”
“Banyakan. Tadi, disuruh…”, sebelum jawabanku selesai, Beni memotong:
“Disuruh apa? Disuruh berpasang-pasangan?”
“Beni! Apa sih?!”, kataku sedikit teriak karena kesal
“Terus elu, siapa, lagi?!”. Beni menunjukkan jarinya hampir deket ke
wajah Nandan. Nandan kulihat dia nampaknya ketakutan. Aku langsung
merasa kasihan ke dia.
“Beni!”, aku berdiri.
Beni berdiri juga seraya membentakku: “Diam kamu!”. Terus dia memandang ke Nandan sambil bicara dengan nada menantang:
“Lu pacarnya!?”
“Bukan, Mas”, Nandan menjawab gemetar
“Terus ngapain lu berdua?!”, Beni membentak Nandan. Saribin berusaha melerainya.
“Teman aja, mas. Makan”, kata Nandan
Tiba-tiba Beni nyoba nampar Nandan. Nandan mengelak, justeru malah
membuat Beni makin jadi emosi. Dia merangsek dan lalu berusaha memukul
Nandan. Saribin berusaha mencegahnya. Aku teriak untuk bisa
menghentikannya.
Saribin berusaha kuat bisa memegang Beni yang terus memaki Nandan. Di
saat bersamaan Novi datang dan langsung merasa bingung dengan apa yang
terjadi:
“Pergi, lu!”, Beni membentak Nandan.
Nandan pergi bersama Novi yang masih kebingungan. Aku juga ikut pergi, sambil bilang ke Beni:
“Kita putus!”
“Dasar pelacur!” Beni memakiku.
Itu kata yang bisa kudengar dari banyak kata-kata buruk lainnya yang
Beni ucapkan. Setelah selesai bayar makan, aku jalan bergegas sambil
nangis dan langsung masuk ke bis yang sudah dipenuhi oleh kawan-kawanku.
Dalam hati yang kacau, aku mendengar Nandan sedang menjelaskan duduk
persoalannya kepada semua orang yang ada bersamanya. Sebetulnya aku
berharap dia tidak cerita. Tapi sudahlah.
Aku nangis di bis ditemani Sarah, ibu Sri, Wati dan Rani. Mereka
berusaha untuk membuatku tenang. Wati di sampingku, dia nanya ada apa?
Tangisanku sedikit menjadi ketika memeluknya. Memeluk Wati, bagiku, saat
itu, rasanya seperti sedang memeluk Dilan. Serius. Mungkin karena aku
berpikir bahwa pada tubuh Wati ada darah daging yang sama dengan Dilan.
Kau tahu lah: Wati adalah saudaranya.
“Kenapa?”, Wati nanya sedikit berbisik dan mengelus punggungku
“Watiii…”,
“Iya, kenapa?”
“Dilan….”
“Dilan?”
“Kenapa Dilan gak ikut…………?”
Aku nangis dengan perasaan tak karuan, sambil terus meluk Wati. Wati
pasti bingung kenapa kasus ini bisa bersangkut paut dengan Dilan?
Makian Beni sangat menyakitkan hatiku. Tak kusangka dia akan bilang
begitu. Tak kuduga bahwa hari ini akan ada. Sambil kuseka air mataku,
terkenang kalimat Dilan di telepon, beberapa waktu yang lalu:
“Jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu, Milea”
“He he he. Kenapa?”
“Nanti, besoknya, orang itu akan hilang!
“…..”
31
Aku sakit. Katanya kecapean. Capek apa ya? Enggak tahu lah, dokter
bilangnya begitu. Jangan berdebat, nanti jadi malah tambah sakit. Udah,
percaya aja. Aku disuruh istirahat. Selama tiga hari, aku gak masuk
sekolah.
Di hari kedua aku sakit, beberapa kawan sekelas datang menjenguk.
Nandan juga ikut. Aku temui mereka di ruang tamu. Iya, aku masih bisa
jalan, sakitku tidak parah-parah amat. Satu-satu dari mereka menyalamiku
dan mengucapkan doa kesembuhan.
Mereka bawa buah-buahan. Nandan diam terus, cuma bilang cepat sembuh.
Kayaknya ada banyak yang ingin dia omongin, terutama ngebahas peristiwa
di Jakarta, hanya waktunya aja yang belum tepat, mengingat akunya juga
lagi sakit.
Aku duduk di situ, di bagian ujung kiri sofa panjang, dan Rani duduk
di sampingku. Galih duduk di samping Rani, di ujung kiri sofa. Nandan
duduk di kursi lainnya. Tatang berbagi duduk dengan Revi di kursi yang
beda. Sebagian lainnya pada di luar, bercengkrama, sambil menyemangati
kawannya yang ngambilin jambu batu.
Orang yang datang, semuanya dari kelas 2 Biologi 3. Kalau jaman dulu
sudah ada handphone, pasti aku sudah akan SMS Dilan. Ingin tahu di mana
dia. Mudah-mudahan sehat selalu. Maaf, Dilan, terserah, kau mau bilang
apa, tapi aku rindu.
“Wati mana?”, kutanya Rani
“Itu di luar”
“Wat!”, aku berusaha manggil Wati
“Wat, dipanggil!” Tatang teriak. Wati datang
“Ya?”
“Sini”
“Sini, Wat”, Rani manggil, sambil bergeser untuk membagi tempat duduk
dengan Wati. Wati duduk secukupnya di antara Rani dan Galih.
“Ada apa?”, tanya Wati
“Enggak. Di sini aja, Wat”, jawabku.
“Itu, anak-anak lagi pada ngambilin jambu”, kata Wati
“He he ga apa-apa. Kamu mau?”
“Udah”
“Kalau mau lagi ambil aja”
Si Bibi datang, bawa minuman dan kue. Suasana ruang tengah cukup
rame. Ngobrol sana-sini, seperti kebanyakan anak remaja di dunia. Mereka
juga membahas soal kesiapan menghadapi PORSENI. Pekan olah raga dan
seni yang akan diselenggarakan di sekolah.
Telepon rumah berdering, yang ngangkat si Bibi. Kata si Bibi, itu telepon dari Beni.
“Bilang lagi tidur aja, Bi”
“Iya” jawab si Bibi sambil pergi.
Aku yakin, selama tidak sekolah, sebagian kawan ada yang ngebahas
peristiwa di Jakarta. Entah dari sudut pandang apa mereka beropini.
Beredar dari mulut ke mulut, bagai apa yang membakar jerami kering. Aku
pasrah. Bahkan aku tidak mau membahasnya ketika mereka pada datang ke
rumahku.
Berita itu mungkin sudah sampai juga ke Dilan. Aku gak tahu. Aku
belum bertemu Dilan sejak pulang dari Jakarta. Kalau memang benar
sampai, sejak itu Dilan tahu bahwa ternyata diam-diam aku sudah punya
pacar. Aku pasrah, terserah dia mau bersikap apa kepadaku setelah semua
itu.
Telepon berdering lagi, yang angkat si Bibi lagi. Dari Dilan katanya. Oh!
“Bentar”, kataku sambil mau beranjak dari dudukku dan lalu ke sana
untuk nerima telpon dari Dilan. Entah mengapa, rasanya, tangan ini rada
sedikit gemetar.
“Halo?”
“Kamu sakit?”, tanya dia, tanpa ba bi bu langsung nanya begitu
“Eh? Sedikit. Sudah mau pulih. Kamu di mana?”
“Kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Sakit kenapa?”
“Sakit biasa. Kata dokter kecapean”
“Ya, aku harusnya kemaren ikut ke Jakarta”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu, merasa harus aja”
“Kenapa harus?”
“Makan berdua denganmu di Jakarta mengganti Nandan”
“He he he he. Kan di Bandung juga bisa”
“He he Iya. Nanti, Milea”
“Kamu di mana?”
“Tapi aku nyesal kemaren tidak ikut ke Jakarta”
“Ya sudah. Gak usah disesali. Kamu di mana?”
“Di planet bumi”
“Ih! Serius di mana?”
“Di? Bentar aku mau nanya orang. Aku tutup dulu ya teleponnya. Nanti kutelepon lagi”
“Eh? Ha ha ha. Masa’ gak tahu?”
“Bentar, bentar. Jangan pergi dulu dari situ”. Klik. Dia menutup
teleponnya. Aku tunggu sambil senyum-senyum sendiri. Tak lama telpon pun
berdering. Kuangkat.
“Halo?”
“Di Sekelimus”, katanya. Sekelimus adalah nama daerah di kawasan Buahbatu
“Ha ha ha ha Kamu beneran nanya?”
“Iya”
“Ha ha ha ha. Sini, Dilan. Ada Wati”
“Ngapain dia di situ?”
“Sama yang lain, pada nengok aku katanya?”
“Oh? Kamu masih sakit?”
“Sudah mendingan. Sini, Dilan”
“Iya. Iya. Aku ke sana”
“Serius?”
“Serius enggak ya? Bentar aku tanya orang. Aku tutup dulu ya teleponnya?”
“Gak usah heh!!!”
“Ha ha ha ha ha ha”
“Udah, pokoknya aku tunggu”
“Iya. Aku ke sana sekarang”
Waaah, Dilan mau datang. Senangnyaaaaa!!
32
Habis nerima telepon Dilan, aku ke kamar. Aku tak ingin bilang ke
kawan-kawan bahwa Dilan akan datang. Biar kalau mereka lihat aku ganti
baju, ya karena memang ingin ganti baju aja. Biar, kalau mereka lihat
aku nampak segar, ya karena ingin cuci muka aja.
Aku kembali ke sana, menemui kawan-kawan di ruang tamu: Menunggu
Dilan! Entah bagaimana rasanya, aku ingin jadi penyair untuk bisa bagus
mengatakannya.
Setelah agak lama menunggu, aku mendengar ada dialog di luar:
“Ada, di dalam, masuk aja”, kata Didin, teman sekelasku.
Tapi itu bukan Dilan. Itu ibu-ibu yang sudah tua. Mungkin usianya sudah 60-an. Dia masuk dan bilang mau ketemu dengan Milea.
“Ada apa, Bi Asih?”, tanya Wati. Rupanya dia kenal.
“Eh Neng Wati”, Bi Asih menyapa Wati
“Iya, Mak? Ada apa?”, tanyaku.
“Saya disuruh ke sini. Katanya ada yang mau dipijit?”
“Mijit?” aku nanya seolah pada diri sendiri.
“Mijit siapa?”, tanya Wati.
“Siapa namanya? Mila, Milea….“, kata Bi Asih
“Disuruh siapa, Mak?”, tanya Nandan. Kawan-kawan di luar, sebagian pada masuk ingin tahu ada apa.
“Ade Dilan. Tadi nganterin ke sini”, jawab Bi Asih
“Tuh da si eta wae. Pieraeun!”, ujar Wati, yang artinya “Kaaan dia lagi. Bikin malu aja”
“Mana si Dilannya?”, tanya Wati
“Katanya, tadi mau ada perlu dulu. Katanya sebentar. Nanti ke sini lagi katanya”
“Ha ha ha ha ha”, aku ketawa, entah mengapa aku ketawa, “Ya udah, sini, Mak! Duduk sini. Tang, biar si emak duduk di situ”.
Tatang berdiri, Revi juga:”Di sini, Mak”
“Kok Dilan bisa ketemu emak di mana?”, tanyaku.
“Ini mah Bi Asih. Tetanggaku, suka mijit”, kata Wati
“Tadi. Dilan datang ke rumah. Nenek kan suka mijit ibunya Dilan, Neng”, Bi Asih menjelaskan.
“Oooh gitu. He he he”, Aku senyum, “Ya udah. Sini, Mak. Di sini mijitnya. Ran, geser, Ran”, kataku lagi. Aduh, Dilan!
33
Dengan masih tetap duduk menyandar, sebelah kakiku kulonjorkan di
kursi. Bi Asih memijitnya. Aku bilang ke dia jangan keras-keras. Asal
aja. Asal pijit aja. Aku tidak pernah dipijit. Maksudku, itu cuma
sekedar untuk menghargai bantuan Dilan. Aku senyum-senyum gak jelas.
Dilan mana? Belum datang juga.
Kawan-kawan jadi pada ngobro soal Dilan. Cerita tentang Dilan yang
belum pernah kudengar, karena terjadi sebelum aku pindah ke Bandung. Aku
senang mendengarnya. Sangat senang. Serius. Bahkan rasanya aku siap
jika harus membahasnya sampai malam.
Sedangkan Nandan, kulihat, seperti tidak tertarik untuk ikut membahasnya. Dia asik bicara dengan Galih, entah soal apa.
Mereka cerita, dulu di sekolah pernah heboh oleh adanya tulisan di
sepanjang jalan menuju sekolah. Tulisannya: “Hamid Loves Dilan”, ditulis
dengan kapur.
“Hamid itu siapa?”, kutanya
“Hamid! Hamid Kepala sekolah!”
“Oh? Ha ha ha ha. Terus apa kata guru?”, kutanya lagi
“Gak tau, katanya dipanggil Pak Suripto ya?”
“Iya”
“Pasti si eta sorangan lah nu nulisna”, kata Wati. (Pasti dia sendiri lah yang nulisnya)
Si Bi Asih kulihat dia senyum juga mendengar obrolan itu.
“Bi Asih kenal Dilan?”, kutanya dia.
“Kenal, Neng. Kan suka nganterin Emak kalau sudah mijit ibunya”
“Naik motor?”, tanyaku. Kawan-kawan bersikap seperti orang yang ingin menyimak kisah Bi Asih
“Iya, Neng, naik motor. Ke rumah. Emak pernah dianterin, gak tahunya mampir ke warung dulu”
“Ngapain?”, tanyaku
“Itu, diajak ngopi. Ada temen-temennya di situ”
“Emak ikut ngopi di situ?”
“Iya”
“Da si eta mah…ha ha ha ha” Wati keburu ketawa sebelum meneruskan
kalimatnya. Aku juga ketawa, yang lain juga. (Artinya: Tuh kan dia itu)
“Ngapain aja Emak di situ?”, tanya Revi
“Duduk aja?” tanyaku
“Itu, disuruh cerita pacaran Emak sama suami Emak waktu muda”, jawab Bi Asih
“Didengerin sama anak-anak yang di situ?”, tanyaku
“Iya”
“Kapan itu, Bi Asih?”, tanya Wati
“Kapan ya, udah lama”
Aku ingin mereka gak pada pulang. Atau jangan pulang sekalian. Aku ingin mereka terus di sini bersamaku cerita tentang Dilan.
“Katanya pernah dimarah Bu Juang ya?”, kata si Rani. Bu Juang adalah wali kelas 2 Fisika 1.
“Kenapa?”, tanyaku
“Kan waktu si Teguh gak sekolah. Si Dilan bikin surat buat guru. Surat
izin gitu. Tapi kata temen, tulisannya, kalau gak salah: Hari ini Teguh
tidak bisa masuk sekolah karena lupa”. Si Teguh itu anaknya Bu Juang.
“Iya gitu?”, tanya Revi
“Iya. Kan Bu Juangnya marah”
“Kayak cari perhatian gitu”, timpal Nandan
“Bukan cari perhatian. Dia mah emang gitu, di rumah juga”, kata Wati.
“Gitu gimana?”, tanyaku
“Kakeknya, kan kakek aku juga, masa coba ditangannya digambarin jam tangan?”
“Ha ha ha”
“Pake spidol! Si Kakek nya lagi, mau aja!”
“Ha ha ha ha kayak anak kecil?”, tanyaku
“Iya Ha ha ha. Teu sopan pisan!” kata Wati (Gak sopan)
“Jadi pada ngomongin Dilan gini”, kata Nandan
“Biarin ih. Rame”, kataku
“Dosa lho. Ini mau ke sekolah lagi atau pada mau langsung pulang?”, tanya Nandan kemudian.
“Aku mah langsung pulang aja kayaknya”, kata Revi
“Aku juga”, kata Wati
“Hayu atuh”, kata Nandan
Bersamaan dengan itu, di luar terdengar suara motor yang masuk ke
halaman rumahku. Ya betul, itu Dilan! Datang dia menembus gerimis.
Dia menyapa orang-orang yang ada di luar, dan langsung masuk ke dalam.
“Rame gini!”, katanya.
“Tuh De Dilan”, kata Bi Asih
“Buka sepatunya!”, kata Wati seperti menghardik
“Oh”
“Ga apa-apa. Pake aja”, kataku
Semua orang senyam-senyum. Mereka senyum pasti berkaitan dengan Dilan
yang sudah nyuruh tukang pijit datang ke rumah. Kuturunkan kakiku, yang
sedang dipijit Bi Asih.
“Terimakasih udah ngirim Bi Asih”, kataku sambil senyum ke dia.
“Sama-sama. Gimana? Udah mendingan?”, tanya Dilan
“Iya”
“Udah dipijitnya, Nek?”, tanya Dilan ke Bi Asih. Dia manggilnya Nenek.
“Udah. Tadi. Baru sebentar”
“Kamu teh apa sih, nyuruh-nyuruh Bi Asih datang ke sini?”, Tanya Wati (Teh=ini)
“He he kan kalau aku yang mijit, pasti gak boleh”
“Kami sudah pada mau pulang, Lan”, kata Nandan sambil mulai berdiri dari duduknya.
“Eh, kenapa?”, tanya Dilan
“Udah dari tadi”, jawab Tatang yang sama berdiri dari duduknya.
“Ya udah kalau gitu. Aku mau nemenin Lia dulu. Pada naik apa?”
“Angkot”, jawab Tatang
“Hayu atuh“, kata Nandan (kalau gitu)
“Kami pulang dulu ya! Lan, pulang dulu ya”, kata Rani sambil dia berdiri
“Iya, Ran”, jawab Dilan
“Makasih, semuanya, sudah pada nengok”, kataku sambil mulai berdiri.
Kulihat Nandan seperti orang murung atau apalah istilahnya. Kalau aku
boleh shuudzon: Nandan mungkin cemburu, sebab dia tahu, nanti hanya akan
ada aku, Dilan dan Bi Asih ketika semua pada pergi. Dia pikir, awalnya,
kalau mereka pada pergi, Dilan juga akan sama ikut pergi.
Wati mendekat ke Dilan dan bicara pelan sambil menadahkan tangannya:”Lan, ta duit!”. Artinya: “Lan, minta duit”
“Buat apa?”
“Ongkos he he”
Kulihat Dilan ngasih.
“Makacih”
Setelah itu, Wati dan yang lainnya pada pergi.
“Masih gerimis padahal”, kataku berdiri di samping Dilan
“Ga apa-apa, kecil kok”, jawab Revi.
Aku bermaksud mau ngantar mereka. Tapi tangan Dilan bergerak menghalangi:”Gak usah, Lia. Gerimis”
“Ga apa-apa”
“Mau bikin aku senang?”, tanya Dilan, suaranya pelaaaaan sekali sambil memandangku.
“Apah?”, tanyaku kupandang lagi matanya dengan suara yang sama berbisik
“Udah, duduk aja”
“Iya”
Entah, apakah dialogku dengan Dilan kedenger oleh mereka atau tidak.
Aku gak tahu. Aku kembali duduk di sofa, melihat kawan-kawanku pada
sibuk make sepatu:
”Makasih ya!”, kataku sedikit berseru.
“Iya. Cepat sembuh ya”
“Makasih”
“Assalamualaikum!!!”
“Alaikumsalam”
Mereka pada pergi, diantar Dilan sampai sejauh pintu pagar.
Gerimisnya tidak besar, cuma berupa seperti arsiran kecil. Aku bisa
melihatnya dari sini, dari dalam ruang tamu.
Juga bisa lihat Dilan yang nampak ngobrol dengan Agus dan Wati, entah
soal apa, yang pasti kulihat Wati memonyongkan mulutnya ke Dilan
sebelum dia bergerak pergi. Dan Dilan ketawa.
“Bi!”, kupanggil si Bibi
“Ya?”
“Minta handuk!”
“Handuk?”
“Iya. Handuk Lia, Bi!”
34
Si Bibi ngasih handuk dan bilang mau keluar dulu, ke warung, ada yang harus dibeli. Kemudian Dilan masuk.
“Ini”, aku kasihin handukku. Dia ambil. Dia selendangkan di lehernya.
Ih! Itu mah tukang becak, Dilan! Terus aku duduk di samping Bi Asih:
“Nek, cerita tentang kejelekan Dilan, dong”. Aku juga jadi manggil Nenek.
“Enggak boleh ngejelekin orang”, kata Bi Asih
“He he he”, Dilan ketawa
“Yang bagusnya aja, kalau begitu”, kataku
“Yang itu, Nek, yang waktu nenek mijit ibu, terus kuganti, yang mijitnya jadi aku. Ibu gak tahu. Telungkup sih”, kata Dilan
“Ha ha ha”, aku ketawa
“Kan, terus Ibu kamu tahu!”, kata Bi Asih
“Yang bagusnya apa ya? Ini…, Nek, yang nenek masuk sumur, terus aku tolong”, kata Dilan
“Kapan?”, Bi Asih nanya sambil mengernyitkan dahinya
“Ha ha ha”, aku tidak bisa nahan ketawa. Ini apaan? Kisah heroik maksudnya?
“Nenek pingsan sih, jadi aja gak tahu”, kata Dilan, sambil kupandang matanya yang memandang Bi Asih.
“Ga pernah masuk sumur Nenek mah”, kata Bi Asih
“Ha ha ha”, aku ketawa
“Si Nenek ini usia sebenernya masih 26 tahun, Lia”, kata Dilan kepadaku
“65!”, timpal Bi Asih
“Keliatannya aja”, kata Dilan
“Enggak. Usia Nenek emang 65!”, sergah Bi Asih
“26, Neneeeeeeeek!!!”, kata Dilan
“Ha ha ha jadi debat gini”, kataku sambil lebih mendekat ke Bi Asih
“Bentar, Lia, biar, soal ini saya yang urus. Kamu kan lagi sakit”, kata Dilan kepadaku
“Urus apaan!!?”, tanyaku
“Masalah usia ini”, jawab Dilan
“Ha ha ha! Aku sih percaya sama Nenek, ya, Nek?”, sambil kucondongkan badanku untuk meluk bahu Bi Asih, seraya memandang Dilan
“Iya”, jawab Bi Asih sambil sama mencondongkan badannya ke arahku,
seolah-olah itu sengaja biar bisa bebas kupeluk. Seolah-olah dengan itu,
dia sedang menggabungkan dirinya untuk membuat kekuatan: melawan Dilan.
Aku senyum memandang Dilan, wajahnya seperti orang yang mikir harus
ngomong apa lagi.
“Nenek, kenapa coba, Nenek suka sama Pak Andar?”, Dilan nanya
“Pak Andar mana?”, Bi Asih balik nanya. Kulihat ada kernyitan di dahinya
“Pak Andar, itu suaminya Bu Irma”.
“Enggak, Nenek mah!”, jawab Bi Asih
“Berarti gosip”, kata Dilan
“Ha ha ha ha”
Tiba-tiba kudengar telepon berdering. Aku angkat. Ya tuhan, itu dari
Beni. Beni bilang dia sudah di Bandung. Mau ke rumah. Hah?! Aku asli
kaget. Katanya mau ngebahas soal hubungan dia denganku. Penting!
Tadinya mau kularang dengan alasan yang bisa kucari. Tapi aku merasa
tidak perlu berdebat di telepon. Ini tidak baik. Kuatir Dilan mendengar.
Gak enak. Aku hanya bilang iya saja. Silakan!
Masalah kedua adalah, aku tidak mau, pas nanti Beni datang, dia
mendapati ada Dilan di rumahku. Mungkin Beni tak akan lagi melabraknya.
Tapi aku merasa ini tak akan bagus.
Aku bingung. Demi Tuhan aku bingung. Haruskah aku nyuruh Dilan untuk
pulang? Entah bagaimana caranya? Aku takut dia akan merasa diusir. Kamu
pasti tahu, aku sangat suka bahwa ada Dilan di rumahku, apalagi sedang
seru, tapi ini bukan waktu yang tepat.
Akhirnya aku bilang ke Dilan bahwa, kepalaku sakit, aku merasa perlu
tidur. Tapi kalau Dilan mau duduk-duduk, silakan aja. Dilan menjawab:”
“Iya! Kamu harus tidur. Biar kami pulang saja”. Aku sedih mendengar
kalimatnya. Aku merasa bersalah. Maaf, Dilan. Demi Tuhan, padahal aku
sudah sangat senang ada kamu. Bahkan sudah lama kurindukan hari yang
seperti ini. Kupandang matanya.
“Kamu pergi sekarang, Dilan?”. Seperti berat rasanya membiarkan dia pergi
“Iya. Kamu tidur. Istirahat. Biar lekas sembuh, lincah kembali”
“Iya”. Berat sekali saat kubilang “iya”
“Nenek yang bawa motor?”, Dilan nanya ke Bi Asih sambil menyodorkan kunci motor
“Gak bisa”
“Ya, udah, Nenek yang dorong”
“Mogok gitu?”
“Pura-pura mogok aja, Nek”
“Pura-puuuura? Biar apa?”
“Biar Nenek capek”
Aku ingin ketawa. Sangat ingin ketawa apalagi melihat muka Bi Asih
yang polos. Tapi yang keluar cuma “He he he” karena kehalang oleh
pikiran kalut soal Beni mau datang ke rumahku. Beni, kenapa kau
Datang??????? Iiiiiiiiiihhhhh!!! Aku kesal!!!!!!!!!!!
Dilan pamit bersama Nenek. Gerimis sudah reda. Aku salaman dengan mencium tangan Dilan, entah mengapa, itu refleks!
“Heh, Nek, Lia cium tangan”, kata Dilan ke Bi Asih
“Kayak ke suami aja”, jawab Bi Asih. Amiiin, Bi Asih!
Sebenarnya aku ingin ngomong gini ke Dilan:
“Dilan, Aku ingin bicara banyak denganmu! Kapan ada waktu? Tolong
aku, Dilan! Ini serius” Tapi tidak kukatakan, sampai Dilan pergi bersama
Bi Asih yang disuruh Dilan untuk memeluk tubuh Dilan.
“Sekarang Nenek dulu. Nanti kamu!”, Dilan bilang gitu sebelum tadi pergi, sambil menatap mataku.
“He he he. Itu ramalan?” tanyaku, sambil kulihat tangan Bi Asih melepas tangannya dari memeluk Dilan
“Itu tawaran”, jawab Dilan sambil meraih lagi tangan Bi Asih untuk kembali memeluknya
“Insya Allah” jawabku,
“Malam ini, kalau mau tidur, jangan ingat aku ya Lia!”, katanya
“Iya he he”
Hati-hati, Dilan, Bi Asih!! Dan, Maaf! Juga doakan, persoalanku
dengan Beni bisa kutangani dengan baik, sampai aku bebas dari dia.
Terimakasih, tadi rame, Dilan.
35
Beni benar-benar datang. Dia ditemani pamannya, Mas Ato. Aku kenal,
dia seorang pengacara. Mas Ato suka ikut kalau aku diajak oleh keluarga
Beni makan di restauran.
Beni nampak bersikap baik. Bersikap seolah dia benar-benar menyesal
dengan apa yang dilakukannya di Jakarta tempo hari. Beni sengaja bawa
Mas Ato, kepadanya, dia ingin mendapat bantuan agar hubungan aku dengan
Beni baik kembali.
Mas Ato bilang, bahwa peristiwa di Jakarta adalah soal biasa. Sangat
lumrah di dalam hubungan pacaran. Romantika di dalam asmara. Beni juga
cuma manusia, dia bisa khilaf. Mungkin Beni lagi kalut. Atau mungkin
karena Beni merasa bahwa Milea itu adalah segalanya. Sangat istimewa.
Sehingga wajarlah kalau Beni was-was akan diambil orang lain. Apalagi
Beni masih muda, darah mudanya, tahu lah, masih bergelora
Mas Ato bilang, bahwa dia bukan bermaksud mau membela Beni. Dia akui
Beni salah, Beni juga sudah ngaku salah ke Mas Ato. Ya, semua manusia
pasti pernah salah. Mas Ato sama Beni sengaja datang ke Milea, berharap
Milea mau maafin Beni. Akur lagi. Berhubungan lagi seperti sebelumnya
dan tidak akan mengulangi lagi dengan apa yang sudah terjadi. Apalagi
Milea kan sudah kenal dengan keluarga besar Beni. Mudah-mudahan ini
menjadi pendidikan untuk jadi lebih dewasa.
Selagi Mas Ato bicara, kulihat Beni diam terus. Seolah semuanya sudah
diatur oleh Mas Ato dia harus bagaimana. Lalu kataku pada Mas Ato:
“Mas Ato”
“Ya, Lia?”
“Terimakasih sudah datang”
“Sama-sama. Makasih sudah mau nerima kami”
Tiba-tiba telpon berdering. Aku izin ke mereka untuk ngangkat
telepon, barangkali itu dari Ibu yang lagi pergi sama adik ke rumah
dinas ayahku. Ternyata itu telpon dari Dilan
“Hey! Kok kamu yang ngangkat?”, tanya Dilan
“Emang kenapa?”
“Kan Lia harus tidur?”
“Tadi ke dapur, sebentar. Ada apa?”
“Boleh bicara sama si Bibi?”
“Mau apa?”
“Kupikir yang akan ngangkat si Bibi”
“Mau apa ke si Bibi?”
“He he he mau nitip. Jagain kamu he he he”
“He he he. Makasih”
“Kalau ada apa-apa, panggil aku”
“Biar apa?”
“Pasti gak akan kedenger”
“He he he jauh”
“Bukan”
“Apa?”
“Eh iya bener, jauh. Stop jangan lama-lama bicara. Kamu harus tidur”
“Iya. Makasih. Si Bibinya masih ke warung”
“Iya, ga apa-apa”
Setelah selesai nelepon, aku kembali ke mereka.
“Bagaimana menurut, Lia?”, tanya Mas Ato
“Boleh aku pikirin semalam?”
“Untuk?”
“Ini bukan masalah sepele, Mas Ato”
“Saya mengerti”
“Besok nanti ku telepon kamu”, kataku pada Beni
“Kenapa harus dipikirin?”, tanya Beni
“Iya, Beni. Biar Lia mikir dulu”, timpal Mas Ato
“Atau gue telepon besok?”, tanya Beni
“Biar gue aja yang nelepon”, jawabku
“Ya, mudah-mudahan. Semuanya akan beres dengan baik-baik. Lia bisa mengerti dan Beni bisa introspeksi”
Setelah semuanya. Mereka pamit pulang, bertepatan dengan si Bibi
datang. Si Bibi bersaling sapa dengan Beni. Mereka memang saling kenal.
Setelah mereka pulang, aku masuk ke kamar. Tiduran dengan pikiran yang
tidak karuan. Aku ingin punya nomor telepon rumah Dilan! Mungkin nanti
akan kutanya ke Wati.
36
Adikku sedang main piano. Aku duduk di samping ibuku yang sedang nulis, lalu kubilang ke dia:
“Bu, tadi ada Dilan lho. Main ke rumah he he”
“Dilan??”, dia menoleh ke aku
“Itu ih, yang ngasih kado Ultah TTS”
“Oh ya?”
“Iya he he”
“Ngasih TTS lagi? He he”, tanya dia sambil terus nulis
“Ngasih tukang pijit ha ha ha ha”
“Hah? Maksudnya?”, dia berhenti dari nulisnya
“Bawa tukang pijit, Ibuuu ha ha ha”
“Buat apaaaa?”
“Buat aku!”
“Dikasihin? Gimana? Gak ngerti”
“Iya. Dia tadi bawa tukang pijit, coba. Aku jadi dipijit. Udah itu dia pulang”
“Hah? Ha ha ada-ada aja”
“Iya. Baik”
“Jadi penasaran, pengen ketemu, kayak apa sih dia?”
“Kalau ibu masih muda, suka gak sama orang kayak Dilan?”
“Mungkin”
“Kok mungkin?”
“Ya, kalau ternyata dia suka marah-marah, cemburuan, jahat, mana ibu akan suka”
Aku jadi langsung inget Beni. Ah, lupakan! Aku gak mau ambil pusing.
Aku ingin mikir yang seneng-seneng dan tidur. Ya, oke, besok siang
kutelpon Beni. Hanya ada satu kata dariku: Putus!. Terserah dia mau
bilang apa. Terserah dia mau gimana habis itu. Itu keputusanku. Aku siap
menghadapi resikonya.
Mas Ato, kejadian macem kemaren di Jakarta, bukan sekali dua kali.
Sering, Mas Ato. Selama ini aku mungkin bisa menahannya, tetapi yang
kemaren, entah mengapa susah rasanya bisa kumaafkan. Lelaki macam apa,
tega marahi pacarnya di muka umum!
Mungkin aku tidak berharga bagi orang lain, Mas Ato, sehingga wajar
jika mereka tidak menghargaiku, tapi jika Beni pun bersikap sama begitu
kepadaku, buat apa dia jadi pacarku! Aku ingin sama dia, Mas Ato,
mungkin selamanya jika perlu, tetapi ada syarat, akunya harus menjadi
manequine.
Oke, aku sayang dia, Mas Ato. Tapi apakah dia begitu kepadaku? Jika
dia bilang iya, buktikan dengan sikap dan perilaku! Kukira, jika dia
mencintai diriku, tetapi sesungguhnya dia mencintai dirinya sendiri,
yang ingin merasa bahagia karena bisa mendapatkan diriku.
Di Bandung, aku bertemu dengan seseorang, Mas Ato. Perlukah kubilang
kepadamu siapa dirinya? Bahkan ibuku nyaris tak percaya bahwa ada orang
macam dia di dunia. Dia tidak hebat, Mas Ato, tidak, malah mungkin biasa
saja. Tapi bisa membuatku senang hanya dengan hal sederhana.
Memahami sikap orang itu kepadaku, aku selalu seperti mendapatkan
rasa aman, bahkan di saat ketika dirinya jauh! Sampai-sampai, dalam
hatiku, Mas Ato, ketika aku pergi dan pulang sekolah, selalu seperti
sedang bicara, ayo siapa yang mau ganggu aku, silakan sekarang juga,
kalau kamu berani sama dia!
Aku bukan mau bilang orang itu jagoan, Mas Ato, tapi sebagai wanita
aku merasa dilindungi! Kau tahu, Mas Ato, dia pernah bilang apa ke aku?
“Lia, kalau kamu merasa tidak kuperhatikan, Maaf, akunya sibuk merhatiin
lingkunganmu, barangkali ada orang mengganggumu, kuhajar dia!
Aku bukan mau bilang dia hebat, Mas Ato, tapi dia bisa selalu
membuatku ketawa. Ya, aku pernah kecewa padanya, ya, aku pernah, Mas
Ato, tahu kenapa? Karena aku tidak bisa bertemu denganya!!!!!!!! Maaf
jika terlalu berlebihan tentang dirinya, harap maklum, Mas Ato, mungkin
karena aku suka kepadanya
Ah, sudahlah. Aku mau tidur. Ngapain juga kupikirin lama-lama soal
Beni, toh mulai besok semuanya akan berakhir. Kuambil selimut untuk
menutupi tubuhku. Di luar sedang hujan. Kupejamkan mataku dan langsung
kuingat perintah Dilan, sore tadi: “Malam ini, kalau mau tidur, jangan
ingat aku ya Lia!”. Tapi. maaf, Dilan jika tidak kuikuti perintahmu!
“Selamat tidur juga, Dilan”
37
Hari itu aku masih tidak sekolah, karena surat izinnya berlaku sampai
selama tiga hari. Aku mendapat telepon dari Dilan, kira-kira saat di
sekolah sedang waktunya istirahat.
“Hey”, kusapa dia
“Aku lagi istirahat nih. Capek!”, jawab Dilan, suaranya terengah-engah begitu
“Habis ngapain gitu?”
“Belajar”
“Ha ha ha”
“Kenapa ketawa?”
“Ga apa-apa. Kenapa emang kalau ketawa?”
“Aku senang mendengarnya”
“He he he kamu sudah makan?”
“Aku tadi sudah makan belum?” Dilan kayaknya nanya ke orang yang ada di sebelahnya
“Nanya ke siapa?”
“Ini, ibu-ibu, yg lagi antri nunggu telepon”
“Hah? Ha ha ha ngapain?”. Tanyaku. Dilan memang nelepon menggunakan telepon umum
“Bu, mau kenalan gak sama Lia?”, dia pasti nanya lagi sama orang yang lagi antri itu,”Enggak katanya! Sombong”, sambung Dilan
“Ha ha ha. Bilangin ke dia, nanti menyesal gitu”
“Malu”
“Tadi kamu gak malu nanya-nanya dia?”
“Oh iya. Bentar. Bu, nanti menyesal lho”
“Ha ha ha ha ha”
“Cantik ibu!”
“Ha ha ha ha ha”
“Mau nomor teleponnya gak?!”, dia masih nanya ke orang yang antri itu.
“Ha ha ha jangan dikasihin, Lan, biar dia cari sendiri”
“Eh jangan kenal deh, Bu”
“Kenapa?”, kutanya
“Nanti ibu jadi cinta”
“Ha ha ha ha lesbi”
“Saingan deh sama aku”
“Ha ha ha ha ha”
“Tapi aku lagi sedih, Bu, dia tiga hari gak sekolah”
“Ha ha ha Besok sekolah. Bilangin”
“Bilang ke siapa?”
“Ke kamu”
“Ha ha ha ha ha ha”
Dilan! Aku tahu sebenarnya tidak ada ibu-ibu yang lagi antri di situ.
Itu cuma pura-pura. Tapi gak apa-apa, Dilan, terimakasih, aku senang.
“Lia, udahan dulu ya”
“Iya”
“Jangan lupa apa?”
“Jangan lupa apa?”, aku tanya balik
“Ingatan”
“Ha ha ha ha ha”
“Sun jauh jangan?”
“Ng…boleh deh”
“Eh, jangan deh”
“Kenapa?”
“Kenapa ya? Malu ngomongnya”
“Masa Dilan malu?”
“Oke. Jangan sun jauh, nanti aja sun dekat”
“Ha ha ha ha ha ha ha. Si ibu itu masih ada?”
“Terbang”
“Terbang? Kok bisa?”
“Ibunya burung”
“Iiiiihh! Ha ha ha ha”
Habis Dilan nelepon, aku tiduran di kursi. Tadinya aku mau nelpon
Beni, tapi dia pasti sedang sekolah. Nanti saja, nanti sore. Kurebahkan
badanku sambil membaca koran Pikiran Rakyat, dan aku terkejut karena ada
kartun di kolom Humor dengan tandatangan Dilan sebagai pembuatnya!
Aku nyaris tak percaya, sampai membuatku terduduk untuk lebih
memastikan bahwa kartun itu benar-benar karya Dilan. Iya betul itu
bikinan dia! Kenapa tidak bilang, Dilan? Asli, aku terperangah! Aku bawa
masuk koran itu ke kamar, sambil telungkup kulihat lagi kartun itu!
Tiba-tiba terdengar suara telepon rumah berdering. Si Bibi yang
ngangkat, katanya itu dari Beni.
38
Dengan sangat malas kuterima telepon dia. Ini saatnya aku harus bersikap tegas.
“Gimana, Beb?”, Beni nanya
“Gue Milea, Bukan Beb. Gue Pelacur”, jawabku. Heran aku bisa berani
bilang gitu. Heran, biasanya aku bersikap lemah ke dia. Heran,
belakangan ini aku selalu merasa yakin bahwa aku akan aman ada Dilan.
“Oke, jangan dibahas lagi soal itu. Gimana?”, dia nanya
“Gimana apa?”
“Maafin gue, Lia, gue ngaku gue khilaf”
“Udah gue maafin”
“Makasih. Gue gak bisa pisah dari elo”
“Elo kan laki-laki, masa gak bisa sendiri?”
“Ha ha ha maksud gue, gue ingin terus jalan sama elu”
“Kalau gue ga mau?”
“Please, tolong mengerti gue. Gue ga ada artinya tanpa elu”
“Maksud lu, kalau tanpa gue, lu cowok yang ga ada artinya?”
“Iya, Lia”
“Gue nyari cowok yang punya arti buat gue”
“Lia, tolong gue”
“Gue butuh laki-laki yang bisa nolong gue, bukan yang minta tolong”
“Please, Lia, gue…..gak tau harus gimana, tolong mengerti, gue…..”
“Kenapa lo nangis?”
“Gue gak tau, please, terima gue apa adanya”
“Maksud lu, gue harus nerima lu apa adanya yang bilang gue pelacur?”
“Udah jangan bahas itu lagi. Gue nyesel. Gue..gue..”
“Lu mau nerima gue apa adanya?”
“Iya, Lia. Gue nerima elu apa adanya”
“Nerima gue yang lagi mencintai seseorang di Bandung?”
“Jadi lu bener sama dia?”
“Maksud lu, sama orang yang lu tampar itu?”
“Iya?”
“Bukan dia”
“Siapa?”
“Siapa pun orang itu, elu mau nerima gue apa adanya yang lagi mencintai seseorang?”
“Capek gue!!!!”
“Istirahat kalau capek! Cuma masalah begini, elu sudah mengeluh”
“Elu juga mengeluh dengan sikap gue kan!!??”, Beni mulai keliatan aslinya
“Gue mengeluh karena punya cowok macem elo”
“Setan!”
“Jangan nelepon dengan setan!”
“Anjing!”, Beni menutup teleponnya.
Aku kembali ke kamar dalam tatapan Si Bibi yang ingin tahu ada apa
gerangan. Aku tidak nangis. Aku marah. Sedikit banyak, sekarang semua
sudah tahu siapa Beni, mudah-mudahan jadi maklum, kalau misal harus
kupilih Beni atau Dilan, aku akan memilih pergi dari Beni. Terserah kau
mau bilang apa, tapi aku yakin, jika kau adalah diriku, kau akan
bersikap sama denganku!
39
Aku masuk sekolah lagi bersama pagi yang indah di Bandung. Selalu
begitu rasanya. Menembus kabut tipis bersama Revi dan Agus, menyusuri
jalan untuk menuju sekolah. Aku menoleh ke belakang untuk suara motor
yang datang: Dilan!
Ini jarang terjadi, biasanya Dilan datang ke sekolah, selalu setelah
aku sudah sampai di sekolah. Motor itu makin mendekat diiringi oleh
perasaanku yang senang. Ya senang, bercampur deg-degan. Aku yakin, Dilan
akan segera di sampingku bersama motornya yang dibikin pelan untuk
menyamai kecepatanku berjalan.
Aku harus pura-pura tidak tahu bahwa ada dia di belakang, meskipun
ujung mataku sudah siap menunggu untuk memastikan apakah dia sudah ada
di sampingku atau belum. Kurangkai kata-kata untuk menjawab Dilan kalau
nanya.
Yes, motor itu sudah ada di sampingku, tapi tidak seperti yang
kuduga, dia terus maju melewati kami. Heh? Kenapa Dilan? Kau tahulah
bagaimana rasanya mengetahui dia lewat begitu saja. Seolah-olah aku ga
ada. Aku nyaris sedih, tapi gak jadi, karena kulihat dia putar balik
motornya dan berjalan di sampingku
“Hey, kamu Milea ya?”
“Ha ha ha ha ha”, aku ketawa, aku tahu harusnya aku tidak ketawa. Tapi gak tahu kenapa ketawa.
“Boleh gak aku meramal?”, dia nanya
“Ha ha ha ha ha Kita akan berjumpa di kantin?”
“Kita tidak akan berjumpa di kantin”
“He he he Jumpa di mana?”
“Di sini”
“Ha ha ha ha”
“Pagi, Agus, Revi”, dia menyapa Agus dan Revi
“Pagi”, jawab Agus dan Revi
“Ke aku enggak?”, tanyaku
“Nanti di warung bi Eem”
“Kok?”
“Nanti istirahat kuajak kamu ke warung Bi Eem. Jangan mau”
“Kenapa?’
“Nanti kamu menyesal”
“Ha ha ha enggak”
“Enggak apa?”
“Enggak nolak”
“Aku sudah tahu. Nanti kujemput”
“Iya”
Lalu Dilan meminta Agus untuk membawa motornya ke sekolah. Asalnya
Agus gak langsung mau, tapi akhirnya dia mau. Agus ke sekolah bersama
Revi naik motor, meninggalkan aku dan Dilan berjalan berdua menyusuri
jalan basah sisa hujan semalam.
“Kamu tahu gak nama jalan ini sudah kuganti?”
“Jadi jalan apa?”
“Jalan Milea”
“Ha ha ha”
“Jalan Milea dan Dilan”, katanya
“Jalan Milea dan Dilan Sang Peramal”
“Jalan Milea dan Dilan Sang Peramal Yang Semalam Mikirin Milea”
“Kenapa mikirin aku?”, kutanya
“Aku hanya mikir yang senang-senang”
“Kamu senang mikirin aku?”
“Malah bingung”
“Kenapa?”
“Bingung bagaimana menghentikannya”
“Menghentikan apa?”
“Mikirin kamu ha ha ha”
“Ha ha ha ha emang ingin berhenti?”
“Iya”
“Kenapa?”
“Harus selalu dekat, biar enggak perlu kupikirin”
“Ha ha ha ha ha ha”
“Kamu bagus ketawanya”
“Kamu juga bagus”
“Kita bersaing”
“Ha ha ha ha ha”
Tidak berasa, kami sudah sampai di sekolah. Dilan mengantarku masuk
kelas, sampai aku duduk di bangku! Beberapa kawanku tahu itu, juga
Nandan yang lagi ngobrol. Kemudian Dilan pergi, untuk masuk ke kelasnya.
Terimakasih, Dilan! Dilanku
40
Hari itu adalah hari pertama aku jalan kaki berdua dengan Dilan.
Banyak manfaatnya, banyak sekali. Aku jadi tahu nomor telepon rumah
Dilan, aku jadi tahu memang benar dia pembuat kartun yang dimuat di
koran Pikiran Rakyat itu. Manfaat utamanya sih, tentu saja: aku senang!
Tapi, ada khabar dari Rani, katanya, dua hari lalu dia melihat Susi
naik motor dengan Dilan pas pulang sekolah. Namanya Susiana, anak kelas 2
Sosial 2. Kata Rani Susi memang pengen ke Dilan. Iya, aku sudah denger
cerita itu, sedikit, tepatnya seminggu yang lalu dan lupa belum
kuceritakan soal dia.
Susiana, dia cantik. Katanya anak pemilik toko emas Indah Jaya di
Parahyangan Plaza. Dua kali, aku pernah lihat dia di kantin, berisik
bersama teman-temannya menguasai ruangan. Dilihat dari sikap dan
perilakunya, selain dia itu bossy, kukira dia anak gaul.
Memang iya. Kata Rani, Susi suka main ke sana, ke Stuido East di
Cihampelas, atau ke Lisptick Roller Disco bersama teman-temannya, di
Palaguna Plaza (Daerah alun-alun Bandung). Itu, mungkin semacam
tempatnya dugem anak-anak remaja. Rani juga pernah diajak Susi, lupa ke
mana itu, pokoknya daerah Ganesha, ngecengin anak ITB yang lagi pada
ospek.
Aku gak tahu sejauh mana hubungan Dilan dengan Susi. Kupikir hal itu
hanya hubungan biasa saja. Aku merasa tidak perlu lebih jauh untuk tahu.
Itu urusan Dilan dan Dilan bukan pacarku. Apalagi dengan adanya kasus
Beni di Jakarta tempo hari, nyaris tak sempat bisa lagi kupikirkan.
Tapi dengan adanya berita bahwa Susi naik motor dengan Dilan, terus
terang, aku jadi langsung cemburu. Termasuk jadi ingin tahu sudah sejauh
mana hubungan Susi dengan Dilan. Maksudku, ya, aku tahu, aku memang
belum jadi pacar Dilan, tapi kalau benar Susi pacaran dengan Dilan,
ngapain Dilan selalu berusaha mendekatiku?
Api cemburu, yang nyala, langsung bikin aku lemas hari itu, dan aku
jadi males belajar, termasuk jadi merasa males ketemu Dilan lagi. Aku
merasa gak perlu bersaing dengan Susi. Gak perlu. Kalau Dilan mau sama
dia, ya sudah, silakan sama dia, apa hakku melarangnya. Tapi tentu saja
aku gak akan lagi meladeni apa pun yang ia lakukan kepadaku sejak itu.
Aku ingin nanya ke Rani, soal sudah sejauh mana hubungan Susi dengan
Dilan, tapi aku urungkan, pertama: karena kami tidak bisa bebas ngobrol
berbanyak-banyak di saat sedang belajar, kedua aku harus pura-pura
bersikap biasa mendengar cerita Rani soal Susi. Rani gak perlu tahu
bagaimana perasaanku.
41
Jam istirahat sudah tiba, Dilan datang ke kelasku untuk ngajak aku ke
warung bi Eem. Tapi kubilang aku gak bisa, karena ternyata masih lemas.
Tentu saja aku bohong. Iya, ga apa-apa, katanya dan juga bilang, dia
akan berdoa di warung Bi Eem bersama teman-teman atheis, biar aku bisa
segera lekas pulih. Atheis? Berdoa? Ah pasti dia bercanda! Makasih,
kataku dan dia pergi.
Dilan pasti kecewa, aku langsung merasa bersalah. Mengapa aku harus
menilainya dengan dasar masih cuma praduga? Mengapa harus menilai dia
dengan pengetahuan yang belum pasti soal fakta yang sebenarnya? Mengapa
tidak memilih ikut dengannya, ke warung Bi Eem, dan tanyakan langsung
kepadanya?
Akhirnya aku pergi juga ke warung Bi Eem. Sendiri, di bawah naungan
langit mendung. Di sana ada Anhar yang lagi main gitar, ada Piyan dan
beberapa orang lainnya yang tidak begitu kukenal. Kutanya Piyan:
“Piyan, ada Dilan?”
“Dilan? Belum ke sini”
“Tadi kukira dia ke sini”
“Belum. Biasanya ke sini. Ada apa, Lia?”
“Enggak. Ga ada apa-apa”
“Tunggu aja”, kata Anhar sambil menghembuskan asap rokoknya
“Aku mau ke kelas lagi aja”
“Oh iya”
“Piyan….”
“Iya”
“Bilang ke Dilan…..tadi aku ke sini….”
“Oke, Lia”
Ketika hujan turun, aku sudah sampai di kelas. Kawan-kawanku masih
pada jajan di kantin. Sunyi sekali rasanya. Cuma ada aku sendirian,
duduk di bangku, merebahkan kepala berbantal tas sekolah. Suara hujan
itu, seperti mewakili perasaanku. Sunyi menguat, dari mataku, air
mengalir, sedikit, pelan melelehi pipiku: Dilan, kamu di mana? Maaf!
42
Hujan sudah reda. Kawan-kawan berangsur pada masuk ke kelas. Kuambil
buku pelajaran dari dalam tasku, dan kubaca, sekedar untuk menggambarkan
bahwa aku normal-normal saja, seorang Milea yang baru sembuh dari sakit
dan memilih tinggal di kelas untuk menghabiskan waktu jam istirahat
dengan membaca.
Nandan menyapaku, juga Rani. Jam istirahat belum habis, masih ada
sisa untuk basa-basi dengan mereka. Ketika sekonyong-konyong aku
mendengar raungan motor di luar pagar sekolah. Pasti jumlahnya cukup
banyak, karena sangat ribut sekali, kira-kira ada 20 motor.
Siswa dan guru pada keluar dari tempatnya, termasuk aku, untuk ingin
tahu ada apa gerangan. Pak Suripto teriak ke Mang Uung, penjaga pintu
gerbang sekolah:
“Tutup, Mang Uung!”
Mang Uung menutup pintu itu. Terjadi hiruk pikuk tapi sekaligus seperti panik.
“Siapa?”, aku tanya Nandan
“Ga tau!”
Pengendara motor itu, berseragam sekolah dan pada bawa samurai sambil menggerung-gerungkan motornya. Mereka teriak
“Anhar!!! Kaluar, Anjing!”
Mereka melempari sekolah. Kaca jendela kelas yang dekat pintu gerbang pada pecah terkena lemparan batu
Nampak guru-guru memerintahkan semua siswa untuk masuk dalam kelas.
Aku juga masuk dan bingung, ada apa ini? Kata Rani, itu gengmotor SMA
lain. Mereka mencari Anhar. Anhar pasti bikin ulah. Heh? Tadi aku lihat
Anhar di warung Bi Eem. Dilan, di mana kamu? Mendadak aku panik.
“Lia mau kemana?!!”, Rani teriak mencegahku yang lari membuka pintu untuk keluar dari kelas.
“Lia!”, beberapa kawan yang lain juga teriak mencegahku.
Ya, aku lari dan masuk kelas Dilan. Tapi di sana tak ada Dilan! Tak ada
Piyan! Kutanya kepada kawannya di mana Piyan? Mereka bilang belum masuk.
Mereka pasti masih di warung Bi Eem!
Para penyerang itu, masih teriak memanggil Anhar, melempar batu dan
nabrak-nabrak pintu gerbang. Serius, aku kuatir ada apa-apa dengan
Dilan, dan juga Piyan. Aku tidak tahu harus gimana. Tanganku sampai
berkacak pinggang, seperti ekspresi campuran antara bimbang dan kesal,
sambil memandang mereka dari dalam kelas bersama siswa lainnya yang pada
tegang.
Aku kesal pada mereka yang nyerang itu. Maksudku, mereka pasti akan
mengapa-apakan Dilan, jika berhasil ditemukan, karena Anhar adalah
bagian dari Dilan di dalam satu kelompok. Imajinasiku berharap aku bisa
mudah mennghadirkan ayahku, yang datang bersama kawan-kawannya, satu
kompi, menembaki mereka!
Mereka akhirnya pergi, ya Tuhan, tapi menuju warung Bi Eem! Aku
berpikir buruk, mereka bertemu Dilan di sana. Mengeroyoknya dengan batu
dan samurai! Aku terduduk di bangku, lemas selemas-lemasnya, dan
bimbang. Kenapa mereka nyerang sekolah pada waktu istirahat? Kenapa
tidak saat pulang sekolah kalau benar nyari Anhar? Kelak, Dilan
menjelaskan kepadaku bahwa mereka melakukan strategi yang salah!
43
Polisi datang, dua truk, tapi Penyerang sudah hilang. Aku melihat
beberapa polisi masuk ke ruang guru, mungkin untuk meminta keterangan.
Belajar diliburkan. Aku baru saja keluar dari toilet ketika Dilan datang
menemuiku di sana, kami bicara sambil berdiri berhadapan
“Tadi kemana?”, kutanya dia. Aku melihat matanya nampak cemas
“Kamu tidak apa-apa?” dia balik nanya sambil meraih satu tanganku dan kubiarkan
“Tadi kemana?” kutanya dia
“Ada”
“Kemana?!!”, kutanya lagi
“Di belakang gereja”, dia menyandarkan punggungya ke tembok, seperti orang yang baru selesai dari rasa gelisah.
“Kamu ya?”
“Bukan. Bukan aku. Itu Anhar”
“Kamu juga!”
“Enggak, Lia. Nanti, nanti kujelaskan”
“Aku mau ke kelas”, kataku sambil pergi, Dilan nyusul.
“Di mana Piyan?”, kutanya tanpa menoleh kepadanya
“Masih di belakang gereja”
“Gengster brengsek!”
Kami berjalan menyusuri lorong kelas. Orang-orang sibuk dengan
bahasan mereka tentang apa yang tadi terjadi. Aku merasa sebagian orang
memandang kami, terutama ke arah Dilan. Entah apa dalam pikiran mereka,
yang pasti pikiranku bagai melayang tak karuan. Masih bisa kurasakan
sisa-sisa panik, cemas dan kegelisahan.
Dari depan kantor sekolah, Pak Suripto berdiri memanggil Dilan.
“Aku ke sana dulu, Lia”, katanya, tapi tidak kujawab.
“Nanti pulangnya kuantar”, dia ngomong lagi
“Sudah sana”
“Iya”
Aku merasa, semua mata memandang ke arah Dilan, yang berjalan nemui
Pak Suripto. Aku tidak. Aku terus berjalan dan masuk ke kelas. Rani
nanya soal Dilan ketika aku sudah duduk. Kubilang gak tahu. Kata Rani,
tadi Dilan nemui Rani nanyain aku
“Iya, tadi ketemu Dilan. Sebentar”.
“Apa katanya?”, Rani nanya
“Ga ngomong apa-apa”
“Oh”
“Aku gak mau ngebahasnya”
Wati datang bergabung dengan kami:
“Ini si Anhar!”
“Emang kenapa sih dia?”, kutanya Wati
“Kemaren dia malak! Ga ngasih, terus dia pukulin anak itu”
“Sama siapa malaknya?”
“Sama temen-temennya”
“Iya siapa?”
“Temen dia”
“Anak sekolah sini?”
“Bukan. Gak tahu anak mana”
“Wati tahu dari siapa?”
“Si Piyan, tadi pagi”
“Dilan tahu?”
“Mungkin”
“Bukan. Bagaimana orang itu tahu yang malak si Anhar anak sekolah sini?”
“Gak ngerti”
“Si Anharnya di mana sekarang?”
“Gak tau. Kabur dia”
Dilan tidak mengantar aku pulang. Dia harus ikut ke kantor polisi.
Aku pulang bersama Wati, Rani, Nandan dan Revi sampai ke pertigaan
jalan, kemudian berpisah untuk naik angkot ke arah tujuannya
masing-masing. Aku naik angkot bersama Revi.
44
Itulah hari yang paling menegangkan dalam sejarah hidupku bersama
Dilan. Atau tidak cuma itu. Masih ada banyak lagi yang lainnya. Aku akan
ceritakan semuanya, entah apa tujuanku, aku cuma ingin cerita, seperti
ada yang mendorongku untuk harus.
Suamiku SMS, dia bilang katanya mau tidur di kantor. Ya sudah.
Selamat menjalankan ibadah lembur. Bob Dylan masih nyanyi. Gak
capek-capek. Baiklah kutemani, kebetulan aku masih belum ngantuk bersama
kopi yang sudah kubuat barusan tadi. Oke, aku teruskan ceritanya:
Malamnya, Dilan nelepon. Dia jelaskan duduk persoalannya, persis seperti yang Wati ceritakan.
“Terus, apa kata polisi?”, kutanya dia
“Mereka bilang aku manis”
“Aku serius”
“Mereka bilang jangan terlalu serius”
“Terserah! Kukira kamu ditahan?”
“Jangan ditahan-tahan”
“Ha ha ha ha”
“Kenapa ketawa?”, dia nanya
“Gak boleh?” aku balik nanya
“Katanya kamu serius?”
“Oke aku serius. Boleh aku nanya serius?’
“Boleh”, katanya
“Siapa Susi? Susiana?”
“Perempuan”
“Pacarmu?”
“Bukan”
“Jujur!”
“Dia ingin jadi pacarku. Tapi aku gak mau. Dia pernah datang ke rumah, aku sembunyi dalam lemari besar”
“Terus?”
“Ngobrol sama ibuku, bantu-bantu masak di dapur. Dia mau ambil hati ibuku”
“Terus?”
“Aku pengap dalam lemari”
“Ha ha ha terus?”
“Ibu masuk kamar. Untung gak buka lemari, lalu dia pergi”
“Terus?”
“Aku ingin pipis?”
“Pipis dalam lemari?”,
“Bukan, sekarang, aku ingin pipis”
“Oh ha ha sudah sana pipis dulu. Ingat kata polisi, jangan ditahan-tahan”
“Udah”
“Udah apa?”
“Pipisnya!”
“Di situ?”
“Iya. Pantomim aja. Cukup”
“Ha ha ha ha. Enggak. Pokoknya aku tutup! Kamu kencing dulu”
“Oke. Bentar”
Setelah itu, tak lama nelepon lagi
“Terus?”, kutanya
“Soal Susi?”
“Iya”
“Dia ngasih aku cokelat. Ngasih aku baju tidur. Ngajak nonton bioskop”
“Kamu mau?”
“Mau apa?”, dia balik nanya
“Nonton?”
“Mau”
“Berdua?”
“Iya, terus pas nonton, aku ijin ke toilet, padahal pulang”
“Hah? Ninggalin dia sendirian?”
“Iya”
“Dia marah?”
“Dia marah”
“Terus?”
“Ya udah marah aja. Bagus lah”
“Kok bagus?”
“Kan jadi gak mau ketemu aku”
“Ha ha ha ha kalau aku marah ke kamu?”
“Baguslah”
“Bagusnya?’
“Ujian buatku, bisa enggak aku membuat kamu menjadi tidak marah”
“He he he kamu pasti bisa”
“Tugasku membuat kamu senang”
“Kalau tidak bisa membuat aku senang?”, kutanya
“Berarti aku gagal menjadi orang yang menyenangkanmu”
“Kamu berhasil he he he”
“Berapa nilainya?”
“Seribu!”
“Ya. Lumayan buat beli gorengan”
“He he he Katanya kamu naik motor sama Susi?”
“Tidak cuma Susi”
“Ngapain sama dia? Naik motor? Kemaren?”
“Nganter dia ke rumah sakit, ayahnya dibawa ke rumah sakit. Buru-buru”
“Oh…….Kasian”
“Tidak mencintai, tidak berarti membencinya”
“Iya. Kamu besok kemana?”
“Besok minggu ya?”
“Iya”
“Aku mau skateboard sama teman”
“Kamu bisa skateboard?”
“Enggak”
“Terus kenapa main skateboard?”
“Biar bisa”
“He he he”
“Kamu tahu? Aku bisa membuat kamu tidur?”
“Maksudnya?”
“Iya. Aku ingin kamu tidur, biar makin sehat. Jangan begadang, kamu belum pulih”
“Kamu bisa membuat aku tidur? Dihipnotis?”
“Iya. Dengan ngabsen nama-nama binatang”
“Hi hi hi. Coba”
“Oke. Aku mulai ya..?”
“Iya”
“Satu,…Beruang. Dua,…Kadal. Tiga,…..Jerapah. Empat,…Macan. Lima,…..Keledai. Enam,….Kupu-kupu”
“Hrk..Hrk……..Hrk…..”, aku pura-pura ngorok. Hi hi hi
“Tujuh,….Monyet. Delapan,…..Kera. Sembilan,…..Kamu”
“Heh!!???”
“Ha ha ha……..Belum tidur ternyata”
“Belum! Ha ha ha”
“Terusin ya…Sepuluh, Koala. Sebelas, Kunyuk. Duabelas, aku…”
“Hi hi hi….”
“Jangan ngomong apa-apa ya….Sampai kututup teleponnya”
“Iya”
Dia terus ngabsen nama binatang, aku diam terus, sampai kemudian dia
bilang: “Tidur ya, Milea. Maaf tadi siang, aku membuatmu jengkel. Harus
tahu, Milea, tidak ingin aku membuat kamu begitu. Aku malah sangat
cemas. Mencemaskanmu”, kemudian dia tutup teleponnya. Tentu saja aku
belum tidur, dan aku yakin dia juga tahu. Mana mungkin aku tidur di
sini, di ruangan yang cuma ada kursi.
Setelah gosok gigi, aku masuk kamar dan langsung tiduran di kasur,
berharap bisa langsung tidur beneran. Selagi itu, aku berfikir, aku
merasa seperti sudah pacaran dengan Dilan. Apakah dia juga begitu?
Merasakan hal sama denganku? Aku gak tahu. Kalau memang sudah pacaran,
sejak kapan mulainya? Kalau belum, ya, itu tadi, kenapa aku merasa
sudah? Ah. Entahlah.
“Selamat tidur juga, Dilan……”.
45
Sekarang aku mau cerita tentang Kang Adi. Namanya Adi Wirawan.Waktu
itu, dia masih mahasiswa ITB, semester lima. Dia anak Pak Alfin, kawan
ayahku. Ayah memperkenalkannya ke aku waktu dia datang ke rumah untuk
ada urusan bisnis antara ayahku dan ayahnya.
Ayah bilang ke Kang Adi, minta membimbing aku belajar. Ayah memang
pengen aku bisa masuk ITB, meskipun aku sendiri sebenarnya ingin ke
UNPAD. Kang Adi bilang boleh, nanti bisa privat seminggu sekali. Aku sih
oke-oke aja.
Sejak itu, Kang Adi suka datang ke rumah untuk membimbingku belajar.
Dia bisanya malam minggu. Biar bisa santai katanya. Kami belajar di
ruang tamu, kadang-kadang berdua, kadang-kadang bertiga bersama Airin,
dia adikku yang masih kelas 2 SMP waktu itu. Kadang-kadang berempat,
kalau ibu ikut nimbrung.
Selain untuk membimbingku belajar, Kang Adi juga suka ngobrol. Dia
cerita tentang dirinya dan aktivitas kehidupan mahasiswa di kampus ITB.
Dia cerita tentang gerakan mahasiswa ITB, tentang unit-unit kegiatan di
ITB. Pokoknya banyak, termasuk cerita tentang diri dan kehidupannya.
“Kayaknya mereka membutuhkan Kang Adi banget ya”, kataku
“Ga tau tuh. Kalau ga ada saya, mereka bilang sih suka gak rame he he”
“Emang Kang Adi jabatannya apa di unit itu?”, kutanya
“Bendahara”
“Ooh. Pantesan. Pada nunggu uangnya tuh he he he”
“Enggak lah. Ya mungkin mereka nganggap saya bisa menciptakan kondisi jadi lebih hidup he he he, atau ya ga taulah”
“Kirain he he he”
“Pernah pas ada meeting, saya kan ga datang, eh mereka nelepon maksa minta saya datang”
“Segitunya”
“Ga tau kenapa. Kita ini harus luwes. Sedikit nakal lah. Biar gak kaku”
“Kang Adi nakal?”
“Yaaa…nakal gimana ya? Ya, sekedar untuk mencairkan suasana aja. Nanti deh kamu saya ajak ke ITB”
“Kang Adi suka berantem?”
“Bukan nakal yang gitu lah. Nakal-nakal yang seru”
“Teman-teman Kang Adi orangnya pada seru ya?”
“Gak semua. Banyak juga yang kaku. Waktunya habis dipake belajaaar
terus. Gak menikmati. Hidupnya kayak robot. Gak suka saya. Makanya kan,
kadang-kadang kita juga belajar, kadang-kadang kita juga ngobrol. Ya
ngobrol-ngobrol kayak gini lah”
Kalau Kang Adi datang, selalu akan memakai motor dan membawa makanan,
untuk aku, untuk Airin atau untuk ibu. Malam itu, dia datang bawa
sweater yang ada tulisan ITBnya. Katanya dia sengaja beli untukku.
“Makasih, Kang”
“Ini yang mahalnya. Ada juga sih yang murah, masa’ buat Lia kasih yang murah”
“Ga apa-apa yang murah juga, Kang. Hemat”
“Bukan soal uangnya. Kang Adi pengen yang berkualitas. Eh, Lia jadi gak ikut ke ITB, besok?”
“Jam berapa?”
“Kalau bisa sih pagi-pagi. Biar sekalian sarapan bubur di Gasibu”
“Pagi-pagi?”
“Terserah, Lia”
“Kalau bangun ya he he he”
Aku dengar telepon rumah berdering. Si Bibi yang ngangkat, dari Dilan
katanya. Aku ke sana, setelah pamit ke Kang Adi dan lalu ngobrol dengan
Dilan sampai ketawa terbahak-bahak.Katanya dia habis nangkap nyamuk.
Dua ekor. Dimasukin ke botol. Terus dia namai Bonni dan Kinkan.
“Mau gak?”
“Nyamuk?”
“Iya. Kamu satu, aku satu”
“Di sini juga banyak”
“Di situ juga ada? Subhanalloh’
“Ha ha ha Ada tujuh ribu!”, kataku
“Di sini mah sedikit euy. Nyamuk preman, lagi”
“Kok preman?”, kutanya
“Iya. Pada mabuk sempoyongan gini”
“Ha ha ha minum Baygon?”
“Ah mereka mah merk apa aja juga oke. Ibuku yang beliin. Baik dia itu”
“Dibeliin gimana?”
“Iya dia yang beli obatnya, ke warung, buat nyamuk. Nyamuk manja. Gak bisa beli sendiri”
“Ha ha ha ha”
Dilan memang selalu membahas yang gak perlu. Tapi rame. Tapi seru. Habis itu aku kembali ke ruang tamu, bersama Kang Adi lagi.
“Teman?”, Kang Adi nanya
“Iya”
“Oh. Teman sekolah?”
“Teman apa ya? Teman dekat gitu lah”
“Pacar yaa?”
“Dia itu seru. Namanya Dilan”
“Hati-hati, Lia”
“Hati-hati, kenapa gitu?”
“Ya, dengan siapa pun harus hati-hati lah. Cari kawan yang bisa bimbing. Yang bisa saling mengingatkan. Yang bisa melindungi”
“Hati-hati termasuk ke Kang Adi juga he he he?”
“Yaa..enggak lah! Kita kan sudah saling kenal”
“Becanda atuh, Kang”
Setelah Kang Adi pulang, aku ngantuk, gosok gigi dan langsung tidur.
Tadinya pengen nelepon Dilan dulu, tapi takut mengganggu. Besok aja.
Sekarang saatnya tidur.
“Selamat tidur juga, Dilan”
46
Pagi-pagi, Kang Adi nelepon. Dia nanya jadi enggak pergi ke kampus
ITB? Aku bilang gak bisa. Nanti aja hari rabu, sepulang sekolah. Iya
katanya.
“Kita belajar aja yuk?”
“Hari minggu?”
“Ya isilah dengan yang berguna”
“Istirahat juga berguna, Kang. Saya ingin istirahat”
“Oh ya sud. Lagi apa?”
“Istirahat kan?”
“Kali, lagi baca buku”
“Enggak”
“Kalau mau baca buku nanti saya bawain buku. Di rumah banyak”
“Gak usah, Kang”
“Suka Filsafat gak?”
“Ngg..gak tuh”
“Saya lagi baca buku bagaimana cara hidup bahagia”
“Oh”
“Bagus nih, kayaknya kita bisa diksusikan deh”
“Sekarang?”
“Nanti, kalau ketemu”
“Inya Allah”
“Sudah makan belum?”
“Nanti aja. Belum”
“Jangan lupa makan”
“Iya. Makasih”
“Tadi malem di teve filmnys seru..”
“Eh, Kang, Lia lagi masak. Nanti deh teleponnya di sambung lagi ya”
“Oh iya. Rabu jadi ya?”
“Ke ITB?”
“Iya. Nanti saya ke rumah”
“Iya”
47
Pada saat upacara bendera, Dilan ikut upacara bendera, tapi dia masuk
di barisanku, sejajar denganku. Harusnya dia berada di barisan
kawan-kawan sekelasnya. Buat aku sih gak masalah, justeru menyenangkan,
tapi tidak bagi guru yang bernama Suripto. Pasti, aku yakin.
Kekuatiranku terbukti, pada waktu Kepala Sekolah sedang pidato,
diam-diam, dia ditegur oleh Pak Suripto, karena dianggap tidak berada di
barisan yang seharusnya. Bukan cuma teguran, Pak Suripto menarik baju
bagian belakang Dilan, dengan paksa, untuk memindahkan Dilan ke barisan
seharusnya.
Apa yang dilakukan Pak Suripto membuat Dilan nyaris terjengkang. Dilan berseru:
“Heh? Apa ini?”
“Apa? Hah? Kamu mau melawan?”, tanya Pak Suripto
“Ya aku melawan!”
Pak Suripto menampar Dilan. Dilan balas menampar Pak Suripto. Pak
Suripto mau menampar lagi, tapi Dilan keburu memukulnya dengan pukulan
yang bertubi. Suasana menjadi ribut, menarik perhatian semua orang untuk
memandang.
Pak Suripto lari menuju tengah lapangan upacara. Dilan mengejarnya.
Aku melihat pak Suripto sempat terjatuh, merangkak sebentar untuk
kemudian berdiri dan lari. Dilan mengejar Pak Suripto yang menyelusup di
antara guru-guru yang pada baris di depan kami. Kepala Sekolah
berteriak:”Apa ini?!!”.
Upacara bendera menjadi kacau. Terdengar suara hiruk pikuk dari
peserta upacara bendera. Guru-guru berusaha menahan Dilan. Kepala
Sekolah turun dari mimbarnya. Dilan teriak kepada Pak Suripto yang entah
sudah ada di mana:
“Suripto! Pengecut kau!”
Aku melihat Piyan, Beyi dan beberapa yang lain, pada lari untuk
membantu guru menahan Dilan. Aku juga ke sana berharap bisa membantu
untuk membuat Dilan jinak. Dilan marah. Beberapa guru menasehati Dilan
untuk tenang. Ibu Rini, Guru Geografi, menepuk-nepuk bahu Dilan, sambil
bilang:”Sabar, Dilan, Sabar!”
Syukurlah Dilan kemudian bisa tenang. Terdengar pengumuman upacara
bendera dibubarkan. Aku, Piyan, Beyi dan beberapa guru, membawa Dilan ke
ruang guru. Di sana kami duduk bersama Ibu Rini, Pak Syaiful, Pak
Aslan, dan Ibu Pipi (Pegawai T.U)
“Sabar, Dilan”, kata Bu Rini
“Aku bukan melawan guru, Bu. Aku melawan Suripto”, kata Dilan. Aku diam terus, tidak tahu harus berkata apa.
“Iya. Ibu ngerti”, kata Bu Rini.
“Ibuku juga guru, kakakku juga guru”, kata Dilan
“Iya. Dilan harus maklum dia memang begitu”, kata Bu Rini
“Aku tidak bisa memaklumi guru yang begitu”, jawab Dilan
“Kami juga gak suka dengan cara-cara dia”, kata Bu Rini
“Siswa juga manusia”, kata Dilan lagi
“Iya, tentu”
“Hormatilah orang lain kalau ingin dihormati”, kata Dilan
“Kami mengerti”, kata Pak Aslan
“Harus tahu, aku tidak melawan guru. Guru buatku, dia mulia. Sebagai guru, aku hormat ke dia, aku hanya melawan Suripto”
“Iya”
“Siapa pun dia….”, kata Dilan
“Iya”
“Siapa pun dia, meskipun guru, jika tidak bisa menghargai orang lain, tak akan dihargai”
“Ibu, mengerti kenapa kamu begitu”
“Jangan jabatan guru dijadikan alat kuasa untuk berbuat sewenang-wenang”, kata Dilan
Kepala Sekolah datang, aku berdiri untuk memberi tempat dia duduk. Dia duduk di samping Dilan.
“Ada apa, Dilan?!”, tanya Kepala Sekolah. Dia nampaknya sedang berusaha
bicara hati-hati, karena kuatir Dilan akan juga menyerangnya
“Aku tidak melawan guru, aku melawan Suripto yang semena-mena”
“Kenapa dia?”
“Bapak harusnya tahu bagaimana perilaku dia. Kami tahu”
“Iya, tapi Dilan tidak harus begitu ke dia”
“Dia boleh begitu kepada kami?”, Dilan nanya
“Begitu gimana?”
“Dia menjambak bajuku. Kayak ga ada cara lain. Ini bukan cuma ke saya.
Sudah berapa orang kawan saya ditamparnya. Diperlakukan seenaknya”,
jawab Dilan. Jaman dulu, di sekolah, guru menampar siswa kayaknya sudah
dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, jauh berbeda dengan sekarang.
“Maaf, mungkin kamu membandel?”, tanya Kepala Sekolah
“Guru itu digugu dan ditiru, kalau dia mengajariku menampar, aku juga akan menampar”
“Bapak bukan mau membela dia. Mungkin Pak Suripto tidak bermaksud
begitu”, kata Kepala Sekolah seperti sedang membela Pak Suripto.
“Bapak tahu, waktu polisi datang ke sini? Pak Suripto bilang apa? Dia
bilang: ini bukan urusan sekolah. Bawa aja ini, sambil nunjuk ke saya.
Dia juga biang kerok, katanya”
“Ya sudah, kalau begitu nanti kita selesaikan”, kata Kepala Sekolah
“Bapak harus tahu, dia juga melakukan pelecehan. Ada siswa perempuan yang ngadu ke saya”
“Iya, iya, kan ini baru sepihak. Nanti kita pertemukan”
“Aku ingin bertemu dia. Kalau tidak, aku datangi rumahnya”
“Iya. Pasti diusahakan bisa ketemu. Bisa damai”
Habis itu, kami keluar dari Ruangan Guru, untuk masuk ke kelas
masing-masing yang sudah mulai pada belajar. Sebelum pergi ke kelasnya,
Dilan bilang:
“Aku bukan jagoan. Aku hanya melawan, Lia”
“Iya”, jawabku
“Maaf, Lia”
“Iya, Dilan. Aku mengerti”
48
Seperti yang bisa kuduga, akhirnya Dilan mendapat hukuman skorsing.
Dia tidak boleh sekolah selama seminggu. Hari Rabunya, Ibu Dilan datang
ke sekolah. Wati yang memberitahu bahwa itu ibunya Dilan. Wati bilang
mau menemui beliau, aku ingin ikut. Boleh katanya. Kebetulan jam
pelajaran terakhir sedang bebas, karena gurunya tidak bisa hadir.
Kami terpaksa nunggu di luar, karena Ibunya Dilan sudah keburu masuk
Ruangan Guru. Dia dipanggil untuk menuntaskan masalah Dilan berantem
dengan Suripto. Tak lama kemudian Ibunya Dilan keluar, Wati menyambutnya
dengan mencium tangannya dan aku pun begitu.
“Siapa ini?”, Ibunya Dilan bertanya kepadaku
“Milea, Bu”, jawabku
“Oh ya?”, dia sedikit terperangah, matanya hampir seperti mau memandang sekujur tubuhku
“Iya, Bu. Kenapa?”, kutanya
“Oh ini….rupanya”, katanya seraya mengacakkan tangannya di atas pinggang
“Kenapa gitu?”, tanyaku tersenyum
“Ah, kau! Dilan sering cerita soal kamu, tau?”, katanya
“Oh he he”, aku bingung harus jawab apa. Wati memandangku seperti heran.
“Pulangnya kemana, Nak?”, dia nanya
“Ke daerah jalan Banteng”, kujawab
“Naik apa?”, dia nanya
“Angkot. Bareng temen”
“Hari ini, ikut ibu saja, oke? Wati juga ikut ya?”
“Wati ada janji…”
“Ah, sudahlah, ikut makan dulu. Milea juga. Oke?”
“Ng..hayu, Wat?”, aku nanya Wati sambil menggoyangkan tanganku ke badannya
“Hayu lah. Jangan lama tapi..” kata Wati ke ibu Dilan
“Bentar, Bu, mau ngambil tas dulu”, kataku
“Enggak belajar?”, dia nanya
“Ng…Gurunya gak ada”
“Oh ya sudah. Lagi, ini sudah mau bubaran”, katanya sambil memandang jam tangannya.
Kami pergi dengan ibunya Dilan yang nyetir sendiri mobil Nissan Patrolnya.
“Oh, ini namanya Milea ya hmm hmm hmmm?”, dia nanya
“He he iya, Bu”
“Dilan itu sering cerita soal kamu”
“He he jadi malu”
“Bogoheun tah!“, kata Wati (Dilan cinta tuh)
“Cerita apa aja emang?”, kutanya
“Ah banyak lah, tapi gak ibu denger, habisnya dia itu suka ngawur”
“Enya“, kata Wati (Iya)
“Ha ha ha ngawur gimana?”
“Katanya kamu suka makan lumba-lumba. Pasti dia bohong kan?”
“Ha ha ha ha enggak”
“Dia bilang apa lagi itu. Katanya kamu berkumis. Orang secantik ini dibilangnya berkumis”
“Ha ha ha ha”
“Kita makan dulu ya”, kata ibu Dilan
“Siap!”, kata Wati
“Iya, Bu”
Mobil masuk ke halaman salah satu warung makan yang ada di daerah
Buah Batu. Setelah duduk, kami langsung memesan makanan sesuai seleranya
masing-masing. Selagi menunggu makanan datang, Ibu Dilan cerita tentang
pertemuannya dengan pihak sekolah. Tadinya Dilan mau dipecat, tapi
setelah terjadi nego, akhirnya diberi kesempatan untuk tetap sekolah di
situ, dengan masa percobaan selama sebulan.
Sambil makan, Ibu Dilan bilang, ya kita tidak bisa mengkritik tanpa
lebih dulu memahami apa yang kita kritik itu. Termasuk kita tidak bisa
menghakimi anak remaja tanpa kita memahami kehidupannya. Orangtua yang
seharusnya bisa memahami anak-anak, bukan sebaliknya. Jangan anak-anak
yang dipaksa harus memahami orangtua. Anak-anak belum mengerti apa-apa,
meskipun tentu saja harus kita berikan pemahaman.
“Dilan sekarang di rumah?”, kutanya
“Di rumah”
Setelah habis makan, Wati ijin pergi, karena sudah janjian sama Piyan.
“Piyan yang pacarmu itu?”, tanya Ibu Dilan. Oh, Wati pacaran sama Piyan?. Aku baru tahu.
“He he he iya”
“Kenapa tidak diajak sekalian?”
“Dia nunggu di sana”
“Perlu diantar gak?”, Ibu Dilan nanya
“Enggak. Deket kok”
Wati pergi, setelah mencium tangan ibu Dilan. Di mobil jadi cuma aku
dan ibu Dilan. Dia bilang: Dilan itu anak keempat dari lima saudara.
Ayahnya lagi bertugas di Timor Timur. Rumah dinasnya sih di Karawang.
Tapi ibunya Dilan, bersama anak-anaknya, harus tinggal di Bandung karena
bertugas menjadi Kepala Sekolah di SMA.
“Dilan manggil apa ke ibu?”
“Dia? Dia manggilnya Bunda. Kamu manggil apa ke ibumu?”
“Ibu”
“Oh ya, itu juga bagus”
“Lia juga mau manggil Bunda. Boleh?’
“Ke siapa? Ke ibu?”, dia menunjuk dirinya
“Iya”
“Ya boleh. Tapi kalau lagi minta uang, Dilan itu manggilnya suka Bundahara”
“Kok?”
“Iya. Bendahara maksud dia ha ha ha”
“Ha ha ha ha ha”
“Dia itu, memang nakal. Tapi ya selama masih wajar, oke lah. Mudah-mudahan tidak kelewat batas”
“Iya, Bunda”
“Kata Dilan kamu pacaranya. Iya betul?”
“Oh? Dia bilang gitu, Bunda?”, aku tersenyum
“Mungkin dia ngaku-ngaku”
“Ga apa-apa, Bunda”
“Kamu ini cantik”
“Dilan juga, dia tampan”
“Ya. Mungkin karena kamu suka”
“He he he. Belok Kanan, Bunda”, kataku untuk menunjukkan jalan ke arah rumahku
“Oke”
“Bunda asli Bandung?”
“Bunda lahir di Aceh, ikut suami ke Indonesia”
“Aceh kan Indonesia, Bunda?”, tanyaku
“He he becanda”
“Sekarang ke kiri, Bunda”
“Oke, Cantik”
49
Setelah sampai di rumah, aku melihat ada motor Kang Adi di halaman.
Aku turun bergegas, setelah menyapa Kang Adi yang lagi baca buku di
ruang tamu, aku langsung masuk ke dalam rumah untuk mencari ibu. Entah
mengapa perasaanku seperti diluapi oleh rasa gembira.
Bunda masuk, disambut oleh ibuku.
“Oh ini….. ibunya Dilan?”, ibuku menyalaminya
“Iya. Ini, ibu Melia? Waaaaah!”, Bunda nanya
“Iya”, jawab ibuku
“Akhirnya ketemu. Dilan, anakku, wah suka cerita terus soal Milea ini……..”, kata Bunda
“Panggil Lia aja, Bunda”, kataku
“Oh ya ya. Lia”
“Silakan duduk dulu. Mau nyiapain minuman dulu”, kata ibuku sambil masuk ke dalam
“Gak usah repot-repot. Sebentar kok”
Di ruang tamu jadi ada aku, Bunda dan Kang Adi.
“Ini?”, tanya Bunda ke Kang Adi
“Saya pembimbingnya Lia”
“Kuliah?”
“Iya. ITB, Bu”, jawab Kang Adi
“Oh, jurusan apa?”
“Teknik Industri”
“Oh ya? Anak ibu juga ada yang di Teknik Industri”
“Di ITB?”
“Iya. Kenal Landin?”
“Oh Bang Landin? Iya kenal, Bu. Dia senior”
“Itu anak ibu. Kakaknya Dilan, Lia”, kata Bunda sambil memandangku
“Di sana juga, Bunda?”, tanyaku
“Iya”
Tak lama kemudian Ibuku datang membawa minuman, ditemani Si Bibi yang membawa makanan.
“Bagaimana bisa ketemu Lia?”, tanya ibuku
“Di sekolah. Tadi. Kebetulan”
“Oh”
“Aku tadi ditraktir Bunda………..”, kataku kepada ibuku
“Aduh, makasih. Maaf, ngerepotin”, kata ibuku
“Ga apa-apa. Seneng kok. Senang akhirnya bisa ketemu langsung sama orang yang suka diomingin Dilan”, kata Bunda
“Ya sama! Lia juga sama, suka cerita soal Dilan. Seru katanya ha ha. Ngasih yang aneh-aneh. Ngasih apa Lia?”
“TTS yang udah dia jawab he he he, cokelat yang dianterin tukang koran, banyak……..”, kataku
“Ha ha ha ha ha”, Bunda ketawa. ibuku juga
“Banyak sekali, Bunda. Seneng” Kataku. Aku melirik sebentar ke Kang Aldi yang nampaknya bingung harus ngapain
“Dia itu ya begitu. Di rumah juga ya begitu”, kata Bunda,”Ya, maaflah kalau dirasa mengganggu”
“Enggak mengganggu. Malah seru”, kataku
Tiba-tiba suara telepon rumah berdering, Si Bibi yang ngangkat, dari
Dilan katanya kepadaku sambil berbisik. Segera aku kesana meninggalkan
kedua ibu yang bicara soal keluarga dan ketentaraan suaminya.
“Hey!”, kusapa dia
“Sudah pulang sekolah?”
“Iya. Tadi aku pulangnya ada yang ngantar”, kujawab
“Diantar angkot?”
“Bukan. Oleh orang yang aku suka. Kucintai”
“He he he pasti kamu senang”
“Sangat senang sekali!. Namanya juga diantar orang yang aku suka”
“He he he. Pasti akan begitu”
“Diantar siapa coba?”
“Diantar orang yang kau suka kan?”
“Cemburu dong? Cemburu gak?”
“Jangan. Nanti merepotkanmu”, jawabnya
“Coba tebak siapa orangnya?”
“Suripto?”
“Ih! Bukan”, jawabku
“Nandan?”
“Bukaaaan!!! Kamu pikir aku suka ke dia?”
“Aku gak tau. Kan yang punya perasaan kamu”
“Enggak!!! Ingin tahu gak siapa?”
“Kamu pasti akan ngasih tahu”
“Iya. Aku…diantar sama Bundaaa! Ibu kamu”
“Hah?”
“He he he”
“Kok bisa?”
“Bisa dong”
“Ke rumahmu? Ngapain?”
“Iya he he he. Nanti deh cerita”
“Ketemu di mana?”
“Di sekolah. Tadi”
“Boleh aku bicara dengan Bunda?”
“Oke. Tunggu ya”
Aku pergi ke ruang tengah untuk memberitahu bahwa Dilan ingin bicara di telepon. Si Bunda ke sana.
“Aku ketemu Lia……….Akhirnya. Aku ketemu Lia…..”, kata si Bunda kepada
Dilan, dengan bicaranya sedikit bernada. Aku tersenyum mendengarnya. Si
Bunda bicara seperti meledek dan ketawa-ketawa seperti puas. Setelah
itu dia kembali, katanya Dilan ingin bicara lagi sama Lia. Aku ke sana
“Ya?”, tanyaku
“Itu Ibuku, Lia”
“Iya. Aku senang, Dilan”
“Bilang ke dia jangan ngegosipin aku”
“Sudaaaahh ha ha ha ha”
“Sudah apa?”
“Sudah digosipin”
“Ha ha ha. Bilang apa dia?”
“Katanyaaaaaaaaaaa…..kamu suka makan lumba-lumba!”
“Ha ha ha ha ha ha”
“Katanyaaaaaaaaaaa….kamu berkumis!”
“Ha ha ha ha ha ha”
“Katanyaaaaaaaaaaa….kamu…………….he he he”
“Apa ketawa?”
“Katanyaaaaaa….Aku pacarmu..he he he”
“Ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha!!!!”
“Katanyaaaaaaaaaa……………”
“Apa…..?”
“Dilan?”
“Ya?”
“Aku………rindu”
“He he he”
“Boleh?”
“Rindu ke siapa?’
“Ke Dilan”
“Sama”
“Makasih”
“Aku juga rindu….ke Dilan”, katanya
“Ih!”
“Ha ha ha ha ha ha. Iya, aku juga rindu ke Lia”
“He he he he”
“Rindu sebelum waktunya”
“He he he he matang sebelum waktunya”
Setelah selesai nelepon dengan Dilan, aku kembali nemui Bunda. Bunda
pamit untuk pulang. Entah mengapa aku merasa berat membiarkannya pergi
dari rumahku.
Bunda bersalaman dengan ibuku dan Kang Adi. Aku salaman dengannya dan mencium tangannya. Dia tanya:
“Boleh Bunda menciummu?”
“Boleh he he”
“Boleh ya, Bu?”, dia nanya ibuku
“Boleh he he he”, jawab ibuku
Bunda mencium keningku, dan kedua pipiku.
“Cantik anak ini”, katanya.
“He he he makasih”, jawab ibuku
Habis itu aku memeluknya. Itu refleks. Bunda juga memelukku. Ada
lelehan air mata yang aku tidak tahu mengapa itu ada. Kamu harus jadi
aku, aku kesulitan mau mengatakan perasaanku saat itu. Kamu harus jadi
aku, pasti akan melakukan hal yang sama.
“Kenapa nangis, Nak?”, tanya Bunda, menatapku sambil memegang kedua bahuku. Kupeluk lagi dan nangis:
“Aku…senang, Bunda”, kataku. Padahal tadinya mau bilang:”Terimakasih sudah melahirkan Dilan”. Gak jadi. Malu.
“Iya, Nak!”, kata Bunda sambil menepuk-nepuk bahuku: “Bunda pulang ya”, sambungnya.
“Iya, Bunda. Hati-hati, Bunda”, sambil kuseka sisa air di mataku.
Si Bunda naik ke mobilnya. Sebelum benar-benar pergi, kira-kira baru beberapa meter berlalu, aku teriak:
“Bundaaa! Salam ke Dilan, Bundaaaaaa”
“Oke!”, jawabnya, sambil melambaikan tangannya.
Aku kembali masuk, bersama ibuku yang bilang:”
“Ibunya juga rame he he”
“He he he. Lia senang”, aku ketawa
“Kapan Ibu bisa ketemu Dilan?”, tanya ibuku
“Nanti ya, ya”
Ibuku masuk ke dalam. Aku duduk di ruang tamu untuk meladeni Kang
Adi. Tadinya dia nawarin diri menjemput aku di sekolah, tapi kubilang
gak usah. Dia datang ke rumah untuk mengajak aku pergi ke kampus ITB.
“Kang, kayaknya Lia ga bisa pergi deh”
“Kenapa?”
“Capek sekali”
“Oh ya sudah”
“Lain kali aja ya”
“Iya. Atau sekarang belajar aja? Yuk?”
“Nanti aja deh”
“Oh ya udah”
“Akunya capek banget, Kang”
“Iya ga apa-apa. Tadi lihat ibu itu riweuh pisan ya?”, katanya. Riweuh pisan itu bahasa sunda, kira-kira artinya “repot sekali” dalam konotasi yang buruk.
“Aku gak suka Kang Adi bilang begitu ke dia”
“Bukan, maksudnya ibu-ibu banget”
“Aku gak suka Kang Adi bilang begitu ke dia”. Aku mengulang kalimatku. Itu adalah gaya Dilan kalau sedang menyerang.
“Iya bagus. Ibu-ibu memang harus begitu”
“Kang, aku mau tidur dulu kayaknya ya?”
“Oh ya udah, saya pulang aja kalau gitu”
“Iya”
50
Pertemuanku dengan Bunda, adalah hal yang paling membuatku gembira.
Lebih dari itu, bahkan melalui dirinya, pengetahuanku akan Dilan jadi
makin bertambah. Tadi siang, di mobil, aku sempat nanya ke Bunda:
“Emang Dilan belum punya pacar, Bunda?’
“Heh? Bukannya kamu? He he he”
“He he he. Iya kali, Bunda. Tapi, bukannya Susi pacarnya Dilan, Bunda?’
“Susiana itu?”
“Iya he he he”
“Ssst, Susi itu, pengen sama Dilan ha ha ha”
“Oh he he he. Dilannya mau, Bunda?’
“Dilannya? Kayaknyaaaaa…….enggak tuh. He he he. Kayaknya sih”.
“Ha ha ha ha. Tahunya enggak, Bunda?”
“Kau tahu waktu Susi datang ke rumah? Dilan kemana dia?”
“Kemana. Bunda?”
“Sembunyi dalam lemari”
“Ha ha ha ha Bunda tahu?”
“Tahu laaaaah!”
“Ha ha ha ha ha”
Kalau betul Dilan pernah bilang ke Bunda, bahwa aku ini adalah
pacarnya, berarti sejak itu Dilan sudah menganggap aku sebagai pacarnya.
Aku senang, tapi sejak kapan itu mulai? Kenapa tidak ada kesepakatan
bersama? Kenapa tidak ada peresmian? Kenapa tidak ada proklamasi? Atau
Dilan menganggap itu gak perlu? Aku bingung.
Setelah shalat isya, aku coba nelepon Dilan, tapi yang ngangkat si
Bunda. Dilan sedang keluar katanya. Aku jadi ngobrol sama Bunda.
“Oh, Bunda di IKIP Bandung?”, tanyaku, di tengah-tengah obrolan. IKIP
adalah Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, sekarang UPI, Universitas
Pendidikan Indonesia
“Iya, beres kuliah balik lagi ke Aceh”
“Ngambil jurusan apa?”
“Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia”
“Wah suka sastra dong”
“Dilan tuh suka sastra”
“Oh ya?”
“Iya dia. Waktu SMP sampai pernah pergi ke Depok, minta anter pamannya,
pengen ketemu Rendra katanya, ke mana itu? Bengkel Teater. Dia itu emang
suka Rendra”
“Rendra penyair itu, Bunda?”
“Iya. Waktu SMP, sampe nonton pentas dramanya segala. Apa itu judulnya,
Panembahan Reso kalau gak salah. Dia juga suka bikin puisi”
“Oh? Pengen baca puisinya he he he”
“Iya, boleh. Lia ke rumah deh”
“Pengen, Bunda”
“Kapan?”
“Kalau diajak Dilan”
“Iya, nanti Bunda bilang ke Dilan suruh ajak kamu ke rumah ya?”
“Asiikk. Bener ya, Bunda”
“Iya”
“Pengen baca puisinya”
“Iya boleh. Nanti kalau ke rumah ya? Kayaknya dia memang suka sastra. Makanya kamu denger deh, gimana kalau Dilan ngomong”
“Kenapa?”
“Bahasa Indonesianya itu, baku banget”
“Ha ha ha”
“Kau, Aku, Mengapa, Apakah….”
“He he he he iya. Tapi khas, Bunda’
“Waktu SMP, kakaknya kan guru. Itu, suka bawa buku-buku perpustakaan ke rumah”
“Buku apa, Bunda?”
“Itu, Sutan Takdir Alisyahbana, Idrus, Iwan Simatupang. Kau tauk kan?”
“Tahu, Bunda”
“Nah, Dilan baca semuanya. Bahasanya itu, kayaknya kena pengaruh deh.
Bisa juga mungkin karena keluarganya kan banyak dari Sumatera”
“Dilan suka baca ya, Bunda?”
“Pas ulangtahun dulu, ayahnya ngasih hadiah Tafsir Al-Azhar, langsung dia baca semuanya”
“Itu buku, Bunda?”
“Iya. Itu buku tafsir, 30 buku, karya Hamka”
“Selain buku, Dilan suka apa, Bunda?”
“Suka apa ya? Tapi tiap malam, dia itu, main gitar di kamarnya?”
“Dilan bisa gitar, Bunda? Baru tahu”
“Punya gitar dia. Katanya punya group band segala, tapi Bunda ga tau soal itu”
“Waah Dilan punya group band?”
“Kata adiknya begitu”
“Eh, Lia juga pernah lihat kartun Dilan di koran”
“Iya dia suka ngirim. Kau tauk uang honornya dia beli cokelat buat siapa?”
“Buat siapa, Bunda”
“Dia bilang buat kamu ha ha ha ha”
“Oh ya?! Dilan gak bilang”
“Ke Bunda bilang”
“Jadi terharu, Bunda”
“Bunda kasih tau ya, Dilan itu suka sama kamu, Lia he he he”
“Jadi malu. Sehari-harinya gimana sih, Bunda?”
“Siapa? Dilan?”
“Iya”
“Ya gitu aja. Teman-temannya suka pada datang ke rumah. Pada kumpul di kamarnya”
“Pasti rame”
“Bukan rame. Berisik”
“Ha ha ha ha”
“Di kamarnya itu, dia pasang poster Ayatullah Khomeini”
“Oh, Presiden Iran ya, Bunda?”
“Bukan. Itu Imam Besar. Imam Besar Iran. Kalau Presidennya kan Bani Sadr”
“Itu idolanya mungkin, Bunda”
“Iya mungkin, dipasang sejajar dengan siapa itu yang ngelel, si Mick Jagger”
“Iya. Mick Jagger. Rolling Stones”
“Iya. Dia itu aneh. Masih SMA padahal, minta ke ayahnya langganan majalah Tempo”
“He he he. Kalau Lia sih majalah Gadis. Kalau Bunda?”
“Kalau Bunda sih majalah Kartini”
“Ibu Lia juga. Sama”
“Ibu-ibu laaah”
“He he he iya. Dilan suka makanan apa, Bunda?”
“Curiga nih Bunda, nanya-nanya terus soal Dilan”
“Ha ha ha ha ha”
“Kamu beneran pacaran yaaaaa?”
“He he he. Tanya Dilan aja deh, Bunda”
“Kenapa harus tanya Dilan?”
“He he he Lia sih terserah Dilan? Takut salah”
“Kok?”
“Biar Dilan yang menjelaskan ha ha ha”
“Kamu takut sama Dilan?”
“Enggak, Bunda. Dia baik”
“Ya syukurlah. Udah, pokoknya, nanti Bunda nyuruh Dilan ajak kamu ke rumah ya?”
“Iya, Bunda. Mau. Mau. Asik”
Bertambah lagi informasiku tentang Dilan. Aku senang. Selama ini
Dilan tidak pernah bilang tentang siapa dirinya. Tadinya aku juga mau
nanya pendapat si Bunda soal Dilan yang jadi anggota geng motor, tapi
gak tahu kenapa, rasanya gak enak mau nanya. Mungkin nanti aja deh di
kesempatan yang lain.
Aku jadi merasa makin akrab dengan Bunda. Ingin rasanya ada waktu
bisa berdua dengannya, bicara banyak terutama soal Dilan. Mungkin bisa,
kalau aku usahakan. Si Bunda kayaknya akan selalu siap untuk mau. Ah,
kebayang olehku, seandainya aku benar-benar pacaran dengan Dilan, kepada
siapa lagi aku curhat, soal masalah hubungan, kalau bukan ke dia, ke si
Bunda.
51
Kamis pagi, pas aku mau sekolah, ada Kang Adi sudah datang ke
rumahku. Aku kaget, ada apa?. Dia mampir, kebetulan lewat rumah katanya.
Kang Adi nawarin aku ikut dia ke sekolah, sekalian ada perlu katanya,
mau ke daerah di dekat sekolahku. Oh? Meskipun aku males, akhirnya ikut
juga.
Sesampainya di sana, aku minta diturunin di pertigaaan jalan,
maksudnya biar aku terusin dengan jalan kaki bersama-kawan-kawanku yang
lain. Kang Adi bilang:
“Kenapa gak sampai sekolah?”
“Ga apa-apa”
“Takut ada yang cemburu ya?”
“Siapa?”
“Dilan!?”.
Heh? Aku kaget. Oh, dia tahu soal Dilan, waktu ada si Bunda ke rumahku.
“Enggak, Lia hanya pengen jalan aja”, kataku
“Kali, takut dia cemburu he he he”
“Enggak”
“Emang dia pacarmu ya!?'”
“Kalau iya kenapa? kalau enggak kenapa?”
“Ga apa-apa. Cuma nanya he he he. Ya, sud, langsung ya”, kata Kang Adi permisi mau pergi
“Iya. Makasih, Kang”
Kang Adi pergi, aku jalan sendiri dengan pikiran seolah-olah sedang
bicara dengan Kang Adi: Setahuku, Dilan bukan cowok cemburuan. Justeru
Kang Adi yang menurutku sedang cemburu ke Dilan. Dilan itu, Kang Adi,
denger ya, bahkan waktu Dilan mengira aku pacaran sama Nandan, Dilan
malah bilang kepada kawan-kawannya: “Jangan ganggu Milea, dia sudah
pacaran dengan Nandan”. Apa kau bisa begitu, kang Adi?
Kang Adi pergi, ingin rasanya aku bilang ke dia, untuk tidak lagi
nerusin ngebimbing aku belajar. Tapi Ayah pasti gak akan setuju. Malah
kata Ibu, Ayah sudah terlanjur ngasih uang ke Kang Adi untuk bayar
selama dia membimbing aku belajar.
Aku berjalan ke sekolah, berjalan menyusuri jalan itu, jalan Dilan
dan Milea. Jalan kenangan awal aku berjumpa dengannya. Berjumpa dengan
Sang Peramal. Tapi hari itu aku berjalan dengan enggan, entah mengapa,
sedikit kurang semangat, mungkin karena tahu bahwa sampai hari sabtu,
Dilan tak akan ada di sekolah.
52
Pada waktu jam istirahat, aku pergi ke kantin bersama Wati dan Revi.
Kami duduk di luar kantin menikmati kupat tahu Mang Endang. Datanglah
rombongan Susi yang pada mau masuk kantin.
“Eh, Wat, Dilan sehat?”, tanya Susi ke Wati. Kayaknya dia tahu deh Wati itu saudara Dilan. Entahlah
“Oh, sehat”
“Bilang ke dia, salam ya”
“Iya, kalau ketemu ya”
“Bilang, rindu jalan-jalan lagi gitu he he”
“Iya”
“Emang udah jadian, Sus?”, tanya temannya
“Masa’ harus bilang-bilang”, jawab Susi. Aku melihat mata Wati memandangku.
“Traktir siah”, kata teman satunya lagi.
“Kalem. Makasih ya, Wat”
“Sama-sama”, jawab Wati, lalu mereka pergi.
“Si Pikaseubeuleun“, kata Wati. Artinya: “Orang menyebalkan’
“He he he”, aku ketawa, bersamaan dengan datangnya Piyan
“Hey”, kusapa dia
“Hey, hey, hey”, kata Piyan. Kalau Wati senang ada Piyan, aku juga sama
“Yan, traktir”, kata Wati
“Traktir wae“, jawab Piyan, artinya: “Minta traktir terus”. Aku ketawa.
“Ga ada si Dilan mah, kamu ke sini!”, kata Wati
“Aku makan apa ya?”, tanya Piyan seperti kepada dirinya sendiri,
tanpa menghiraukan omongan Wati. Aku senyum sendiri merhatiin tingkah
Piyan dan Wati. Lucu dan romantisnya sederhana tapi cukup. Aku gak tahu
sejak kapan mereka pacaran. Tapi kayaknya baru deh.
Piyan makan kupat tahu juga, sama seperti kami. Kami makan sambil
ngobrol ngalor ngidul. Tidak lama kemudian, datang lagi rombongan Susi,
yang baru selesai jajan di kantin dalam.
“Yan”
“Hey, Sus!”
“Bisa ngobrol sebentar, Yan?”
“Piyan lagi makan”, jawab Wati
“Bentar kok”, kata Susi
“Ga apa-apa”, kata Piyan seperti bersiap mau berdiri, tapi tangan Wati meraih tangan Piyan:
“Makan dulu!”, katanya
“Bentar kok, Wat”, kata Susi
“Kubilang makan dulu!”, kata Wati lagi ke Piyan dengan nada sedikit tinggi
“Atau nanti pas pulang, Yan”, Susi bicara lagi
“Iya, Sus”, jawab Piyan
“Gak boleh!”, kata Wati sambil makan
“Kamu kenapa Wati?”, tanya Susi
“Apa urusanmu?!”, Wati balik nanya
“Eh, kok marah? Urusan apa?”, tanya Susi
“Kalau aku marah mau apa?”, Wati balik nanya
“Udah ah, apa sih?”, timpal Piyan. Aku sih no comment. Kupandang
Susi yang kebetulan sedang memandangku juga. Matanya seperti menyiratkan
perasaan tak suka.
“Jangan marah lah, Wat”, kata teman Susi ke Wati
“Apa!!!?”, tanya Wati sambil dia dongakkan kepalanya kepada temannya Susi itu
“Udah, udah. Selesai. Gak boleh berantem”, Piyan berdiri seperti orang yang mau melerai
“Sabar, Wat”, kataku sambil kupegang tangannya
“Siapa lu! Ikut campur?”, tanya Susi kepadaku, tiba-tiba, membuat aku kaget, kenapa jadi ke aku?
“Ga apa-apa”, jawabku
“Udah, Sus”, kata temannya berusaha mengajak Susi pergi
“Lu, yang pengen ke Dilan ya?”
“Sus, udah!”, kata temennya yang lain. Aku mengambil sikap diam.
Nampak Piyan masih sedang berdiri, bagai mengatur situasi untuk tidak
jadi kacau, sambil terus memegang tangan Wati.
Syukurlah, kemudian Susi bisa diajak pergi oleh kawannya. Tapi sebelum itu, sebelum Susi berlalu, dia bilang ke aku:
“Awas lu!”
“Naon ngancam-ngancam?”, Wati nanya ke Susi yang mulai berlalu. Artinya:”Apa ngancam-ngancam?”
“Gandeng!”, jawab Susi dari jauh. Artinya: “Berisik”
“Maneh nu gandeng mah!“, Wati berusaha ngomong ke Susi yang sudah jauh. Artinya:”Kamu yang justeru berisik”
“Kamu kenapa?”, tanya Piyan ke Wati, sambil duduk
“Aku gak suka Susi!!”, jawab Wati, “Awas kamu, kalau nemui dia!!”, sambung Wati.
53
Kejadian di kantin masih terus saja kepikiran, sampai aku sudah ada
dalam angkot untuk pulang. Lupa, harusnya tadi aku bilang ke Wati, untuk
jangan sampai Dilan tahu soal itu. Oke, aku harus nelepon Wati kalau
sudah sampai rumah.
Di angkot, aku duduk paling belakang, sehingga bisa melihat ada
motor, yang melaju di belakang mobil angkot. Pengendaranya adalah Dilan
yang bisa melihatku. Dia berpakaian bebas dengan jaket jeans lusuhnya,
memandangku, sambil telunjuk tangan kirinya itu digerak-gerakkan ke arah
bawah. Kukira itu kode untuk menyuruh aku turun.
Aku bilang “kiri” untuk meminta sopir menghentikan angkotnya. Aku
turun dan bayar. Kudatangi Dilan yang sudah berhenti di tepi jalan.
“Hey”, kusapa dia
“Aku tadi ke sekolah”
“Ngapain?”
“Nyari kamu”
“Aku gak tahu”
“Sekarang tahu”
“He he he iya”
“Aku pernah meramal kamu nanti akan naik motorku. Ingat?”
“Iya”
“Bantu aku”
“Bantu apa?”
“Mewujudkannya”
“Ha ha ha”
“Mau bantu?”
“Ng…Mau!”
“Aku suruh, atau kau naik sendiri?”
“Suruh!”
“Ikut aku, Lia”
“Kalau gak mau?”
“Kamu ingkar janji”
“Kok?”
“Tadi kamu sudah bilang mau”
“Ha ha ha ha”, aku ketawa sambil naik motornya. Sebelum jalan, Dilan nanya:
“Aku bingung, kubawa jalan-jalan dulu, atau langsung kubalikin ke dealer?”
“Siapa?”
“Kamu”
“Heh? Emangnya aku kendaraan?”
“Ha ha ha ha. Katanya, perempuan gak suka ditanya. Ya udah. Langsung kubawa jalan-jalan aja”
“Kemana?’
“Jangan tahu, gak perlu, yang penting berdua sama kamu”
“He he he. Ini mau jalan apa enggak?”
“Mau, tapi kamu jangan meluk”
“Enggak”
“Kecuali kau mau”
“Ha ha ha mau!!”
Kemudian kami jalan. Itu adalah hari yang kuingat sebagai hari
pertama kalinya aku naik motor Dilan. Aku tidak tahu kata-kata apa yang
tepat untuk mengungkapkan rasa senangku, mudah-mudahan kamu bisa tahu
bagaimana perasaanku. Berdua dengan Dilan, menyusuri jalan Buahbatu,
lalu belok kanan ke arah jalan Laswi. Enggak tahu mau dibawa ke mana.
Terserah Dilan.
“Sudah makan?”, Dilan nanya
“Perempuan gak suka ditanya”
“Ha ha ha! Oke, kita makan dulu”
“Kemana?”
“Perempuan gak suka ditanya. Lebih suka banyak nanya”
“Ha ha ha ha terserah KAU lah, Gengster!!”
“Ha ha ha”
54
Akhirnya, kami milih makan bakso, di “Baso Akung”. Itu warung tenda.
Dulu lokasinya di jalan Banda, dekat GOR Saparua. Di sana sedang tak
banyak orang, maksudnya cuma ada tiga orang sedang makan dan bicara
berketawa.
Kami masuk dan kuawali dudukku sambil sebentar memandangnya.
Memandang Dilan yang juga mulai akan duduk. Aku nyaris tak percaya bahwa
hari itu akan ada: Ah, aku makan berdua dengan Dilan.
Dilan pesan Bakso Kuah, aku pesan Bakso Yamin.
“Aku suka, mereka bisa mengenang pahlawan dengan bakso”, kata Dilan,
suaranya pelan berbisik sambil memajukan mukanya agak sedikit ke arahku
“Caranya?”
“Dia namai Bakso Yamin”
“Kok?”
“Aku jadi inget Muhammad Yamin”
“Ha ha ha”.
“He he he”
“Kalau Bakso Kuah?”, kutanya dia
“Itu akan membuat aku ingat……….”
“Ingat apa?”
“Akan membuat aku ingat, ke kamu, aku pernah makan bakso kuah sama kamu, di sini”
“He he he”
Angin berhembus, sedikit agak kencang, memberi kepastian tentang
perlunya daun-daun pohon damar itu berguguran, untuk aku merasa romantis
dalam kesenduan.
“Kau lihat orang itu..”, kata Dilan sambil memberi kode, dengan mukanya,
untuk aku melihat kepada seorang laki-laki dan wanita berhadapan, yang
duduk agak jauh di sana. Mereka baru usai dari makan, dan ngobrol sambil
tangannnya berpegangan. Tapi sebelum kutahu maksud Dilan, bakso pesanan
sudah datang, dan disimpan di depan kami.
“Kenapa orang itu?”, kutanya dengan suara pelan sambil mulai mengaduk bakso
“Aku suka laki-lakinya”, jawab Dilan sambil mengaduk juga baksonya
“Heh?!”
“Bukan. Laki-lakinya, kayaknya dia gak mau, tangan pacarnya itu hilang”
“Tahunya?”, kataku, dengan suara yang sama pelan, sambil senyum ke dia
“Makanya dia pegang terus”
“Ha ha ha”
“Heeeh…Jangan ketawa”, perintahnya dengan suara pelan lalu menyuapkan makanan ke mulutnya
“Kenapa?”, tanyaku sambil merapikan rambutku.
“Nanti laki-laki itu jadi suka ke kamu”
“Kenapa emang?”, tanyaku sambil menyuapkan makanan, sedikit, karena merasa kikuk makan di depannya
“Ketawamu bagus”
“He he ketawa ah”
“Terserah! Nanti aku berantem dengan dia”
“Karena?”
“Rebutan”
“He he he. Kamu yang menang”
“Karena?”
“Aku ingin kamu yang menang he he he”
Kamu tahu tidak? Saat itulah aku ingin nanya ke Dilan, untuk dapat
kepastian, apakah aku dengannya sudah pacaran atau belum? Mungkin buatmu
itu gampang, ya aku juga sudah lama berencana mau nanya soal itu,
kelak, kalau berjumpa dengan dia. Tapi ketika sudah ada di depannya,
kenapa jadi seperti susah kuungkapkan?
Atau sudah tak perlu lagi kutanyakan, tinggal kuanggap sudah. Bisa
begitu, tinggal jalan. Tapi akan lebih afdol lagi kalau resmi. Aku jadi
punya hak untuk mengklaim Dilan sebagai pacarku, dan dia juga begitu.
Aku yakin kamu mengerti maksudku.
Dilan berdiri dan bergerak mengambil kerupuk di dalam kalengnya.
“Ini buat kamu”, katanya
“Makasih”
“Awet-awet”
“Sampai besok? He he he”
“Sampai malam. Sekarang dimakan setengahnya. Sisanya buat di rumah, makan malam”
“He he he kan bisa beli lagi?”
“Enggak, harus itu. Nanti aku minta plastik, dibungkus”
“Serius ini? He he he”
“Iya”
“Ya udah”, kupotong kerupuk itu jadi dua, “Yang ini buat malam he he
he”, sambungku sambil kupandang Dilan. Setengahnya kumakan, setengah
lagi kusimpan di sisi piring pisin.
Sehabis makan, kami pergi. Menelusuri jalan dengan langitnya yang
mendung. Dengan pohon-pohonnya yang rindang, di sepanjang perjalanan.
Dengan bunga-bunganya yang bagus, karena itu Oktober, memang sedang
musimnya. Waktu itu, Bandungnya masih sepi, belum banyak kendaraan.
Jalan juga belum lebar dan masih tentram. Cobalah ke Bandung pada tahun
seribu sembilan ratus sembilan puluh, kau akan kecewa dengan keadaan
sekarang
Aku gak tahu mau dibawa kemana, dan gak mau tahu, aku hanya ingin
berdua dengan Dilan hari itu. Siapa pun, jangan ada yang bilang tidak
boleh, termasuk kamu, juga Susi, juga Beni, Kang Adi, Nandan, Suripto,
dan lain-lain, karena itu pasti akan membuat aku sedih.
Senang sekali rasanya bersama orang yang kuanggap bisa memberiku
penghiburan. Tenang sekali rasanya bersama orang yang kuanggap bisa
memberiku perlindungan. Riang sekali rasanya bersama orang yang aku
rindukan bisa berdua denganku. Biarkan aku memilih dan memiliki
kesenangan sendiri. Dia adalah Dilanku, jangan diambil.
55
Motor melaju dengan pelan di jalan Telaga Bodas. Itu saat Dilan akan mengantar aku pulang
“Itu pohon”, kata Dilan di atas motor, sambil nunjuk satu pohon. Dia
memang bilang, saat itu, ingin jadi guideku, katanya biar lebih kenal
Bandung
“Wow”, jawabku sambil senyum, pura-pura terperangah seolah aku baru tahu pohon
“Itu langit!”, dia angkat telunjuknya ke atas
“Mendung”
“Iya. Itu Mang Jajang”, Dilan menunjuk tukang dagang di pinggir jalan
“Kamu kenal?”
“Kita namai aja Jajang”
“Ha ha ha”
“Itu uang!”, Dilan nunjuk bapak-bapak yang sedang jalan di trotoar
“Mana?”, kutanya
“Di dalam kantongnya”
“Tahu ada uangnya?”
“Kita anggap begitu”
“Kita anggap uangnya semilyar”
“Jangan, nanti dia kecewa”
“Kenapa?”
“Pas dirogoh, kantongnya kosong”
“Kan kita lagi anggap-anggapan ih!?”
“Dia ingin nyata”
“Ha ha ha”
“Ini kamu”, dia menunjukku dengan mengarahkan telunjuknya ke belakang
“Aku baru tahu”, kataku sambil senyum
“Pemakan lumba-lumba”
“Ha ha ha kamu beneran bilang begitu ke Bunda?”
“Iya”
“Mmm…kamu beneran bilang aku berkumis ke Bunda?”
“Iya”
“Mmmm…..Kamu beneran bilang…..aku pacarmu ke Bunda?’
“Iya”
“Emang kita pacaran?”
“Iya”
Aku langsung diam mendengar dia bilang “iya”. Aku langsung bingung
gak tahu aku harus ngomong apa. Bisakah itu kuanggap Dilan sedang
nyatain? Bisakah itu kuanggap bahwa dengan sendirinya kami resmi pacaran
sejak itu? Ih, Dilan!
“Kenapa diam?”, tanya Dilan
“Eh? Enggak. Ga apa-apa”
56
Waktu tiba di rumahku, ada Bang Faris, pamanku, sedang mengikat satu
dus di ujung belakang jok motornya, entahlah apa isinya. Bang Faris lalu
bilang bahwa ibu nanyain aku. Aku jawab ada acara di rumah teman.
Kuperkenalkan Dilan kepadanya.
“Mau masuk dulu gak?”, kutanya Dilan
“Langsung aja”
“Oke, Makasih ya”
“Sama-sama”
Setelah permisi ke aku dan Bang Faris, Dilan lalu pergi.
“Pacarmu?”, Bang Faris nanya
“Teman”, jawabku. Ah, kenapa harus bilang Dilan cuma teman? Gak enak rasanya.
“Awas, dia nakal”
“Dia baik”
“Kamu ikut besok?”
“Ke?”
“Acara syukuran”
“Syukuran apa?”
“Di rumah Adi. Ayah, ibu juga ikut”, jawabnya. Adi yang dia maksud adalah Kang Adi
“Oh? Besok?”
“Iya, malam”
“Syukuran apa sih?”
“Itu, syukuran buka toko di BIP”, jawabnya. Bandung Indah Plaza memang baru launching bulan Agustus kemaren.
“Kok baru ngasih tahu?”
“Tanya ibu deh. Tadi nyari sampai nelepon ke sekolah”
“Oh? Ya udah”
Aku masuk dan kudapati ibu marah karena aku pulang telat. Marah
sedikit, tapi itu juga marah. Kubilang terus terang bahwa aku habis
jalan-jalan sama Dilan. Ibu bilang kalau pulang telat aku harus kasih
khabar dulu ke rumah.
Ibu nanya menyinggung hubunganku dengan Beni. Aku ingin bilang bahwa
hubunganku dengan Beni sudah lama berakhir, tapi gak jadi, gak usah.
Jadi kujawab baik-baik saja. Ibu memang belum tahu, belum kukasih tahu.
Maksudku, butuh waktu yang tepat untuk aku ceritakan.
57
Malamnya Kang Adi nelepon, dia bilang soal acara syukuran yang akan
diselenggarakan di rumahnya. Dia meminta aku datang, katanya sekalian
kenalan dengan anggota keluarga Kang Adi.
“Insya Allah, ya Kang”
“Mau nyiapin makanan khusus buat Lia”
“Gak usah, Kang. Ngerepotin”
“Buat Lia sih enggak?”
“Gak usah, Kang”
“Pokoknya istimewa. Masakan super istimewa”
“Samain aja dengan yang lain”
“Ini saya lho yang masaknya. Gini-gini juga bisa masak he he he”
“Besok malam ya?’, kutanya
“Iya, datang ya. Pokoknya ada makanan istimewa buat Lia”
“Makasih. Insya Allah, ya Kang”
“Atau mau kujemput?”
“Ikut ayah kayaknya, Kang”
“Pokoknya ditunggu. Mama juga bilang: Lia ajak ke sini”
“Mama…? Mama Kang Adi?”
“Iya. Mama saya”
“Oh”
“Ya, sekalian kenalan lah. Tak kenal maka tak sayang kan?”
“Iya. Insya Allah”
Seusai Kang Adi nelepon, aku pergi ke dapur untuk makan, dengan
pikiran dipenuhi banyak hal tentang Dilan, termasuk jadi ingat kerupuk.
Kuambil kerupuk yang tinggal setengah itu, dari dalam tas sekolahku, dan
kumakan bersama makan malamku, sambil senyum: Aku habiskan ya, Dilan!
Terimakasih kerupuknya. Enak.
58
Tadi, di sekolah, aku gak semangat. Selalu begitu sejak sekolah gak
ada rasa Dilannya. Tapi tadi aku ketemu Piyan, di tempat tukang photo
copy, dan ngobrol soal Wati yang izin gak masuk sekolah karena sakit.
Juga ngobrol soal Dilan. Pastilah itu.
“Pokoknya cuma kamu yang tahu ya aku sama Dilan? Maksudku aku mau sama Dilan he he he”
“He he he iya. Dilan kan gak suka kalau pacaran diumum-umumin”
“Dilan bilang gitu?”
“Gak perlu kata dia sih, gak perlu orang tahu”
“Bilang gitu ke kamu?”
“Iya. Dia mah curhatnya ke saya”, jawab Piyan
“Oh”
“SD, SMP, aku bareng sama Dilan terus”, kata Piyan
“Oh ya?”
“Dilan pernah pacaran gak?”, kutanya
“Waktu SMP, pernah sama Hemi”, jawabnya
“Putus kenapa?”
“Tanya langsung Dilan aja. Takut salah”
“Iya. Katanya suka pada kumpul ya di rumah Dilan?”.
“Iya”
“Ngapain?”
“Paling gitar-gitaran. Main domino. Jagoan dia”
“Domino itu apa?”
“Main gaple”
“Oh. Aku pengen ikut ngumpul…..”
“Tapi kan itu malem”
“Kan bisa izin dulu ke ibu. Bilang nginep di rumahnya Wati he he he. Tetanggaan, kan?”
“Iya”
“Bikin acara yuk sama Dilan?”
“Malam minggu suka nyate di belakang rumahnya”
“Sate ayam ya?”
“Apa aja”
“Ayamnya dari mana?”
“Ya beli lah”
“Katanya pernah ngambil ayam ibunya Wati?”
“Ha ha ha ha iya, sekali. Kok tahu?”
“Kata Wati ha ha ha”
“He he he”
“Tahu ayamnya diambil, terus apa kata ibunya Wati?”
“Ya, ga apa-apa. Gitu aja. Kan saudaranya”
Oh, waktu SMP Dilan pernah pacaran. Kenapa putus ya? Apakah Dilan
nyeleweng? Siapa tadi namanya? Hemi. Seru enggak ya Dilan pacaran sama
Hermi? Sedikit ada cemburu, meskipun harusnya aku sadar, toh aku juga
pernah pacaran dan putus. Iya sih.
Selain itu, tadi juga kami obrolkan soal Susi, tapi kata Piyan: sudah
tidak perlu diambil pusing. Ya sudah! Yang penting Dilan gak mau sama
Susi.
59
Sorenya, dengan mobil ayahku, aku pergi bersama ayah, ibu, dan
adikku, ke rumahnya Kang Adi. Sopirnya Bang Faris. Kamu pasti tahu,
meskipun aku ikut, sebetulnya aku malas. Kata ibu, mendingan ikut aja,
gak enak. Aku nurut. Padahal aku lebih suka di rumah, dan mungkin akan
dapat telepon dari Dilan.
Kami datang lebih awal, karena Ayahku, yang diwakilkan kepada Bang
Faris, adalah pihak yang menjadi rekan bisnis ayahnya Kang Adi, sehingga
otomatis kami menjadi bagian dari panitia penyelenggara acara syukuran
itu.
Sebelum magrib, kami sudah tiba di sana. Ayah ngobrol dengan Ayahnya
Kang Adi di Paviliun, Ibu dan adikku juga. Kang Adi meminta aku untuk
membantu ibunya di dapur yang sedang sibuk menyiapkan makanan. Aku
nurut, kau tahulah, pasti dengan terpaksa.
Di dapur, tidak cuma ada aku, Kang Adi dan ibunya, tapi ada juga
tantenya dan seorang ibu, yang aku gak tahu siapa dia. Pada sibuk
nyiapin ini itu. Tugasku menghekter dus kertas sambil duduk di lantai.
Dus itu akan dipakai untuk tempat makanan yang akan dibawa pulang para
tamu. Aku tidak kerja sendiri, tapi ditemani Kang Adi.
‘Bu, disimpan di mana ini?”, kutanya ibu Kang Adi sambil berdiri membawa beberapa dus kosong.
“Di situ aja, Neng” kata ibunya Kang Adi sambil nunjuk ke atas meja.
“Jangan manggil ibu lah, panggil Mimih aja”, kata Kang Adi yang masih
duduk bersila di tempat yang banyak tumpukan kertas-kertas dus itu.
“Iya”, jawabku sambil menumpukkan dus kosong di atas meja
“Mih, ini tuh Lia, anak Pak Adnan”, kata Kang Adi kepada ibunya yang
sedari tadi berdiri membungkus beberapa makanan di atas meja panjang.
Aku senyum kepada ibunya yang menoleh kepadaku dan bertanya:
“Kelas berapa sekarang?”
“SMA, Bu”, jawabku
“Ibu lagi. Panggil Mimih aja”, kata Kang Adi
“Iya, Kang”, jawabku sambil kembali kerja
“Teh, itu mah dipisahin aja kayaknya”, kata Ibunya Kang Adi kepada
ibu-ibu yang disampingnya yang lagi sibuk misah-misahin makanan.
“Udah besar ya?”, kata ibunya Kang Adi entah kepada siapa.
“Siapa?”, tanya ibu-ibu di sampingnya
“Itu anak Pak Adnan”, jawab ibunya Kang Adi. Oh, ke aku.
“Iya, Mih?”, tanyaku
“Kamu udah besar. Kelas berapa?”
“Kelas dua, Mih”, jawabku
“Kenal Adi di mana?”, tanya Tantenya yang lagi duduk sambil ngelapin buah-buahan
“Saya ngebimbing dia belajar”, jawab Kang Adi
“Oooh, kirain pacarnya”, kata Tantenya
“Bukan”, jawabku
“Cantik juga”, kata Tantenya lagi
“Makasih he he”, jawabku. Habis itu permisi untuk mau shalat magrib.
60
Menjelang acara dimulai, sudah banyak tamu yang datang, tidak
semuanya kukenal. Sebagian besar pada kumpul di ruang tengah, dan aku
juga di situ, bergabung bersama ayah, ibu dan adikku. Kang Adi berdiri
di sampingku, sedangkan Bang Faris berdiri bersama Ayahnya Kang Adi.
Setelah ayah Kang Adi ngasih sambutan, acara disusul oleh dibacanya
doa-doa. Baru kemudian giliran Bang Faris, diberi mandat untuk memotong
tumpeng itu. Pucuk tumpengnya disimpan di atas piring dan kemudian
diberikan kepada ayahku. Acara syukuran pun selesai, ditutup oleh
seluruh tamu dipersilakan menikmati hidangan yang sudah disediakan.
Kang Adi ngajak aku untuk pergi ke Paviliun, dan bilang:”Kenalan sama
temen-temen. Sebentar”. Aku ke sana dan kudapati ada 4 orang yang
sedang duduk di sofa merah. Semuanya laki-laki, sebaya dengan Kang Adi.
Setelah kenalan, Kang Adi menyuruh aku duduk di bangku yang ada di
sampingnya.
Kelima orang itu semuanya mahasiswa, masing-masing kuliah di tempat
berbeda. Katanya mereka temen Kang Adi waktu dia di SMA. Kang Adi pergi
dan tak lama datang kembali dengan membawa makanan bersama minuman
coca-cola.
“Saya bikin khusus buat Lia nih”, kata Kang Adi
“Wey, enak nih!”, kata temannya
“Heh, buat Lia, ini”, kata Kang Adi seolah meledek temannya itu
“Makasih”, kataku
“Bagi ya, Lia?”, pinta temen Kang Adi yang satunya lagi
“Bareng-bareng aja”, jawabku
“Lia yang bagiin dong”, kata Kang Adi
“Aku yang banyak ya, Lia. Belum makan dari SD nih”.
“Gimana pacaran sama Adi?”, tanya temannya yang pake sweater
“Pacar apaan?’
“Maafin nih, kita-kita emang suka pada ngebodor”, potong Kang Adi
Sebenarnya aku bingung, di situ harus ngapain, selain untuk menikmati
makanan dan ber-ha-ha-he-he mendengar mereka yang masing-masing pada
berusaha ngebodor.
“Anjiiir ha ha ha ha ha terus ceweknya gimana?”, tanya orang yang bernama Rudi kepada orang yang bernama Diki.
“Kepanasan lah, kan ditanganku ada Rhemasonnya ha ha ha ha ha ha!!”
“Ha ha ha ha ha ha ha, parah!”, Rudi ketawa, Gagan juga, Diki juga, Pipin juga, Kang Adi juga, aku cuma bisa he he he.
“Kalau udah kumpul kita mah ya gini, Lia. Seru”, kata Kang Adi
“Iya”, jawabku
“Kamu pernah gak, tali BH nya kamu tarik dari belakang? Ha ha ha ha”, Rudi nanya ke orang yang bernama Gagan
“Ha ha ha ha!!”, hampir semua ketawa, aku cuma bisa he he he.
Saat itu, saat mereka ngebodor itu, pikiranku sedang naruh curiga,
jangan-jangan, tanpa sepengetahuanku, Kang Adi ngaku-ngaku pada mereka
bahwa aku adalah pacarnya dia. Sialan, kau. Tadinya mau kubilang bahwa
aku sama sekali bukan pacarnya. Tapi tak kunjung bisa kuucapkan, mungkin
aku merasa ini tak enak bila aku katakan sedangkan aku berada di
rumahnya.
Serius, aku ingin pulang. Atau minimal aku ingin bergabung dengan
ayah dan ibuku di ruang tengah. Serius, selagi aku di situ, iya betul,
diriku memang di situ, tapi pikiranku sepenuhnya pergi ke Dilan! Dilan,
di mana kamu? Lagi ngapain? Kamu pasti nelepon ya? Akunya gak ada ya?
Yang ngangkat si Bibi ya? Kasian. Nanti ya, Sayang, akunya lagi bosan
dulu di sini.
Lalu ayah manggil, katanya sudah saatnya untuk pulang. Memang,
sebagian besar tamu juga sudah pada pergi pulang. Aku berdiri dan pamit
pada mereka, lalu pergi ke ruang tengah disusul oleh Kang Adi. Rasanya
aku seperti bahagia karena lepas dari tempat yang bikin aku bosan.
Di ruang tengah sudah tak banyak orang, tinggal keluarga Kang Adi dan
keluargaku. Ada beberapa orang lainnya yang entah siapa mereka aku gak
tau.
“Ini, anak saya, Bu”, kata ibuku memperkenalkan aku kepada ibunya Kang Adi
“Iya, tadi di dapur. Bantu-bantu. Kirain siapa”, jawabnya
“Terimakasih, Adi udah mau ngebimbing Lia”, kata ibuku lagi
“Ga apa-apa. Senang kok”, jawab Kang Adi nyerobot
“Adi itu suka ngebimbing adik-adiknya juga. Kadang-kadang ada anak tetangga yang pada ikut belajar di sini”, sambung ibunya
“Wah bagus itu”, kata ibuku. Sementara ayahku sudah di luar, sedang ngobrol sama ayahnya Kang Adi dan Bang Faris.
“Jangan pacaran dulu”, kata ibu Kang Adi kepadaku
“He he he, iya, Bu”, kujawab. Lalu dia ngobrol dengan ibuku untuk membahas soal lain.
61
Kami pulang, setelah saling bersalaman. Sesampainya di rumah, jam
sudah menunjuk angka 10. Jaman dulu, jam segitu, sudah dianggap larut
malam. Aku langsung cari si Bibi, dia ada di kamarnya. Kutanya, apakah
Dilan nelepon? Iya katanya.
“Bilang apa dia?’
“Ngajak Bibi ngobrol”, jawab si Bibi
“He he he. Ngobrol apa?”
“Apa ya? Itu, katanya dia lagi di atas pohon”
“Ha ha ha ha ha. Terus?’
“Aneh. Apa lagi ya? Katanya kalau diculik, Bibi mau nolong gak?”
“Ha ha ha. Kalau dia diculik maksudnya?”
“Iya”
“Terus apa kata Bibi?”
“Ya, mau lah. Diculik apa tanya Bibi?”
“Diculik apa katanya, Bi?”, aku nanya
“Diculik semut jahat”
“Ha ha ha ha”
“Terus katanya mau ngajarin Bibi suara bencong, buat nyamar”, kata si Bibi
“Ha ha ha ha ha. Terus Bibi bilang apa?”
“Bibi bilang gak mau”
“Terus apa katanya?”, aku mulai duduk di kasur si Bibi
“Dipaksa mau, nanti dikasih uang katanya, seribu”
“Ha ha ha. Bibi tahu siapa dia?”
“Siapa?”
“Jangan bilang-bilang ya?”
“Iya”
“Dia pacar Lia he he he”
“Oh?”, Si Bibi nampak seperti orang terperangah, mulutnya ditutup dengan kedua tangannya
“Iya, Bi”
“Terus Den Beni?”
“Sudah hilang!”
“He he he. Eh? Tadi juga ada yang nelepon”
“Siapa, Bi?”
“Siapa ya, Nandan gitu?”
“Oh iya. Apa katanya?”
“Bibi bilang Lianya lagi kondangan, terus udah”
“Oh, ya udah”
Lalu aku masuk kamar, setelah bersih-bersih dan gosok gigi. Lelah
sekali hari itu, dan langsung pergi tidur, di kasur yang oke untuk
tempat rindu Dilan. Setelah baca doa, seperti biasa aku bilang sambil
senyum: “Selamat tidur juga, Dilan. Dilanku………..Sayangku……….”
62
Hari sabtu, di sekolah, terdengar ada khabar bahwa Dilan, bersama
kelompoknya, mau nyerang SMA lain di Dago. Aku jadi was-was, meskipun
belum pasti apakah itu benar atau tidak. Kutanya Wati.
“Enggak tahu. Iya gitu?”, Wati balik nanya
“Katanya”
“Gak tau ah. Itu mah urusan dia”
Pas pada waktu istirahat, dengan diantar Wati, aku pergi ke warung Bi
Eem. Di sana sudah ada banyak motor. Tidak kuhitung jumlahnya, kutaksir
ada lebih dari 30 motor. Di halaman warung Bi Eem, kudapati banyak
orang, sebagiannya lagi pada kumpul di dalam warung Bi Eem. Itu, semacam
ruangan tamu yang biasa dipake oleh mereka untuk nongkrong.
Dari wajah mereka, ada yang bisa kukenal, karena memang satu sekolah,
meskipun tidak kutahu namanya. Aku nebak, mereka yang tidak kukenal,
adalah siswa dari SMA lain yang ikut bergabung. Tadinya kami berniat
balik lagi. Serem ah, kata Wati. Tapi kecemasanku akan Dilan menguatkan
niatku untuk tetap ke sana.
Waktu mau masuk ke sana, aku mendengar obrolan orang-orang yang pada duduk di atas tembok pagar itu:
“Saha euy. Geulis euy”. (Siapa nih. Cantik euy). Aku yakin mereka adalah siswa dari SMA lain
“Jeung aing ieu mah” (Buat saya ini sih)
“Anjrit, kudu ditangani eiu mah” (Anjrit, harus ditangani ini sih)
“Mau kemana, Cantik?”. Aku tahu dia nanya ke aku. Aku langsung berbalik menghadap kepada orang yang bertanya:
“Aku pacarnya Dilan………….”, kataku
“Oh?”
“Mau ke Dilan?”, satu yang lain bertanya
“Ada dia?”, kutanya lagi
“Ada. Di dalam. Masuk aja”
“Makasih”
“Iya”
Sungguh, aku tadi keceplosan. Enggak sadar bahwa bersamaku ada Wati.
Harusnya Wati kaget dengan pernyataanku bahwa aku pacar Dilan. Atau
tidak? Karena dia sudah tahu dari Piyan. Tapi kalau Dilan tahu, pasti
dia gak akan suka, sebab kata Piyan, Dilan gak mau kalau dia pacaran
semua orang pada tahu. Ah, sudahlah, maafkan aku, tadi cuma refleks
saja.
Aku masuk ke warung Bi Eem dan bertemu dengan Dilan yang sedang
ngobrol bersama satu orang yang tidak kukenal. Sedangkan di bangku yang
lain, beberapa orang sedang pada asik ngobrol. Dilan meminta kawannya
untuk bergeser, agar aku bisa duduk di sampingnya, dan Wati duduk di
sampingku. Aku heran kenapa Wati diam terus.
“Aku ingin jalan-jalan sama kamu”, kataku pada Dilan
“Kapan?”
“Sekarang”
“Sekarang?”, Dilan kulihat kaget karena tahu ini sangat mendadak
“Iya”, jawabku. Aku lihat Dilan memandang kawannya itu.
“Kamu kan sekolah?”, tanya Dilan, memandangku lagi
“Aku mau bolos”
“Heh? Kamu harus sekolah”
“Aku bisa ijin”, kataku. Aku lihat Dilan menyerahkan kertas yang penuh coretan kepada kawannya itu.
“Sekarang juga?”. Dilan nanya lagi
“Iya”
“Gimana kalau besok?”
“Aku ingin sekarang”
“Kalau sekarang, aku ada perlu, mau pergi”, katanya
“Aku ingin jalan-jalan sama kamu sekarang”, kataku
“Kan besok bisa?”.
“Aku ingin jalan-jalan sama kamu sekarang”. Kataku
“Eh? Kok nangis?”
“Aku ingin jalan-jalan sama kamu sekarang”
“Mmmm. Ya udah, kalau gitu. Langsung?”
“Aku ambil tas dulu”
“Iya. Kutunggu di sini”
Aku dan Wati pergi, meninggalkan warung Bi Eem, untuk mengambil tasku
di kelas. Kepada Wati aku jadi bilang terus terang, bahwa meskipun
belum ada pernyataan resmi, sebenarnya aku merasa sudah pacaran dengan
Dilan. Wati hanya menjawab sambil memandangku:”Iya. Dia baik”
Setelah selesai kubuat surat ijin, aku langsung pergi untuk kembali
ke warung Bi Eem. Di sana, kudapati beberapa orang siswa dari SMA lain
pada pergi dengan motornya. Di warung Bi Eem, orangnya jadi sedikit,
bahkan tak lama kemudian mereka pada pergi untuk masuk lagi ke kelas.
Aku duduk dengan Dilan di dalam warung Bi Eem. Orang yang tadi ngobrol dengan Dilan sudah gak ada.
“Jalan-jalan kemana?”, Dilan nanya
“Terserah kamu”
“Ke Singapur?”
“Kalau aku ingin ke rumahmu?”
“Rumahku di mana ya?’
“Aku ingin ketemu Bunda”
“Nanti sore baru pulang”
“Jalan-jalan dulu aja”
“Oke. Kita ke…….”
“Ke Dago yuk?”
“Jangan”, katanya
“Kemana aja deh. Pokoknya jalan-jalan. Nanti…..pulangnya ke rumahmu”
“Iya. Sudah makan?”
“Perempuan gak suka ditanya ha ha ha ha”
“He he he. Oke. Berati jangan ditanya. Kamu belum makan dan mau makan sama aku”
“Iya”
“Kamu rindu aku semalam”
“Kalau enggak?”
“Berarti kamu bohong”
“Ha ha ha. Eh kamu nelepon ya tadi malam?”
“Iya”
“Terus ngobrol sama si Bibi?’
“Iya”
“Terus mau ngajarin dia ngomong gaya bencong?’
“Ha ha ha ha”
“Kenapa ketawa?”
“Bener. Perempuan lebih suka banyak nanya”
“He he he he. Tahu gak aku kemana semalam?”
“Ke rumah Kang Adi”
“Hah? Kok tahu Kang Adi?”
“Bi Asih yang bilang”
“Itu. Ada acara syukuran. Aku pergi sama ayah, sama ibu. Kamu tahu gak
Kang Adi siapa?”. Tanyaku, mendadak aku takut dia cemburu.
“Kamu akan ngasih tahu”
“Dia yang bimbing aku belajar”
“Iya. Eh, jadi pergi gak?”
“Iya. Hayu. Tapi cari telepon dulu ya, mau ijin ke Ibu”
“Aku yang nelepon”, kata Dilan sambil berdiri
“Aku aja”, kataku, juga sambil berdiri
“Aku yang minta ijin, kan aku yang bawa kamu”
“Tapi aku yang ngajak”
“He he he he”
63
Tadinya aku mau nanya Piyan, soal benar tidaknya mereka mau nyerang.
Tapi Piyannya gak ada. Dia gak sekolah. Izin, ada urusan keluarga kata
Wati. Sungguh, tadi itu, aku risau, kebayang dengan resiko yang akan
didapat oleh Dilan kalau benar dia nyerang.
Ya, betul. Aku bisa langsung nanya Dilan. Tapi kamu tahu, kalau benar
mau nyerang, mana mungkin Dilan ngaku. Sudah bisa ditebak, jika dia
kutanya, jawabannya akan: “Tidak”. Itu pasti laaah. Dilan juga tahu,
kalau dia bilang “Iya”, itu bodoh, aku akan marah dan melarangnya, lalu
gagallah rencananya.
Jadi, aku merasa gak perlu nanya lagi. Kuanggap saja itu benar. Lalu
kucari akal bagaimana bisa gagal. Syukurlah, dengan mengajaknya
jalan-jalan, cara itu berhasil. Aku yakin Dilan heran, kenapa juga harus
dadakan.
Jangan-jangan, sebetulnya dia tahu, apa tujuan asli dari aku
mengajaknya. Sebab waktu tadi kuajak, ah, sampai ada air mata pula di
mataku (habisnya kesel), kulihat dia senyum, tapi aku yakin dia juga
bingung, mana yang harus dipilih, sedangkan teman-temannya sudah
terlanjur pada datang.
Bahwa akhirnya dia lebih memilih mauku. Aku gak tahu, dia bilang apa
ke teman-temannya. Tapi aku yakin, Dilan bisa menanganinya dengan baik,
untuk tidak membuat kecewa kawan-kawannya. Hanya saja, aku jadi gak
enak, sudah membuat Dilan bingung. Sudah membuat Dilan repot.
Tapi Dilan juga sama! Membuat aku repot! Bikin risau! Bikin cemas!
Bahkan gara-gara soal itu aku jadi gak sekolah. Aku jadi harus
jalan-jalan dengannya dan senang he he he. Kalau kau jadi aku, kau juga
akan gitu lah! Percaya deh!
Aku pergi dengan Dilan, menyusuri Buahbatu yang sepi dan lengang,
maksudku bukan Buahbatu yang ada sekarang, tapi Buahbatu yang dulu.
Terus belok, ke arah jalan Laswi. Yaitu Laswi yang dulu, bukan Laswi
yang kini besar dipenuhi oleh banyak kendaraan.
Di daerah jalan Riau, Dilan membelokkan motornya, masuk ke halaman
perkantoran yang lumayan cukup luas dan teduh oleh banyak pohon tumbuh.
Aku bingung, gak tahu mau apa? Dilan menyuruh aku turun dan lalu duduk
di teras halaman kantor itu.
“Istirahat dulu di sini”, kata Dilan
“Ih! Ngapain?”, kutanya
“Sekalian ngerencanain mau jalan-jalan kemana”
“Biasanya juga gak pernah direncanain”
“Sekarang direncanain”
Tak lama dari itu, sayup-sayup ada suara gemuruh dari jauh. Makin
lama suara itu makin jelas. Itu adalah suara motor, saking banyaknya,
jadi gemuruh. Dari halaman kantor itu, aku lihat mereka lewat.
Pengendaranya berseragam SMA dan mengacungkan pedang samurai.
Kamu tidak akan percaya, bahwa jaman dulu, di Bandung, hal itu benar
ada. Anehnya, kondisi macam itu, dulu masih bisa dianggap sebagai hal
yang lumrah, tidak dinilai sebagai satu hal yang menguatirkan. Aku harus
bilang apa, untuk kamu bisa ngerti bahwa gengmotor jaman dulu, jauh
berbeda dengan gengmotor jaman sekarang yang karena sudah menjurus
kriminal jadi pantas diberantas.
“Siapa? Kawanmu?”, kutanya Dilan yang sedang duduk dengan dagu berbantal kedua lengan disimpan di kedua lutut kakinya.
“Gak tahu……….”
“Mereka itu…maunya apa sih? Sok jago! Mengganggu. Menyebalkan!”, kataku seperti ngomong pada diri sendiri.
“Ada banyak orang, Lia. Beda-beda. Ada orang yang kayak mereka. Ada
orang yang kayak aku. Ada orang yang kayak kamu. Kamu ingin semua orang
sepertimu?”, jawab Dilan tanpa memandangku.
“Tapi mereka mengganggu………..”
“Ada yang sudah mengganggu mereka, yang membuat jadi begitu”
“Apa?”
“Ayo jalan lagi”
Kami pergi dari halaman kantor itu, kembali ke jalan Laswi dan belok
ke jalan Gatsu. Itu adalah jalan Gatsu yang lengang dan masih tentram,
belum ada BSM nya. Terus belok ke arah gang Warta dan berhenti di pasar
tradisional, entah sekarang masih ada atau tidak.
“Kita belanja”, kata Dilan
“Belanja?”
“Iya”
“Buat apa?”
“Masak di rumah. Mau ke rumah kan?”
“Iya”
Kami belanja ini itu. Jalannya becek, sisa hujan subuh tadi.
“Ini daerah kekuasaan Kang Atot. Aku kenal. Kamu boleh teriak kalau
mau”, kata Dilan sambil jalan menuju ke tempat motor diparkir.
“Gak mau………..”, kujawab
“Atau tidur di pasar, mau?”
“Gak!”
“Kamu bisa bilang “Aku sayang kamu” kalau mau”, katanya. Aku sempet terdiam dulu mendengarnya.
“Ke siapa?”, kutanya dia
“Ke aku”
“Kamu dulu”
“Ke siapa?”, dia nanya
“Ke aku lah”
“Bilang apa?”
“Aku sayang kamu”
“Sudah diduluin sama kamu, barusan”
“Ha ha ha ha ha ha”
“Dagu kamu itu bagus, aku tadi takut ada yang nawar”
“Berapa kalau ada yang nawar?”, kutanya
“Harganya?”, dia balik nanya
“Iya”
“Seribu juga kemahalan”
“Semurah itu?”
“Asal aku yang belinya”
“He he he”
Selesai dari pasar, kami langsung pergi. Menyusuri jalan Gatsu yang
belum lebar seperti sekarang ini. Terus belok kanan ke jalan
Kiaracondong yang sepi. Dilan menjalankan motornya pelan sekali.
“Mau kemana?”, kutanya
“Bundamu”
“Asiik!”
“Nanti ke si Bunda bilang kita baru pulang dari Mesir ya”
“Biar apa?”
“Biar gak percaya”
“Ha ha ha ha”
“Terus nanti kamu pura-pura bisu”, katanya
“Kenapa?”, kutanya
“Biar nanti si Bunda bilang, kok jadi bisu?”
“Terus?”
“Nanti aku jelasin ke si Bunda”
“Bilang apa?”, kutanya
“Dia pura-pura, Bunda”
“Ha ha ha! Terus aku bilang, disuruh kamu”
“Terus Bunda bilang, mau-maunya disuruh”
“Terus aku jawab, dipaksa Dilan, Bunda”
“Terus aku jawab, Maaf, Bunda”
“Terus tidak dimaafkan sama si Bunda”
“Aku dikutuk jadi batu”
“Terus batunya dilempar ke sungai”, kataku
“Terus hilang”
“Terus aku sedih……………”
“Terus nyari batu itu. Kamu jadi tukang batu”
“Terus ketemu”, kataku
“Mau diapain?”, dia tanya
“Dibawa kemana-mana”
“Dikantongin aja, biar gak sakit perut”
“Ha ha ha ha”
64
Kamu pernah merindukan satu tempat, dan ingin pergi ke sana, sangat
ingin. Bagaimana perasaanmu ketika suatu hari ternyata kamu betul-betul
ada di sana? Saking senangnya, kamu merasa kesulitan ketika harus
diungkap ke dalam kata-kata. Ya, aku juga begitu, sama, ketika sampai di
rumah Dilan.
Setelah turun dari motor, Dilan bilang: “Tunggu”, lalu pergi ke sana, mengetuk pintu.
“Iya”, jawabku, berdiri di samping motor, menenteng belanjaan yang dibungkus dalam dua kantong kresek.
Pintu membuka, oleh orang yang keluar dari rumah. Dia adalah anak
muda, lebih tua dari Dilan, berkaus merah, celana pendek. Aku sudah siap
untuk senyum kalau dia memandangku, sambil menebak siapa gerangan orang
itu. Mungkin kakaknya, atau saudaranya.
“
Naon, Lan?”, orang itu bertanya, yang artinya:”Ada apa, Lan?”
“
Ceuk si eta mah, ieu imah urang ceunah, Wan?”, jawab Dilan, sambil mengarahkan telunjuknya ke aku. Artinya:”Masa’ kata dia, ini rumah aku, Wan?”.
Aku tidak mengerti bahasa Sunda, tapi aku bisa faham apa yang sedang
dibahas. Sedikit kuhela nafasku merasa sudah dibohongi. Tadi di motor
Dilan bilang ke aku: “Ini mungkin rumahnya”. Aku jadi seperti malu
ketika orang itu ketawa.
“Ha ha ha!
Saha, Lan?”. Tanya orang itu. Artinya:”Siapa dia, Lan?”
“
Baturan TK”. Jawab Dilan. Artinya:”Teman TK”
“
Sia mah! Ha ha ha. Masuk
heula atuh”. Artinya: “Ah kamu ini. Ha ha ha. Masuk dulu sini”
“Kenalin, Wan! Sini, Nak!”, Dilan noleh dan memanggil dengan senyuman
menyebalkan. Suaranya seperti wibawa seorang ayah pada anaknya.
Setelah kusimpan belanjaan di bawah samping motor, kudatangi mereka,
sambil senyum kepada orang itu. Setibanya di sana, Dilan jadi seperti
orang meringis, karena sengaja kuinjak sepatunya. Orang itu ketawa.
“Lia”, kataku, saat berjabat tangan dengannya
“Wawan! Masuk dulu, Lan”
“Langsung aja, Wan”. jawab Dilan
“Oh, ya udah. Rumah Dilan
mah di sana”, kata Wawan kepadaku sambil nunjuk ke arah kanan
“He he he iya. Belum tahu”, jawabku.
“Nuhun. Wan. Langsung ya”, kata Dilan sambil mulai akan pergi
“Sami-sami”
“
Mangga, Kang”, kataku ke Wawan
“
Mangga. Makasih sudah mampir”
“Sama-sama, Kang”
Dilan menaiki motornya sambil senyum-senyum gak jelas. Aku juga naik,
sambil mencari jenis hukuman yang pantas untuk Dilan, karena sudah
berhasil menipuku. Hukumannya adalah: aku gak mau ngomong dengannya
sepanjang perjalanan, bahkan tidak kujawab ketika dia nanya.
“Ha ha ha ha”, Dilan ketawa setelah dia sadar aku gak mau ngomong dengannya.
“Kamu benar-benar bisu ini mah. Bukan pura-pura”, katanya lagi, seperti
bicara pada dirinya sendiri. Aku tetap diam dan berharap jangan sampai
dia lihat sebenarnya aku senyum.
Aku terus begitu, gak ngomong-ngomong, sampai tiba di rumah yang ada
mobil Nissan Patrolnya. Itu mobil si Bunda, aku langsung yakin, kalau
yang itu adalah asli rumah Dilan. Ada seekor anjing menggonggong, ketika
aku turun dari motor, dan berhasil dijinakan oleh Dilan. Anjing itu
lalu pergi, kembali, ke tempat di mana dia tadi.
Aku senyum melihat papan kecil yang ditempel pada sebuah batang pohon
dengan tulisan yang diukir: “AWAS, YANG PUNYA ANJING GALAK”.
“Hm hm hm hm?”, Dilan ngomong aneh, tapi aku mengerti dari isyarat
tangan yang ia gerakkan sambil memandangku. Artinya kira-kira:”Mau masuk
gak?”. Aku ngangguk. Gak ada senyuman!
Di ruang tamu, aku duduk dan Dilan ke sana:
“Bunda! Ada
Debt Collector!”, Dilan teriak. Tak lama Bunda datang, bersamaan dengan Dilan masuk ke dalam.
“Siapa?”, tanya Bunda sambil jalan menuju ruang tamu
“Bunda!”, panggilku sambil berdiri dari duduk
“Hai!!”, Bunda teriak setelah melihatku. Dia berdiri seperti orang
terkejut. Tangannya berkacak pinggang dengan mata seperti orang
terperangah:
“Nona cantik rupanya!!!”, seraya mendatangiku: “Wah wah wah”.
“Bunda, Lia rindu”, kataku di dalam pelukannya
“Wow! Sama, Nak, Bunda juga! Selamat datang di rumah Dilan”, kata Bunda
sambil melepas pelukan. Kedua tangannya memegang dua bahuku.
“Iya”
“Kalau kamu yang datang……..”, kata Bunda bagai berbsisik
“Ya, Bunda?”
“Dia gak akan masuk lemariiiiiii…”,
“Ha ha ha ha ha”
“Apa ini?”, Bunda nanya soal dua kantong kresek yang ada di kursi
“Tadi, belanja ke pasar sama Dilan he he he”
“Okey! Ayo kita ke dapur”
“Iya, Bunda”
“Mana Dilan?”, Bunda nanya seperti pada dirinya sendiri ketika kami berjalan menuju dapur.
Di dapur ada seorang ibu yang sedang duduk mengiris daun bawang. Dia
sedikit lebih muda dari Bunda. Ibu itu adalah pembantu di rumah Bunda.
“Diah, siapa coba ini?”, tanya Bunda ke orang itu, sambil merangkul bahuku
“Siapa ya?”, Bi Diah nanya
“Mi..le…a!”, jawab Bunda
“Oh. Temen Dek Dilan ya? Cantik”
“Iya dong”
“He he he makasih”, kataku.
“Jangan sampe kena bau bawang atau cabe ya”, kata Bunda ke Bi Diah sambil dia gerak-gerakkan telunjuknya
“He he he he, Lia pengen ikut bantu masak, tapi, Bunda”, kataku
“Mau masak buat Dilan yaaa?”, Bunda seperti orang meledek
“He he he Dilan sukanya apa?”, kutanya Bunda
“Dilan? Dilan sukaaa……kamu laaah!”, jawab Bunda sambil menyentuhkan telunjuknya ke hidungku
“Ha ha ha ha ha, maksud Lia masakan, Bunda, Dilan suka masakan apa? He he he”
“Apa aja yang kamu bikin, dia akan su..ka!”
“Ha ha ha”
“Ya udah, sini bantu Bunda”, katanya sambil duduk.
“Ini Bunda lagi masak sayur lodeh. Kau suka?”, kata Bunda lagi sambil menggeser kursi untuk tempat aku duduk.
“Suka, Bunda”
“Dilan juga suka”
“Dilan mana, Bunda?”
“Mungkin di kamarnya. Nanti, Bunda panggil”
“Dalam lemari kayaknya, Bunda?”
“Ha ha ha ha ha”
Telepon rumah Bunda berdering. Bunda pergi ke sana untuk mengangkatnya. Lalu kudengar dia teriak:
“Dilan! Telepon!”
“Siapa?”, tanya Dilan, kayaknya keluar dari kamar
“Anhar!”
Anhar? Mau apa dia? Memang, harusnya hal itu gak perlu kupikirkan.
Siapa pun orangnya bebas mau nelepon. Tapi instingku bicara soal lain,
entah mengapa, aku merasa gak enak. Tadi itu, Anhar ada ikut berkumpul
bersama Dilan di warung Bi Eem.
65
Aku ngobrol dengan Bunda, sedangkan pikiran terus ke Dilan. Maksudku,
aku menduga, bahwa motif Anhar nelepon Dilan, pasti ada sangkut pautnya
dengan rencana penyerangan. Keduanya terus saling berusaha untuk
menjalin koordinasi dari jauh.
Dilan datang ke Dapur dengan tangan menenteng jaket. Dia izin ke Bunda untuk pergi dulu sebentar. Ada perlu katanya.
“Lia, kamu sama Bunda dulu ya?”, katanya kepadaku.
“Kemana?”, kutanya
“Ada perlu. Sebentar. Nanti kembali. Pergi dulu ya?!”, jawab Dilan
sambil pergi. Lalu aku pamit ke Bunda, untuk ada yang perlu diomongkan
dengan Dilan dan segera menyusulnya.
Di ruang tamu, aku dan Dilan saling berdiri berhadapan, beradu mata:
“Aku ikut”, kataku dengan suara pelan
“Ga usah. Kamu di sini aja. Cuma sebentar”, Dilan menjawab sambil dia pakai jaketnya
“Kalau kamu pergi, aku ikut!”, suaraku masih seperti yang tadi, takut kedenger sama Bunda
“Iya. Tapi cuma ke situ. Sebentar”
“Aku ikut!”
“Mau ambil barang di teman”
“Aku ikut!”
Tiba-tiba dari luar terdengar ada salam:
“Salamlikum!”
“Kumsalam”, jawab Dilan bersamaan dengan pintu kebuka. Orang yang ngasih salam itu masuk, dia perempuan berseragam SMP
“Adikku”, kata Dilan ke aku
“Oh”, aku tersenyum kepadanya, berusaha untuk ramah
“Hey!”. katanya kepadaku,”Aku Disa”
“Lia”, kujabat tangannya sambil senyum
“Tahu gak nama panjangku?”, dia nanya ke aku
“Apa nama panjangnya?”, kutanya
“Disaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
“Ha ha ha”, aku ketawa
“Panjang kan?”, dia nanya
“He he he. Iya”
“Aku masuk dulu ya?”, katanya kepadaku
“Iya”, jawab Dilan. Disa masuk dan teriak manggil Bunda:
“Bunbun, Dadaaa. Bunda!!”
Aku senyum, tetapi saat kupandang lagi Dilan, jadi tidak:
“Aku ikut! Kalau kamu pergi, aku ikut!”, kutatap matanya.
“Ya udah. Kalau gitu gak jadi pergi”, katanya, sambil membuka lagi jaketnya.
Aku ke sana, duduk di sofa ruang tamu, sambil terus memandangnya yang
mulai akan duduk di sofa yang lain, yang ada di seberang meja,
menghadap kepadaku.
“Emang mau kemana sih?”, tanyaku denga suara yang sudah jadi kalem
“Itu, ke teman”
“Anhar?”
“Bukan”
“Kalau mau ke temanmu, nanti aja bareng”
“Jam berapa sekarang?”, tanya dia sambil memandang jam dinding di atas buffet. Sudah pukul setengah dua.
Tiba-tiba di luar kudengar suara motor, memasuki halaman. Pengendaranya langsung masuk ke rumah
“Ow. ada tamu”, kata orang itu setelah melihatku
“Abangku”, kata Dilan ke aku
“Oh”, aku senyum sambil lalu berdiri
“Kenalin, Bang. Lia”, kata Dilan ke abangnya
“Oh? Banar!”, katanya sambil dia jabat tanganku
“Lia”
“Mana minumnya?”, tanya Bang Banar
“Udah, Bang di dapur”
“Oke”, katanya sambil masuk ke dalam
Habis itu, kupandang lagi Dilan, tapi tanpa bicara. Nampak tangannya,
yang kiri, menggaruk-garuk kepalanya. Di mulutnya ada sedikit senyuman.
Lalu datang Disa:
“Boleh ikut ngobrol?”, tanya Disa dan aku tersenyum kepadanya
“Sini”, kata Dilan sambil memegang sofa di sebelah kirinya
“Oke”, katanya
“Sini aja”, kataku sambil sedikit menggeser. Disa memilih duduk di sampingku
“Disa kelas berapa?”, kutanya
“Kelas berapa, Bang?”, tanya Disa ke Dilan
“Kelas Bantam”, jawab Dilan (Aslinya, waktu itu, Disa kelas 3 SMP)
“Kelas Bantam, Kak”, katanya sambil menoleh kepadaku
“Ha ha ha ha Sekolah tinju?”, tanyaku ke Disa
“Kakak kelas berapa?”, Disa nanya
“Tanya Abang”, jawabku tanpa menoleh ke Dilan
“Kelas berapa, Bang?”, tanya Disa
“Kelaaaass……menengah ke atas”, jawab Dilan. Mungkin maksudnya Sekolah Menengah Atas.
“Menengah ke atas katanya”, kataku pada Disa sambil senyum
“Wow! Hati-hati jatuh”, katanya
“Kan pegangan”, kataku sambil senyum
“Ya. Bagus”, jawab Disa
Tak lama kemudian kami dengar si Bunda manggil. Dia ngajak kami makan. Aku, Disa dan Dilan pergi ke ruang makan.
“Aku nelepon dulu”, kata Dilan kepadaku sambil pergi menuju tempat telepon.
“Iya” kujawab. Aku dan Disa langsung gabung dengan Bunda dan Bi Diah yang sudah duduk menghadap meja makan.
“Silakan, makan sepuasnya”, kata Bunda
“Makasih, Bunda”, jawabku
“Mana Banar?”
“Di kamarnya”, jawab Disa
“Bunda yang manggil, atau Disa?”, tanya Bunda
“Aku aja”, kata Disa sambil kemudian dia pergi.
“Ayo, Lia”, kata Bunda sambil nyodorin piring yang sudah Bunda kasih nasi,”Ini masakan duet Bi Diah sama Bunda”, sambungnya.
“Nunggu Dilan, Bunda”, kataku sambil meraih piring itu
“Dilan!”, Bunda manggil
“Bentar!”, Dilan menjawab dari jauh. Lalu datang Disa bersama Bang Banar
“Udah makan tadi di kampus”, katanya
“Ayo laaah, biar rame”, kata Bunda. Lalu Bang Banar jadi duduk
“Sedikit aja”, katanya
“Disa juga sedikit ya, Bunda?” kata Disa
“Kenapa?”
“Sedikit-sedikit maksudnyaaaa he he he”, jawab Disa
“Seremeh-seremeh?”, tanya Bunda lagi
“Enggak ah! Lama”
“Ha ha ha. Ini Banar, kakaknya Dilan,” kata Bunda kepadaku sambil
memegang bahu Bang Banar,”Ada lagi kakanya Banar: Landin. Tapi belum
datang”, kata Bunda lagi.
“Kan lima Bunda?”, tanyaku
“Ya, yang sulung. Aida. Dia ikut suami”, jawab Bunda.
“Sudah punya anak satu. Masih bayi. Lucu..seperti aku. Namanya Beika”, kata Disa bersamaan datangnya Dilan.
Kata Bunda, tidak biasanya makan bareng, hanya sesekali kalau
kebetulan pada kumpul. Tapi hari itu adalah hari yang paling bahagia
buatku, bisa berada di rumah Dilan. Bisa kumpul dengan Bunda. Bisa kenal
dengan Disa, dengan Bang Banar, Bang Landin, dan Bi Diah.
66
Sehabis makan, aku, Disa dan Bunda duduk di ruang tamu, membuka-buka
album dan membahas photo yang ada di dalamnya. Juga ngobrol tentang
banyak hal yang cukup berguna untuk membuat kami akrab sampai kemudian
Dilan datang bergabung dengan kami.
Tapi Dilan seperti orang yang sedang gelisah. Seperti ada yang sedang
ia pikirkan mengenai sesuatu yang harus ia urus. Kukira, itu menyangkut
soal rencana penyerangan yang jadi gagal gara-gara muncul aku di luar
dugaannya.
Dia pasti heran dengan sikapku kepadanya hari itu, tapi bukan cuma
dia, aku sendiri juga heran, kenapa aku bisa menjadi Milea yang tidak
biasanya. Menjadi Milea yang manja, maksa-maksa Dilan untuk mau
jalan-jalan denganku. Jadi Milea yang rewel merepotkan, melarang dia
pergi menemui temannya.
Pasti ada sebuah kekuatan yang sudah mengalahkan kesadaran, yang
telah mampu mendorongku untuk bersikap seperti itu, dan aku tahu
kekuatan itu bersumber dari rasa cemasku pada resiko yang akan dialami
oleh Dilan jika benar-benar dia nyerang.
Dalam keadaanku yang normal, dengan keadaanku yang sadar, mana
mungkin itu bisa, bahkan aku tak akan berani meski hanya meminta dia
untuk mengantarku ke tukang photo copy. Sungguh, di luar dugaanku bahwa
itu benar-benar terjadi.
Meskipun tadi pagi sudah kubilang kepada orang-orang yang duduk di
tembok pagar warung Bi Eem, tapi sebetulnya aku bukan pacar Dilan,
maksudku aku merasa belum resmi menjadi pacar Dilan, kalau memang untuk
itu dibutuhkan adanya pernyataan dari kedua belah pihak.
Tapi apakah pernyataan macam itu diperlukan, agar aku dan Dilan tidak
cuma dianggap sebagai sahabat dekat? Meskipun sikapku dan sikap Dilan
kepadaku layaknya seperti orang yang sudah pacaran. Gak tahu. Aku gak
ngerti. Aku serahkan semuanya ke Dilan yang sudah tidur telungkup di
atas sofa panjang. Bunda tadi izin pergi, katanya mau belanja jahe untuk
membuat minuman hangat.
“Di kamar Disa ada selimut?”, kutanya Disa
“Kedinginan ya?”, Disa balik nanya. Ini Oktober, Bandung sedang dingin.
“Kakak ambil ya?”, kataku
“Disa ambilin?”
“Biar Kakak aja”, jawabku dan lalu pergi ke kamar Disa.
Aku datang bawa selimut, itu bukan untuk aku, itu untuk Dilan.
“Kirain buat Kakak”, kata Disa
“Kasian kedinginan”
“Iya”
“Disa sayang sama Dilan?”
“Bang Dilan?”
“Iya?”
“Sayang”, kata Disa sambil meletakkan album photo di atas meja. Itu
adalah album photo yang dari tadi kami bahas. Rame dan juga sedih karena
katanya Disa rindu ayahnya yang sedang bertugas di Timor Timur.
“Ayah Disa lagi berjuang. Dia pahlawan”, kataku berusaha menghiburnya
“Disa takut ayah ditembak musuh”
“Ayah Disa kan sudah latihan. Dia pasti tahu harus gimana”
“Kok sama? Bunda juga bilang gitu”
“He he he”
“Kata Bunda minggu depan ayah pulang”
“Oh ya?”
“Kenalan deh sama tentara”
“Iya. Pengen”
“Nanti datang ya kalau ada ayah”
“Iya. Asik”
Setelah Dilan kuselimuti, aku duduk lagi.
“Kakak ngantuk ga?”, tanya Disa
“Mmm, enggak”
“Disa ngantuk. Tidur dulu ya?”
“Iya. Tidur ya”
“Kakak di sini?”
“Iya”
Disa pergi untuk tidur di kamarnya, meninggalkan aku yang duduk
sendiri, memandang Dilan yang tidur. Yaitu Dilan yang dulu pernah
meramal bahwa aku akan bertemu dia di kantin dan salah.
Dilan yang dulu pernah datang ke rumahku memberi surat undangan untuk
datang ke sekolah dari senin sampai sabtu lengkap disertai nama Kepala
Sekolah sebagai orang yang turut mengundang. Bukan surat cinta, cuma
surat undangan yang aneh, tapi ayah dan ibu ketawa setelah kuceritakan.
Dilan yang pernah ngirim Bi Asih untuk memijit aku agar bisa lekas
pulih dari sakit. Bentuk perhatian macam apa yang bisa menyamai hal itu?
Sederhana, tidak semewah Taj Mahal, tetapi itu lebih baik dari cuma
sekedar kata-kata.
Dilan yang pernah nyuruh tukang koran, tukang sayur, tukang pos,
sampai petugas PLN dan tukang nasi goreng, untuk menyampaikan cokelatnya
kepadaku. Seolah-olah semua manusia di dunia, dengan aneka macam
profesinya, bersekongkol untuk membuat aku senang.
Dilan yang pernah ngasih kado berupa buku TTS yang lebih berharga
dari boneka yang termahal sekalipun. Cuma buku TTS, itu murah, tapi
kebayang bagaimana dia harus begadang untuk mengisi jawabannya, seperti
sebuah perjuangan yang harus ia tempuh demi bisa membuat aku merasa
istimewa.
Dilan yang pernah berucap dengan aneka macam kata-kata yang selalu
bisa membuatku bahagia, membuatku ketawa. Kata-kata biasa, bahkan
cenderung gak penting, tetapi aku selalu menunggu dia akan meneleponku
setiap malam. Betul, bukan kata-kata cinta, tapi mampu menumbuhkan rasa
cinta.
Dilan yang membuat aku merasa dilindungi, bahkan ketika aku sedang
berada jauh darinya. Aku tahu ia bukan Superman, tapi oleh ada dia aku
bisa merasa aman, seolah-olah dia sudah akan langsung datang untuk
menghilangkan setiap orang yang berani menggangguku, yang berani
menyakitiku.
Mungkin aku terlalu berlebihan dengan menilai dia begitu, seolah-olah
dia itu orang hebat, seolah-olah dia itu jagoan, seolah-olah tak ada
hal buruk darinya. Seolah-olah dia sempurna. Tapi kamu harus tahu, ini
adalah hak diriku untuk menganggapnya begitu. Mugkin kamu tidak
mencintai dirinya, tidak menyukai dirinya, syukurlah kalau begitu,
sehingga aku tidak perlu bersaing denganmu untuk bisa memilikinya.
Dilan mungkin tidak paham bagaimana seharusnya memperlakukan wanita,
tapi dia tahu bagaimana membuatku merasa istimewa. Tidak perlu
berlebihan bagi dia untuk membuatku merasa lebih. Dia mungkin bukan
lelaki sejati, tapi aku butuh lelaki macam itu. Dia mungkin bukan tipe
lelaki yang kamu idamkan, tapi biarlah aku ingin memilihnya.
Sekarang, mudah-mudahan kamu maklum, mengapa aku cemas, ketika tahu
dia akan menyerang SMA lain. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengannya.
Meskipun dia pasti akan selalu di hatiku tetapi aku juga tak ingin dia
hilang dari muka bumi ini, kalau iya, nanti aku sunyi, nanti aku sedih.
Jadi ingat dengan apa yang pernah Dilan katakan di telepon:
“Kamu pernah nangis?”, kutanya
“Waktu bayi, pengen minum”.
“Bukan ih! Pas udah besar. Pernah nangis?”
“Kamu tahu caranya supaya aku nangis?”, dia nanya
“Gimana?”
“Gampang”
“Iya gimana?”
“Menghilanglah kamu dari bumi”
Sekarang Dilan sedang tidur. Aku harus tetap di sini, kalau perlu
mungkin sampai magrib. Pokoknya jangan sampai aku pergi, supaya bisa
nahan Dilan jangan sampai dia pergi. Tadi, sudah kutelpon si Bibi,
tolong bilang ke ibu, Lia ada urusan, baru magrib bisa pulang.
67
Nyatanya aku baru pulang pukul tujuh. Tapi ga apa-apa, karena bunda
sudah nelepon ibuku. Aku pulang diantar Dilan, naik motor dan pake jaket
Army Korea punya Dilan. Menyusuri jalan Ciwastra yang sepi. Melewati
Pasar Gordon yang masih banyak orangnya. Melewati terminal bemo
Sekelimus. Melewati Buah Batu yang bau wangi oleh sebuah pohon kemuning
yang ada tumbuh di pinggir jalan di daerah sebelum apotik. Pohon itu,
mudah-mudahan masih ada
Sebelum pukul delapan kami sudah sampai di rumahku. Di ruang tamu
sudah ada Kang Adi, lagi ngajarin Airin. Kami masuk setelah memberi
salam. Airin yang buka pintu.
“Kenalin, Kang! Dilan”, kata saya ke Kang Adi, terus duduk. Airin juga duduk lagi di sampingku
“Hey!”, seru Dilan, bergegas nyamperin Kang Adi untuk ngajak salaman:
“Dilan!”, sambungnya.
“Adi”, kata Kang Adi, sambil masih tetap duduk:”Silakan duduk”, kata Kang Adi lagi.
“Makasih”, kata Dilan sambil duduk:
“Ini pasti Melati?”, kata Dilan lagi sambil nunjuk Airin
“Bukan!! he he he”, kata Airin
“Ini, namanya Airin”, kataku sambil meluk Airin:”Jago main piano, Lan”.
“Wow. Keren!”, seru Dilan
“Sedikit”, kata Airin
“Kita nyanyi oke?”, ajak Dilan
“Dilan kan bisa gitar. Nah, main bareng. Dilan yang ngegitarnya”, kataku
“Ada gitar?”, tanya Dilan
“Ada. Gitar ayah. Nanti kuambil”, kataku
“Tapi harus belajar dulu. Lia juga”, kata Kang Adi.
“Ini Dilan yaaa?”, tiba-tiba ibu datang
“Lan, ini Ibu Lia”, kataku
“Eh?”, Dilan berdiri dari duduknya.”Iya. Bu”
“Akhirnya ketemu Dilan ya”, kata ibu senyum
“He he he kayak yang pernah hilang”, jawab Dilan
“He he he. Bukaaan! Lia kan suka cerita kamu. Penasaran kayak gimana sih?”, kata Ibu
“Kayak gini aja. Masih orsinil. Belum dimodif”, jawab Dilan
“He he he”
“Tadi Lia ketemu Bunda, Bu”, kataku ke ibu
“Iya. Tadi Bunda nelepon. Dilan mau minum apa?”, tanya Ibu ke Dilan
“Apa ya? Gak usah repot-repot. Air zam-zam aja, Bu”, kata Dilan
“Ha ha ha ha ha Itu merepotkan!”, aku ketawa. Bunda juga. Airin juga. Kang Adi kulihat dia tidak.
“Apa dong?”, tanya Dilan seperti bingung
“Atau bikin sendiri? Ayo?”, tanya Ibu
“Iya. Bikin sendiri aja”, jawab Dilan
“Iya silakan”, kata Ibu
“Aku bantuin! Tapi ganti baju dulu”, kataku sambil lalu berdiri.
“Mandi dulu”, kata Ibu
“Iya”.
“Kang, mau dibikinin? Spesial”, tanya Dilan ke Kang Adi sambil berdiri
“Gak. Ga usah. Nanti bikin sendiri”, jawabnya
“Ke dapur aja ya”, kata Ibu sambil dia pergi masuk. Aku dan Dilan nyusul.
Di kamar, aku cuma ganti baju. Mandinya nanti aja, gak sabar ingin ke
dapur bantuin Dilan. Pas ke sana sudah ada si Bibi, Ibuku dan Dilan,
sedang pada ketawa sambil membuat minuman jahe. Perasaan, di jaman dulu,
kalau gak salah, di tahun 90an, di rumah-rumah di Bandung, orang-orang
masih pada suka membuat minuman jahe. Juga masih ada tukang Bandrek,
Sekoteng dan Bajigur yang suka lewat depan rumah. Entah kalau sekarang.
“Bi, ini Dilan”, kataku ke si Bibi
“He he he. Udah, tadi, kenalan”, kata Dilan yang sedang duduk di kursi
dan malah mainin jahe yang ada di atas meja, bukannya ngebantuin
“Ini, Bu. Dilan suka ngajak ngobrol si Bibi nih”, kataku ke si Ibu
sambil duduk di kursi berhadapan dengan Dilan, ikut mainin jahe
“He he he. Ngobrol apa?”, tanya Ibu
“Ngobrol apa, Bi?”, tanyaku ke si Bibi yang lagi numbukin jahe yang sudah dibakar oleh ibu dengan api dari kompor
“Banyak hi hi hi. Mau ngajarin Bibi ngomong bencong. Ngajarin tidur kayak ikan. Aneh-aneh he he he”, kata si Bibi
“Ha ha ha. Tuh ajarin!”, kataku ke Dilan
“Bikin apa?”, tanya Airin yang datang ke dapur
“Jahe”, kata Ibu,”Udah kamu belajar aja”
“Bosen”, kata Airin sambil seperti mau bantuin si Bibi
“Ibu?”, tiba-tiba Dilan nanya
“Ya, Dilan?”, tanya Ibu
“Kenapa anak ibu cantik-cantik?”, tanya Dilan
“Iya dong. Kan ibunya juga cantik he he”, jawab Ibu
“He he he Iya”, Dilan ketawa
“Itu yang namanya Kang Adi”, bisikku ke Dilan. Aku kuatir dia cemburu. Atau tidak. Entahlah.
“Iya. Ganteng”, jawab Dilan
“Ih! Kamu suka?”, tanyaku
“Kalau dia mau. Oke”, jawab Dilan
“Ha ha ha ha mau ke kamu maksudnya?”, tanyaku lagi
“Mudah-mudahan mau”, jawab Dilan
“Kenapa?”, tanyaku
“Biar enggak ke kamu”, kata Dilan
“Ha ha ha. Dia pengen ke aku”, kataku ke Dilan masih dengan suara berbisik
“Aku pengen ke dia”, kata Dilan
“Ih, serius”, kataku
“Kalau ada yang mau ke kamu, udah biasa kan? Banyak. Gak usah diceritain”
“Tapi aku gak mau ke dia”, kataku
“Kalau ada yang gak mau ke dia, udah biasa kan? Banyak”, kata Dilan
“He he he kamu kan mau?”, tanyaku
“Kenapa kamu gak mau?”, Dilan balik nanya
“Gak mau aja”
“Maunya ke siapa?”, tanya Dilan lagi
“Ke…Iiiiiih. Perempuan gak suka ditanya”, kataku masih bersbisik
“Kamu maunya ke aku”, kata Dilan dengan santai
“He he he”
“Apa ini pada ketawa gak ngajak-ngajak”, kata si Ibu, sepertinya minuman jahe sudah siap disajikan
“Bu, kayaknya Lia gak belajar ah malam ini?”, kataku ke Ibu
“Ya bilang dong ke Kang Adi”, kata Ibu
“Iya”, jawabku
Si Bibi membawa minuman jahe ke ruang tamu. Ibu juga pergi ke sana
bersama Airin. Aku masih duduk dengan Dilan di dapur. Kedua tangan Dilan
tiba-tiba memegang dua tanganku.
“Doain, Lia”, katanya
“Doain apa?”, tanyaku setelah sekilas tadi melihat gerakan tangan Dilan
mengelus jemariku. Mendadak perasaanku seperti dilanda sesuatu yang
sungguh sulit kuungkapkan.
“Doain, Kang Adi gak mau ke aku….”, jawab Dilan dengan suara berbisik.
Kedua tangannya masih memegang kedua tanganku. Dia lakukan dengan sikap
seolah-olah baginya, itu adalah hal biasa, padahal sungguh, demi Tuhan,
baru malam itu ia lakukan dan aku nyaris gak percaya.
“Ih! Katanya tadi mau?”, kataku, dengan isi kepala yang terus mikirin tangan Dilan yang masih megang tanganku
“Udah berubah…”, kata Dilan
“Dilan! Lia!”, Ibu manggil kami dari ruang tamu
“Iya, Bu. Bentar”, aku teriak menjawabnya
“Gimana kalau kang Adi mau ke aku? Aku takut!”, tanya Dilan berlagak
seperti orang yang ketakutan. Kedua tangannya masih mengelus dua
tanganku. Sungguh, aku bingung. Serius. Ini apa? Di saat tangannya
begitu mesra memegang tanganku, tapi yang ia bahas justeru malah soal
Kang Adi.
“Liiiiiiaaaa”, Ibu manggil lagi
“Iya, Bu! Ke sana yuk?”, ajakku ke Dilan
“Takut, ada Kang Adi”, kata Dilan berbsisik, tangannya masih memegang tanganku
“Biar, sekarang giliran aku melindungimu he he he”
“Jadi tenang”, kata Dilan
“Ha ha ha”
Aku dan Dilan berlekas pergi dari dapur dengan tangan saling bergandengan, dan lalu dilepas sebelum sampai ke ruang tamu.
“Lindungi aku, Lia”, bisik Dilan seperti orang merengek
“Siap!”, jawabku sambil senyum memandang matanya. Lalu kami duduk
bersama Airin, Ibu dan kang Adi yang nampak bingung dia harus bagaimana.
68
“Kang, Lia gak belajar ah malam ini”, kataku ke Kang Adi, sambil menuangkan minuman jahe ke gelas
“Irin juga”, kata Airin
“Eh, kenapa?”, tanya ibu
“Malam ini aja”, jawab Airin
“Ga apa-apa. Besok sore aja ya? Kang Adi besok santai kok”, kata Kang Adi sambil dia beresin buku di atas meja itu
“Ya udah. Malam ini, karena ada Dilan, belajarnya libur dulu”, kata Ibu
“Tiap malam minggu ya belajarnya?”, tanya Dilan sambil memegang gelas dengan kedua tangannya
“Iya. Tiap malam minggu”, jawab Ibu
“Kalau tiap malam minggu aku ke sini, nanti gak belajar-belajar he he he”, kata Dilan
“Ya belajar dong. Ayo, ikut belajar sama Adi”, kata Ibu,”Adi, ayo diminum jahenya”, sambung Ibu ke Kang Adi
“Iya”, jawab Kang Adi sambil membaca buku. Air jahenya masih utuh karena belum diminum.
“Ibu ke dalam dulu ya”, kata ibu sambil lalu dia pergi. Di ruang tamu
jadi cuma berempat. Aku duduk dengan Airin di sofa yang panjang, Kang
Adi duduk di sofa yang ada di sebelah kanan Airin. Dilan duduk di sofa
yang ada di samping kiriku.
Tak lama dari itu, telepon rumah berdering. Ibu yang ngangkat,
katanya itu dari Bunda buat Dilan. Dilan ke sana untuk ngobrol dengan
Bunda di telepon.
“Diminum, Kang”, kataku
“Kurang suka jahe”, kata Kang Adi sambil masih juga baca bukunya. Itu
adalah buku Novel yang dia pernah janji mau dikasihin ke aku
“Ooh”, kataku sambil mereguk minumanku
“Haru semangat belajar, Airin”, kata Kang Adi sambil menyimpan buku yang
sedang ia baca. Aku merasa, dia bilang begitu, seolah-olah juga
untukku.
“Jangan belajar terus ah, Kang Adi”, jawab Airin.
“Kan cuma malam minggu. Gak tiap hari”, kata Kang Adi
“Iya”, jawab Airin
“Ini novelnya”, kata Kang Adi, menyerahkan novel itu ke aku sambil memandangku.
“Oh, makasih, Kang”, kataku sambil kupandang buku itu
“Bagus novelnya! Kang Adi sukanya novel-novel yang mikir gitu”, kata Kang Adi
“Bahasa Inggris?”, tanyaku sambil masih kulihat-lihat buku itu
“Iya lah”, Jawab Kang Adi
“Kak, Irin mau ke ibu dulu”, kata Airin sambil beranjak dari duduknya.
“Iya”, kataku.
Beberapa detik setelah Airin pergi, Kang Adi pindah tempat duduknya,
ke tempat di mana tadi Airin duduk, yaitu di sampingku. Asli, aku
merasa risih, tapi gak tahu harus gimana. Kutolak gak enak. Bersikap
menjauh juga gak enak. Ya sudah lah. Mudah-mudahan, Kang Adi bukan
bermakusd ingin membuat Dilan panas, tapi kurasa iya.
“Ini deh. Pas bagian ini lucu”, kata kang Adi sambil meraih buku di
tanganku. Sikap tubuhnya, bisa kubaca, seperti orang yang ingin
mendekat. Aku berusaha merhatiin bagian buku yang ditunjukkan oleh Kang
Adi dengan badan yang kujaga untuk tidak mendekat kepadanya, meskipun
tetap dalam sikapku yang santai. Tapi kurasa dia tahu.
Dari tempat Dilan nelepon, dia ngomong ke aku sambil masih memegang gagang telepon, katanya Bunda ingin ngobrol sama aku.
“Bentar ya, Kang”, kataku pada Kang Adi sambil mulai berdiri dari duduk.
Kang Adi tidak menjawab. Dia masih membaca bagian buku yang katanya
lucu.
“Gimana aku?”, tanya Dilan ketika berpapasan denganku
“Gimana apa?”,
“Lindungi aku, Please”
“Ha ha ha ha. Gengster kok minta dilindungi! Lawan sendiri!”, jawabku berbisik sambil berlalu. Dan Dilan kembali ke ruang tamu.
Aku angkat telepon dan langsung kusapa Bunda:
“Hei, Bunda!!”
“Hei, Cantik”
“He he he makasih”
“Tahu gak, kenapa Bunda tahu ada Dilan di situ?”.
“Karena….Bunda tadi nelepon he he he” jawabku senyum
“Iya. Pintar kamu. Bunda pengen ke situ, Liaaa……….”
“Iya sini, Bunda”,
“Katanya lagi makan sate kelinci ya? Emang Lia suka ya?”,
“Hah? Ha ha ha ha ha enggak, Bunda! Dilan bilang gitu?”
“Astagfirullahaladziiiiiiim. Dia itu yaaa!”, Si Bunda seperti orang yang kesel
“Ha ha ha ha ha ha. Cuma minum jahe, Bunda”.
“Dia bilang lagi nyate kelinci”,
“Ha ha ha enggak”
“Dasar! Jahe lagi? Tadi di rumah Bunda, Jahe. Sekarang jahe lagi”
“Iya. Mabuk jahe, Bunda”.
“Tadi, Bunda kira, beneran nyate kelinci”.
“Ha ha ha. gak suka”
“Sama laah”
“Sini, Bunda”, kuajak
“Pengen. Memangnya kau punya monyet ya? Bunda kok gak lihat waktu ke situ?”.
“Monyet apa? Gak punya monyet, Bunda”.
“Ngarang lagi tuh dia!”
“Dilan bilang ya?”.
“Iya. Katanya judes. Mana ada monyet judes”, kata Bunda
“Ha ha ha ha ha! Gak punya Bunda”
“Bilangnya gitu ke Bunda, tadi itu, dia!”
“Bilang punya monyet? Ha ha ha”.
“Iya. Segala minta dilindungi sama kamu. Katanya takut sama monyetnya”, kata Bunda
“Ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha”
“Iya! Masa sampai takut gitu”.
“Ha ha ha ha ha ha ha ha ha”
“Ngarang terus dia itu. Awas kalau dia pulang!”.
“Ha ha ha ha ha ha ha Mau bilang ah ke Dilan. Jangan pulang. Mau dimarah Bunda. Biar tidur di sini he he he”
“Itu, dia orang, suka ngarang kalau ngomong”.
“Ga apa-apa, Bunda. Lia suka”.
“Iya. Makasih! Makasih sudah suka sama Dilan” kata Bunda pelan
“Lia juga makasih, Bunda sudah ngelahirin Dilan he he he”, akhirnya kubilang juga
“Sama-sama. Bunda juga senang Dilan sukanya sama kamu”
“Iya…..Bunda. Lia juga suka”, aku gak tahu, mendadak susah mau ngomong
“Itu, tadi Bunda telepn Dilan, ada tamu di rumah. Katanya mau ke Dilan”, kata Bunda
“Oh? Siapa, Bunda?”.
“Ah! Siapa itu namanya? Oh. Anhar ya?”
“Oh? Iya! Sendiri, Bunda?”.
“Bertiga”
Setelah beres dengan Bunda, aku ke ruang tamu. Tapi gak ada Dilan. Hanya ada Kang Adi yang sedang baca buku.
“Mana Dilan, Kang?”, kutanya Kang Adi
“Gak tau….” jawabnya. Aku pergi keluar.
“Biarin atuh, pengen di luar”, kata Kang Adi
“Bentar, Kang”, kataku sambil kubuka pintu. Rupanya dia sedang duduk di
bangku yang ada di bawah pohon jambu itu. Aku ke sana dan duduk di
sampingnya.
“Kirain kemana?”, tanyaku
“Gak ada kamu. Takut”
“Sama monyet?”, tanyaku
“Ha ha ha ha ha”
“Iya sih!”.
“Ha ha ha ha ha”
“Aku tadi dicakarnya nih!”, kata Dilan. Lengan tangannya dia tunjukkan
“Mana?”, kataku sambil kupegang tangannya
“Aaahh!!!”, Dia seperti nahan jeritan, seolah-olah benar luka, yang sakit kalau disentuh
“Gak ada!”
“Tadi sih ada”, katanya, sambil melihat lengan tangannya
“Langsung sembuh”.
Tiba-tiba, tangan kanannya, memegang tangan kiriku, sambil ia tatap
mataku dan senyum. Aku juga sama begitu. Dan itu, senyuman yang mewakili
kata-kata, ketika sudah saling mengerti, tak perlu lagi diungkap.
“Masuk yu?”, kuajak Dilan sambil memandang matanya
“Iya”
“Gak enak nganggurin monyet ha ha ha ha ha”, kataku
“Heh! Gak boleh gitu ah!”.
“Kamu yang duluan! ha ha ha” kataku
“Ha ha ha! Gak sengaja. Terlalu jujur”.
“Eh. Bentar. Ngapain Anhar ke rumah?”, tanyaku.
“Mungkin ada perlu”, jawabnya sambil terus ia pegang tanganku
“Aku gak suka Anhar”, kataku sambil kupandang lagi dia
“Iya. Ga apa-apa”
“Ngapain dia ke rumah?”, kutanya dia
“Mungkin cuma main”
“Aku ingin kamu jujur”, kataku
“Jujur gimana?”.
“Kamu kemaren mau nyerang?”
“Kan seharian sama kamu terus?”, katanya
“Kubilang: Mau. Kalau enggak kuajak. Kamu pasti nyerang”
“Monyet suka jambu gak?”, tanya dia sambil memandang ke atas pohon jambu
“Aku gak suka kamu nyerang-nyerang”, kataku
“Aku ambil jambu dulu ya, buat dia?”, tanya dia
“Kamu denger aku gak?”, tanyaku
“Iya he he he”
“Aku gak suka kamu nyerang-nyerang”.
“Iya, Lia. Enggak”.
“Janji?”.
“Iya. Janji”
“Monyet suka jambu gak?” tanya dia memandangku.
“Tanya ke dia!”, kataku seperti orang yang kesel
“Bentar”, kata Dilan sambil beranjak dari duduknya, melepas tanganku dan pergi
“Heh?!”, aku teriak dengan suara yang pelan, bagai sedang menahan dia pergi
“Bentar” katanya, sambil terus berlalu dan dia buka pintu:
“Kang, suka jambu?”, tanya Dilan ke Kang Adi sambil berdiri di pintu dengan tangan masih memegang handelnya.
“Oh. Ini, lagi ngambilin jambu, Kang”, Kata Dilan sambil dia tutup pintu
itu, lalu duduk kembali denganku. Aku tebak, tadi Kang Adi
jawab:”Tidak”
“Ngapaiiiiinnn heh??!!!! Hi hi hi”, kataku seperti orang menjerit yang ditahan
“Kirain suka”, jawab Dilan
“Ha ha ha ha ha ha. Dia jawab apa?”, tanyaku pelaaan sekali
“Nguk nguk nguk”
“Ha ha ha ha ha! Apa artinya?”.
“Monyet sukanya pisang”
“Ha ha ha ha ha ha. Kamu suka pisang?”, tanyaku
“Jadi enggak deh”.
“Ha ha ha ha”
“Mana tanganmu?”, Dilan mencari-cari tanganku
“Kenapa?”
“Mau megang lagi”, katanya, sambil ia raih tanganku.
“He he he”
“Monyet kok dipanggil Akang. Heran”, kata Dilan bagai menggumam
“Ha ha ha! Masuk yuk?”
“Iya”
“Ga enak. Gak boleh nganggurin orang”.
“Aku duduk dari jauh ah….”, katanya sambil berdiri
“Iya. Di sana, di dapur. Hayu!!”, kataku sambil berlalu untuk masuk. Dilan ikut
“Lindungi ya, Lia”.
“Yang harus dilindungi itu Monyet”, kataku berbisik di kupingnya.
“Ha ha ha ha”
69
Tak lama dari itu, Dilan permisi pamit pulang ke Ibu dan ke Kang Adi.
Biar bagaimanapun, kata dia kepadaku, dia merasa ga enak ninggalin tamu
di rumah yang sedang menunggunya. Aku mengerti. Kuantar Dilan sampai
dia naiki motornya.
“Hati-hati”, kataku
“Iya”
“Boleh aku nanti telepon kamu?”, tanyaku
“Kapan?”, tanya Dilan
“Kalau kamu sudah sampai di rumah”
“Tahunya aku sudah sampai?’, tanya Dilan
“Kan kamu nelepon aku”
“Ha ha ha ha ha ha. Aku tahu, itu berarti kamu minta aku nelepon kamu’
“Ha ha ha iya. Aku ngikuti caramu”
“Cara gimana?”, tanya Dilan
“Ya gitulah! Tidak langsung, tapi kena! Ha ha ha”
“Ha ha ha ha”
“Dilan!”
“Ya?”
“Pokoknya, aku gak suka kamu nyerang-nyerang”, kataku sesaat ketika mesin motornya sudah hidup
“Iya, Lia. Enggak”
“Janji?”
“Iya….”
“Oke. Eh? Jaketmu di dalam”, kuingatkan dia untuk membawa jaketnya yang tadi kupake sepulang dari rumahnya.
“Buat kamu aja. Aku sih gampang. Kalau mau, tinggal minta lagi ke kamu”
“Ha ha ha ha ih!”
“Gampang bukan?”
“Sama kamu semuanya selalu gampang he he he”, kataku.
“Agak susah kalau jinakin monyet”
“He he he”
“Bilang ke dia, nanti aku kuliah di ITB tapi gak jadi monyet”, kata Dilan
“Ha ha ha. Aaamiiin”.
Dilan pulang. Aku kembali masuk ke ruang tamu. Di sana nampak Kang Adi sedang membaca buku, dan kemudian meletakkannya di atas
meja, sesaat setelah aku datang. Sebetulnya aku sangat berharap dia akan lekas pulang, tapi gak tahu gimana caranya
“Di minum jahenya, Kang”, kataku sambil duduk meskipun sangat malas.
Kang Adi duduk di sofa panjang. Aku duduk di kursi yang lain.
“Ini novelnya”, kata Kang Adi. Aku meraih novel yang disodorkan oleh Kang Adi.
“Iya, Kang. Makasih”. Kubuka-buka, dan itu adalah asal buka, seolah-olah
aku tertarik dengan isinya, padahal cuma untuk mengharagai pemberiannya
“Novelnya bagus. Cerita klasik gitu. Latar belakangnya, sejarah Inggris.
Bagus buat pengetahuan. Bagus banget”, kata Kang Adi lagi
“Oh”
“Satu aja dulu, nanti kalau suka, Kang Adi bawa lagi. Masih banyak di rumah”
“Ini juga belum tentu kebaca sehari, Kang”. Kang Adi harusnya bisa membaca bahasa tubuhku yang sudah merasa enggan untuk ngobrol
“Eh jadi enggak mau main ke ITB? Gak jadi terus”, tanya Kang Adi
“Gak tahu tuh. Pengen sih”
“Besok gimana?’, tanya Kang Adi
“Besok ya?”
“Iya? Kebetulan Kang Adi ada acara di kampus. Sekalian anterlah. Yuk?’
“Belum bisa mastiin. Besok telepon aja bisa apa enggaknya”, kataku
“Oke”
Setelah bersih-bersih aku masuk ke kamar dan langsung kurebahkan
diriku di kasur. Kuingat kembali rentetan kejadian hari ini.
Dipikir-pikir nyaris aku gak percaya bahwa hari ini aku sudah bersikap
keras ke Dilan. Menjadi Milea yang ikut campur urusannya. Menjadi Milea
yang mengatur-ngatur hidupnya. Menjadi Milea yang sudah sangat
merepotkan.
Dia mungkin merasa terganggu. meskipun aku tidak melihat dia nampak
merasa begitu. Aku melihat dia santai-santai saja, seolah-olah baginya
tidak ada sedikit pun yang harus dipersoalkan dengan semua sikapku. Atau
itulah dirinya, yang pandai menutupi perasaan aslinya, agar aku merasa
tidak bersalah dengan apa yang sudah aku lakukan kepadanya. Kukira dia
mengerti, bahwa semua itu kulakukan adalah karena aku sayang padanya.
Ia malah tetap bergurau dan bercanda seperti biasa, bahkan di dapur
tadi ia genggam tanganku. Hal yang tidak pernah kusangka. Melambungkan
perasaanku dan membuat deras aliran darah di sekujur tubuhku. Ah, Dilan,
mengapa kau selalu bisa membuatku tentram di saat sedang bersamamu,
sehingga ketika kini kau jauh, aku jadi risau karena rindu.
Suara telepon berdering. Aku loncat dari kasurku, langsung berhambur
keluar dari kamarku untuk kuangkat telpon itu. Dari Dilan seperti yang
sudah kuduga!
“Halo”, katanya
“Hey”, jawabku
“Halo?”
“Hey! Apa?”, kataku bertanya dengan sedikit teriak yang ditahan
“Tolong aku, Lia”, katanya
“Dilan! Kenapa?”. Asli, aku cemas mendengar suaranya
“Aku gak enak ke ibumu”
“Kenapa?’
“Tadi dia nitip salam buat Bunda”
“Terus?”, tanyaku
“Lupa gak kebawa”
“Ih!!! Besok ambil ke rumah!”
“Ha ha ha ha”
“Sudah sampai rumah?”, kutanya
“Aku tanya dulu ya ke orang?”
“Udah! Udah! Gak usah! Ha ha ha”, kataku
“Ha ha ha. Monyet udah pulang?”, tanya Dilan
“Udah. Dia ngajak aku ke ITB”
“Kapan?”, tanya Dilan
“Besok katanya”
“Pergi seperti aku dengan Susi?”, tanya Dilan
“Maksudnya?” Aku balik nanya
“Iya seperti aku pergi dengan Susi lalu kau cemburu?”
“Kamu cemburu aku pergi dengan Kang Adi?”, kutanya
“Ah, cemburu itu hanya untuk orang yang enggak percaya diri”
“Jadi?”, tanyaku
“Dan sekarang aku sedang tidak percaya diri”
“Ha ha ha ha ha. Tapi kayaknya enggak ikut deh”
“Aku tidak melarangmu”, kata Dilan
“Tapi kamu sedang tidak percaya diri he he he”
“Kayaknya begitu”
“He he he he Aku gak akan ikut”, kataku
“Oke. Sekarang kamu tidur”
“Kamu juga”, kataku
“Iya”
“Anhar sudah pulang?”, kutanya
“Sudah. Cuma sebentar. Nah, sekarang kamu tidur. Jangan begadang. Dan jangan rindu”
“Kenapa?”, kutanya
“Berat. Kau gak akan kuat. Biar aku saja”
“Ha ha ha Biarin”
Senangnya mendapat telepon dari Dilan. Aku bermaksud kembali ke kamar
dengan hati yang sangat riang, ketika tiba-tiba telepon berdering lagi.
Langsung kuangkat, dan itu masih dari Dilan
“Apa?”, kutanya
“Lupa, tadi. Tolong bilang ke ibumu”
“Bilang apa?”
“Aku mencintai anak sulungnya”
“Ha ha ha ha Tolong bilangin juga ke Bunda”
“Ha ha ha apa?”
“Terimakasih sudah melahirkan orang yang aku cintai”
“Siapa?”, Dilan nanya
“Ada aja”
“Siapa?”
“Kamu! Ih!”, kataku
“Ha ha ha ha”
Dengan senyum dan dengan perasaan yang lain dari biasanya, aku
kembali ke kamar. Kurebahkan lagi diriku di kasur dan berusaha untuk
tidur, tapi agak susah karena pikiranku masih terus dipenuhi oleh Dilan
dan oleh aneka macam cerita yang sudah aku lakukan bersamanya hari tadi.
Kuambil jaket Dilan yang ada di sandaran kursi itu, lalu kupakai untuk tidur bersamanya. “Dilan. Dilanku, selamat tidur juga”
70
Hari minggu, mungkin masih jam tujuh waktu itu, ketika aku nganter
ibu ke pasar yang lokasinya tidak jauh dari rumahku. Tadinya aku gak
akan ikut, tapi daripada kesel di rumah ada bagusnya sekalian olahraga.
Kami berjalan berdua menembus cuaca Bandung yang dingin. Menelusuri
trotoar jalan yang basah oleh embun yang turun semalam, di bawah naungan
pohon-pohon yang daunnya menyimpan sisa kabut.
Kira-kira pukul sembilan, kami sudah pulang dari pasar, mendapati
ayah yang sudah bangun dan sedang duduk di ruang tamu membersihkan
senapan angin ditemani oleh Airin. Ibu ngasih Airin makanan yang tadi
dia pesan.
“Pulang jama berapa malam, Yah?”, tanyaku
“Jam….12″, jawabnya
“Malam Dilan ke rumah, Yah he he he”
“Oh ya? Ngasih yang aneh-aneh lagi?”, tanya Ayah senyum
“Enggak he he he”, jawabku sambil pergi ke dapur nyusul ibu, untuk membantu Ibu dan si Bibi membuat masakan.
Tak lama dari itu, aku mendengar ayah manggil. Rupanya ada tamu, dan dia adalah kang Adi
“Oh, Kang”, kataku
“Ini Om, mau ke ITB sama Lia”, kata Kang Adi ke Ayah. Kang Adi sudah duduk di bangku dekat Ayah.
“Ada acara?”, tanya Ayah
“Acara kampus, Om. Ngajak Lia sekalian memperkenalkan dunia kampus ke Lia”, jawab Kang Adi
“Tapi, Kang. Kayaknya Lia gak bisa”, kataku sambil berdiri dengan tangan
memegang sandaran sofa,”Kenapa tadi enggak nelepon dulu”, tanyaku
kemudian
“Nelepon! Tadi kamunya ke pasar”, kata Ayah
“Tapi gimana yaaa? kayaknya Lia gak bisa”, kataku
“Kamu ini. Orang sudah jauh-jauh datang”,
“Paling sebentar aja”, kata Kang Adi
“Duh, gimana ya?”, tanyaku bingung. Asli bingung. karena aku sudah terlanjur janji ke Dilan untuk gak akan ikut ajakan Kang Adi.
“Gak lama kok”. kata Kang Adi
“Lia ada janji sama temen”, kataku
“Aah, paling sebentar”, kata Ayah
“Duh! Enggak kayaknya, Kang”, kataku
“Orang udah jauh-jauh datang!”, kata Ayah
“Kan Lia belum bilang bisa”, kataku
“Tadi Kang Adi nelepon, Lia nya lagi ke pasar”, kata Kang Adi
“Iya. Udah sebentar aja”, kata Ayah
“Ya udah. Jangan lama, ya, Kang”
“Iya”
Setelah mandi dan ganti pakaian, aku pergi dengan Kang Adi naik mobil
Toyota Corolla DX-nya. Aku harap kamu-kamu yang pro Dilan, bisa
memahami maksudku, mengapa akhirnya aku ikut juga. Ya, kuakui aku sudah
bohong ke Dilan, tapi bukan begitu niatku.
Ini sangat susah kujelaskan, bagaimana aku merasa gak enak sudah
selalu memberi harapan bahwa suatu saat aku akan ikut ajakan Kang Adi
untuk pergi ke ITB. Itu dari semenjak aku belum begitu dekat dengan
Dilan. Ya, aku bisa bilang bahwa ayah tidak mengerti, ketika dia
bilang:”Kamu ini. Orang sudah jauh-jauh datang”, tapi ayah juga bisa
bilang bahwa aku tidak mengerti. Dan aku tak ingin berdebat dengannya,
tapi pasti, kalau kutolak ajakan Kang Adi, Ayah akan menanggung perasaan
gak enak juga.
Dengan hari itu aku ikut, setidaknya aku berharap merasa sudah
seperti lunaslah hutangku, dan itu akan menjadi hari terakhir aku pergi
berdua bersama Kang Adi. Tak akan pernah lagi. Termasuk tak akan pernah
lagi memberinya harapan bahwa aku akan ikut seandainya dia mengajakku
pergi lagi.
Okelah, hari ini aku pergi. Aku bisa menganggapnya sebagai
jalan-jalan biasa. Bukan jalan-jalan khusus sebagai orang yang sedang
pacaran. Aku bisa menganggapnya seolah-olah aku sedang naik angkot dan
kebetulan cuma aku penumpangnya, aku jadi berdua dengan sopir, tetapi
antara aku dengan dia tidak ada hubungan khusus sama sekali.
Atau bisa kuanggap seolah-olah aku sedang naik ojek. Memang pergi
berdua, tetapi tidak pacaran. Bahwa kalau kemudian tukang ojeknya mau
sama aku, aku kan punya hak untuk nolak. Kalau dia macam-macam, Ayah
sudah akan menembak kepalanya.
Lagi pula ini kan cuma sebentar. Toh hal yang paling penting dari
itu, aku cuma ikut, tidak dalam rangka pacaran dengan Kang Adi, meskipun
tetap aku berharap bahwa Dilan gak akan tahu bahwa aku pergi dengan
Kang Adi.
Toh hal yang paling penting dari itu, aku cuma ikut, aku tidak ada
sama sekali punya perasaan suka ke Kang Adi, meskipun tetap aku berharap
bahwa Dilan tak akan memergoki aku sedang berdua dengan kang Adi. Aku
takut dia cemburu dan marah karena sudah dianggap berbohong kepadanya.
Di perjalanan, Kang adi banyak bicara soal ini itu, dari mulai soal
outlet bapaknya di BIP, lagu Air Supply kesayangannya, dan bisnis dia
bersama dua kawannya mahasiswa Senirupa ITB.
“Kita ke sana ya. Bentar. Lihat-lihat aja”, katanya. Tidak kujawab. Kang
Adi membelokkan mobilnya ke arah jalan Kebon Bibit, itu di daerah Taman
Sari, Bandung. Dulu belum ada Mall, jadi masih terlihat sangat asri.
“Ini tempat Kang Adi bisnis kecil-kecilan sama teman senirupa”
“Oh”
“Kecil-kecilan, tapi lumayan”. Katanya lagi. Kemudian mobil berhenti di depan sebuah Paviliun.
“Hayu!”, Kata Kang Adi mengajak aku turun
Aku dan kang Adi masuk. Itu adalah sebuah Paviliun ukuran kira-kira
10 kali 6 meter. Kang Adi dan kawan-kawannya menyewa itu untuk dijadikan
sebagai sebuah toko kecil yang menjual aneka macam handycraft.
Di dalam toko itu, sudah ada dua orang yang sedang ngobrol sambil
ngopi. Orang itu adalah kawan kang Adi, mahasiswa senirupa ITB, namanya
kang Idam (kini sudah Almarhum) dan Kang Soni. Aku berkenalan dengan
mereka.
“Selain toko, ini juga studio buat berkarya. Lia boleh ikut-ikut
bantulah kalau mau”, kata Kang Adi sambil membawaku untuk melihat
barang-barang handycraft itu.
“Nah ini bagus, buat hadiah ulangtahun. Bagus kan? Orang yang dikasihnya
pasti suka. Unik, lain dari yang lain”. Kata Kang Adi memperlihatkan
barang itu.
Kupegang barang itu, serta merta aku jadi ingat TTS yang dikasih oleh
Dilan sebagai hadiah ulangtahun darinya untukku. Bukan handycraft yang
indah dan unik atau mahal, cuma buku TTS, tapi aku senang karena merasa
istimewa oleh betapa ia jadi harus begadang demi mengisi jawabannya agar
aku tidak pusing.
“Bagus”, jawabku sekedarnya
“Kalau kamu mau, ambil aja. Berapa yang ini, Dam?”, tanya Kang Adi ke kawannya
“Itu? 30 ribu”, jawab Kang Idam dari agak jauh
“Gak usah, Kang”, kataku
“Ambil aja”, kata Kang Adi ke aku,”Dam, aku ambil ini ya”, kata Kang Adi lagi ke Kang Idam
“Yoi”, jawab kang idam sambil masih ngobrol sama temannya
“Nah kalau ini dus buat bungkus coklat. Beli coklatnya sih di warung,
terus masukin ke sini. Kreatif kan? Biasanya buat Valentinan gitu lah”,
kata Kang Adi. Kalau Kang Adi pernah denger bahwa Dilan suka ngasih aku
cokelat, dia pikir bahwa itu hal biasa. Tidak, kang. Bukan cokelatnya,
bukan bungkusnya, tapi bagaimana caranya dia memberi ke aku, itu yang
membuatnya menjadi luar biasa.
“Terserah kamu aja, mau yang mana. Atau ini!?’, kata Kang Adi menunjukkan sebuah tempat pinsil
“Nanti aja, Kang”
“Kapan lagi. Udah ambil aja”
“Ya udah ini aja”, katakaku ngambil kotak tempat pinsil itu. Kang Adi nyamperin temannya
“Sini, Lia. Ngobrol dulu”, dia manggil. Aku nyamperin ke sana.
“Kalau mau, kamu bisa bantu-bantu di sini. Belajar bisnis. Bener gak, Son?”, kata Kang Adi ke Kang Soni
“Iya”, kata Kang Soni (Uci Soni)
“Iya, kang. Makasih”, kataku kepadanya
“Ini namanya bisnis kreatif. Lumayan daripada minta ke orangtua”
Kang Adi lalu ngobrol dengan mereka, aku cuma bisa jadi pendengar
yang ingin lekas pulang. Obrolannya soal bisnis dan hal lain yang
terdengar seperti keren, seolah-olah itu sengaja agar aku bisa mendengar
dan jadi kagum kepadanya. Setidaknya itulah tebakanku.
Selesai dari sana. Aku dan Kang Adi langsung berangkat lagi untuk pergi ke ITB
“Udah makan belum?”, tanya Kang Adi
“Udah, Kang”, kataku, “Tadi makan bubur sama ibu, di pasar”.
“Oh. kalau mau makan, nanti aja di kantin kampus”, katanya
“Iya”. Jawabku.
Setibanya di ITB, kami langsung masuk ke gedung fakultasnya Kang Adi.
Di sana ada banyak mahasiswa yang sedang berkumpul di lapangan, pada
asik nonton musik akustik. Kata Kang Adi, sebagian mereka adalah
mahasiswa baru, mereka ditugasi untuk membuat kampus jadi seru. Ajang
kreativitas, katanya. Tapi aku ingin pulang.
“Eh, kenalin, ini Lia”, kata Kang Adi ke temannya
“Oh, Binsar”, kata Binsar memperkenalkan dirinya
“Lia”
“Band mana ini?”, kata Kang Adi ke Kang Binsar yang duduk di samping kanannya
“Mahasiswa baru”
“Oh. Lumayan”
Untuk mereka, itu mungkin acara yang baik, tapi untuk aku, itu sangat
membosankan. Membuat aku ingin pulang. Syukurlah tak lama kemudian Kang
Adi menyadari bahwa aku sudah mulai merasa tidak betah di situ. Lalu
dia mengajak aku untuk pulang.
Di jalan menuju pulang, yaitu di jalan Telaga Bodas, Kang Adi bilang:
“Kang Adi senang bisa jalan-jalan sama Lia he he he”
“Jam berapa sekarang?”, tanyaku
“Jam…..satu. kenapa? Ada acara?”
“Enggak. Janji mau nelepon”, jawabku
“Kok nelepon janjian?”
“Iya”
“Seneng gak tadi ke ITB?”, tanya Kang Adi
“Yaa…Seneng. Makasih, Kang”
“Sama-sama. Kalau Kang Adi sih senengnya karena bisa jalan-jalan sama Lia he he he”
“Naik mobil, Kang”
“Iya. Maksudnya seneng bisa main sama Lia”
“Kang, bisa mampir dulu ke warung itu?”
“Oh boleh. Mau beli apa?’, tanya Kang Adi
“Pesenan Dilan”. Dilan memesannya waktu dia nelepon tadi malam. Entah
untuk apa, sudah kutanya tapi dia bilang nanti aja dijelasin.
“Oh”. Lalu mobil berhenti di pinggir jalan. Aku turun dan segera pergi
ke warung untuk membeli materai. Setelah itu masuk lagi ke mobil
“Beli apa?”, Kang Adi nanya
“Materai”
“Buat apa?”,
“Gak tau. Dilan pesen”, jawabku
“Kok nyuruh-nyuruh perempuan sih?”
“Gak apa-apa, aku juga suka nyuruh dia”, kataku
“Ya tapi kalau sudah nyuruh perempuan, janganlah, hargailah”
“Gak apa-apa. Lia seneng-seneng aja kok, Kang”
“Hati-hati”
“Kenapa?”, kutanya sambil kupandang dia
“Dia anak gengmotor ya?”
“Tahunya?”
“Kan semalam dia pake jaketnya”
“Iya. Lia juga gak suka gengmotor, Kang. Kalau Lia suka ke Dilan atau ke
siapa pun, bukan karena dia gengmotor. Lia suka karena dia baik ke Lia.
Rame”
“Yaaa, kan orang bisa bersandiwara, Lia. Namanya pendekatan ya pasti gitu lah”
“Kang Adi baik ke Lia, ngasih novel, ngasih sweater, sandiwara bukan?”
“Ya bukan lah. Beda. Kang Adi ngasih ke Lia semuanya tulus! ”
“Dilan juga begitu, Kang, tapi tidak ngomong”. Kataku. Kang Adi lalu
diam. Aku berani ngomong gitu ke Kang Adi, karena aku juga merasa dia
sudah berani ke aku menjelek-jelekan orang yang Kang Adi sendiri padahal
sudah tahu bahwa Dilan adalah orang dekatku.
Tak lama kemudian kami sampai di rumah. Kang Adi langsung permisi pamit pulang. Si Bibi bilang tadi ada telepon dari Dilan. Oh!
“Terus apa kata Bibi?”
“Dibilang pergi sama Kang Adi”, kata si Bibi.
Oh Tuhan! Celaka! Tadi lupa tidak pesan ke si Bibi, untuk jangan
dibilang pergi dengan kang Adi kalau nanti Dilan nanya. Ini jelas bukan
salah si Bibi. Serta merta sebagian dari diriku langsung lemas dan juga
dilanda perasaan gelisah yang sangat hebat. Pikiran jadi bingung tak
karuan, gak tahu harus gimana dan bilang apa ke Dilan agar dia mengerti.
Tak ada yang bisa kulakukan, aku langsung telepon Dilan, tapi yang ngangkat malah si Bunda
“Ada Dilan, Bunda?”
“Barusan dia pergi”
“Kemana, Bunda?”
“Gak bilang tuh. Kenapa? Rindu ya?”
“He he he iya. Pergi kemana ya Bunda? Lia ada perlu”
“Ya, nanti kalau dia pulang Bunda bilang suruh nelepon Lia. Oke?’
“Iya, Bunda! Atau bilang aja nanti Lia nelepon lagi. Ya, Bunda, ya?”
“Oke, Cantikku!”
Selesai nelepon aku pergi ke kamar dengan perasaan gak karuan.
Kurebahkan diriku di kasur. Kebayang bagaimana tadi Dilan waktu
mendengar bahwa aku pergi dengan Kang Adi. Dia pasti kecewa karena
merasa sudah kubohongi. Dan Dilan, pasti akan sakit hati, karena siapa
pun dirinya, hatinya tidak terbuat dari marmer.
Aku jadi tambah gelisah, karena teringat lagi omongan Dilan di telepon beberapa waktu yang lalu, waktu dia kutanya:
“Apa yang Dilan gak suka dari perempuan?”
“Kalau dia berbohong”
“Kalau bohongnya kepaksa?”
“Apa susahnya dia bilang?”
“Kalau mau bilang tapi susah?”
“Berarti dia takut, karena pacarnya pemarah”
“He he he”
Sekarang, semuanya sudah terjadi, tak ada lagi yang perlu kusesali.
Aku tinggal pasrah pada konsekuensi yang harus kuterima. Meski aku tetap
harus ngomong, mungkin nanti malam kutelepon, memberinya penjelasan
mengapa akhirnya aku ikut juga ke ITB. Habis itu, terserah Dilan mau
gimana kepadaku. Mudah-mudahan dia maklum.
Kulihat dari jendela, di luar langit mendung, untuk aku yang sendiri
di kamar dan bimbang, rasanya ingin nangis dan berharap langit lebih
baik runtuh saja, agar bisa menguburku, bersama perasaan bersalahku,
maka selesailah semuanya, tak lagi ada yang harus kurisaukan.
71
Meski aku sekarang bisa tersenyum mengenangnya, tetapi yang kurasakan
waktu itu betul-betul sudah membuat diriku berdebar, membayangkan
bagaimana Dilan kecewa setelah tahu aku sudah berbohong.kepadanya.
Membayangkan Dilan akan langsung menjauh untuk kuterima sebagai hukuman.
Aku merasa bersalah dan sekaligus juga malu.
Kau pasti bisa merasakan bagaimana diriku waktu itu. Ketika kau bisa
menahannya untuk tidak sampai menangis, itu karena kamu kuat, tetapi aku
tidak.Sebagian diriku rasanya lunglai oleh tekanan rasa bersalah dan
sekaligus juga malu. Malu pada Dilan yang sudah begitu baik kepadaku.
Ketika aku tak sanggup membalasnya, aku justru malah membuatnya kecewa.
Betul-betul tak pernah kusangka bahwa hari macam itu akan bisa
kualami. Aku kecewa pada diriku sendiri, seperti sedang mendapatkan
harinya, di mana apa-apa yang sudah kubangun selama itu sedang mengalami
keruntuhan oleh akibat perbuatanku sendiri. Ya runtuh, sebetul-betulnya
runtuh, menimbunku dalam keadaan masih hidup untuk bisa berkata:
“Dilan, Dilanku, aku tahu wajar kau marah, tetapi jangan, biar bisa kau
maafkan”
Ah! Mengapa harus ada hari itu, padahal di hari sebelumnya, aku dan
Dilan boleh dibilang sedang mesra-mesranya. Bersikap layaknya dua orang
yang sedang berpacaran. Jalan-jalan dan dia memegang tanganku. Bahkan
aku bisa main ke rumahnya, bagai sebuah hadiah yang paling istimewa
berupa sebuah kesempatan yang sangat kuinginkan
Ketemu Disa, Bang Banar, Bang Landin, Bi Diah dan si Bunda. Bunda
yang ajaib, yang bisa langsung membuat aku merasa bahwa dia adalah juga
ibuku. Aku diajak ke kamarnya, jangan sampai Dilan tahu katanya, dia
menunjukkan kumpulan puisi Dilan kepadaku.
“Mana, Bunda?”, kataku tak sabar, sambil mulai duduk di kasur di samping Bunda
“Ini. Ini! Judulnya Milea he he he”, kata Bunda dengan volume suaranya bagai berbisik
“Waaah”
“Milea 1″
Bolehkah aku punya pendapat?
Ini tentang dia yang ada di bumi
Ketika Tuhan menciptakan dirinya
Kukira Dia ada maksud mau pamer
Dilan, Bandung 1990
“Ha ha ha ha ha bagus, Bunda!”, kataku
“Ssst! Ini buat kamu juga”, kata Bunda menunjuk puisi yang lainnya
“Milea 2″
Katakan sekarang
Kalau kue kau anggap apa dirimu?
Roti cokelat? Roti Keju?
Martabak? Kroket? Bakwan?
Ayolah!
Aku ingin memesannya
untuk malam ini
Aku mau kamu
Dilan, Bandung 1990
“Ha ha ha ha ha”, aku ketawa
“Ha ha ha ha ha”. Bunda juga ketawa. Demi Tuhan! Aku seperti dilambungkan ke angkasa, luas dan penuh warna.
“Bunda, aku boleh mencatatnya?”
“Oh iya! Boleh. Jangan bilang Dilan kamu sudah tau puisinya”
“Iya, Bunda”
“Bunda yang ambil atau kamu? Pulpen sama kertasnya itu di meja”
“Biar Lia aja”. Aku beranjak dari kasur untuk ngambil kertas dan pulpen
di atas meja kerja Bunda dan lalu menyalin puisi Dilan yang dia bikin
untukku. Semuanya ada empat belas. Puisi lainnya tidak kucatat, karena
banyak, terkumpul dalam satu buah buku tulis.
“Bunda, Lia senang. Suka”
“Bilanglah ke Dilan”
“Katanya jangan bilang?”
“Oh, lupa he he he”
“Ini buat Disa ya?”, tanyaku untuk sebuah puisi:
Dik, jangan pergi jauh-jauh
Kan ada darahku di tubuhmu
Dilan, Bandung 1990
“Iya”
“Merinding”
“Pas Bunda bacain ke Disa. Disa menjawab “Iya” ha ha ha”
“Ha ha ha ha!”
“Ha ha ha ha!”
“Bunda, Dilan pernah punya pacar? He he he”, tanyaku
“Seperti ke kamu?”, Bunda nanya balik. Nampaknya Bunda selalu beranggapan aku sudah pacaran dengan Dilan.
“Ng..Iya”
“Tidak seperti ke kamu”
“Kalau Bunda jadi Lia gimana rasanya kalau dapat puisi ini?”
“Bunda akaan…..terimakasih ke ibunya, karena sudah membocorkan puisi-puisinya”
“Ha ha ha ha. Makasih, Bunda”
“Ha ha ha ha”
Kamu bisa bayangkan setelah itu, setelah semuanya terbangun dengan
indah, lalu aku bertemu hari minggu, hari di mana Kang Adi datang ke
rumahku untuk aku merasa terpojok sehingga sulit bisa menolak ajakannya
sebagaimana yang sudah kujelaskan, lalu aku pergi dan kemudian semuanya
terjadi: bangunan itu, yang sudah begitu indah, bagai runtuh tiba-tiba.
Hari Seninnya, aku terbangun sebelum subuh, terduduk di atas kasur,
dan sendirian. Rasanya sangat sunyi, rasanya sangat hampa, rasanya
seperti orang yang baru kehilangan sesuatu dan paling berharga dalam
hidupnya. Suara sunyi, di luar dan di dalam kamarku juga. Kupeluk diriku
untuk bisa memeluk jaket Dilan yang sedang kupakai. Aku merasa malu
sama Dilan sudah membuatnya kecewa, bahkan tadi malam, sebelum tidur,
aku tidak berani mengucapkan:”Selamat tidur juga, Dilan”Pokoknya, aku
harus ketemu Dilan di sekolah. Meski bingung dengan kalimat apa harus
kumulai. Serta merta, dalam pikiran yang kalut, aku mencoba menyusun
kata-kata, berharap bisa bicara dengan lancar pada saat nanti kujelaskan
semuanya. Kukira tidak gampang, mengingat posisiku adalah sebagai orang
yang bersalah yang harus berhadapan dengan orang yang makin sini
semakin wibawa di mataku.
72
Di sekolah, hari itu, kalau kamu bertemu denganku, mungkin akan
melhatku nampak murung. Memang iya, dan badan ini rasanya juga lesu.
Perasaan bimbang diubek-ubek persoalan yang tengah kuhadapi, jadi
kemelut yang melanda pikiran sepenuhnya.
Diam-diam kucari Dilan, tapi sampai jam istirahat, tak juga kunjung
ketemu. Aku sempat menduga hari itu Dilan mungkin tidak masuk, atau dia
sekolah, tapi sembunyi, karena tidak mau bertemu denganku yang sudah
membuatnya kecewa.
Kemana Dilan? Bisa saja kutanya Wati, tapi mana mungkin dia tau. Dia
tidak tinggal satu rumah dengan Dilan, juga tidak sekelas. Aku bisa cari
sendiri dengan pergi ke warung Bi Eem, berharap jumpa dengan dia. Tapi
yang kudapati di sana cuma ada Piyan, Anhar dan: Susi! Susi bersama dua
teman perempuannya, kalau tidak salah namanya Sari dan Iis.
Melihat ada Susi, tadinya aku mau langsung balik lagi, malas rasanya
kalau harus gabung dengan orang macam dia, kau mengertilah pasti,
terlebih dengan kondisi aku yang sedang sensitif oleh rasa kesal
dibebani persoalan dan menstruasi.
Karena Piyan memanggilku dan juga didorong oleh rasa gengsiku yang
tak mau jadi Pecundang seolah takut sama Susi, akhirnya aku masuk. Aku
tidak langsung nanya Dilan, gak enak rasanya ada Susi.
“Tumben. Ada apa?”, tanya Piyan sambil bergeser dari duduknya untuk memberi aku tempat
“Pengen mampir aja”, jawabku sambil mulai duduk
“Nyari Dilan!”, kata Anhar yang duduk dekat Susi, dia bicara seraya
makan kue dan tidak memandangku. Nada suaranya juga gak enak didengar,
membangkitkan imajinasi untuk ingin merobek mulutnya
“Sampai dicari-cari gitu”, kata Susi nimbrung, kutangkap matanya
sebentar mendelik ke arahku sambil menghembuskan asap rokoknya. Kukira
dia tahu aku sedang memandangnya.
“Kalau aku cari Dilan emang kenapa?”, kutanya Anhar sambil kupandang
dirinya. Jarak antara aku dengan Anhar hanya dua meter. Mereka duduk di
kursi yang lain.
“Jangan terlalu dikekanglah!” kata Anhar sambil menghisap rokoknya.
“Apa maksudmu?”, tanyaku.
“Ga ada maksud apa-apa”, jawab Anhar sambil berdiri dan lalu bergerak
ngambil kue di meja itu. Kupandang dia dengan perasaan yang marah tetapi
bisa kutahan.
“Udah. Makan dulu, Lia”, kata Piyan, lebih bermaksud untuk mendinginkan suasana
“Iya, Piyan. Gak ke Wati?”, Tanyaku. Maksudku kenapa Piyan tidak gabung dengan Wati di kantin sekolah
“Enggak. Nanti pulang bareng”
“Emangnya harus bareng terus?”, Susi bicara seolah bukan ke aku. Tidak
kutimpali. Aku cuma diam sambil bingung harus ngapain. Kuambil kue dan
langsung kumakan
“Bareng terus laaaah sampai
memble he he”, kata Anhar sambil duduk makan kue
“Eh. Bentar! Maumu apa sih?”, mendadak aku berdiri sambil berkacak
pinggang menghadap ke arah Anhar, tetapi juga sekaligus ke Susi cs.
“Apa?”, kata Anhar seolah tidak mengerti apa-apa
“
Anjrit, wanian kieu?”. Sari mulai bicara dalam bahasa Sunda, artinya: Anjrit, sok berani gini?
“Aku bicara ke Anhar!”, kataku ke si Sari dengan nada yang sedikit agak tinggi.
“Udah. Udah. Har”, kata Piyan sambil berusaha menyuruh aku duduk, tapi aku tetap berdiri.
“Jawab, Har!”, kata Susi
“
Naon? Ka aing?!!!“, kata Anhar mendongakkan kepalanya kepadaku. (Apa? Ke saya?)
“Iya!”, jawabku dengan nada yang tinggi
“Aku cuma nasehati kamu!”, jawab Anhar memandangku
“Har, udah!’ Kata Piyan sambil berdiri. “Lia. Kita keluar aja”, sambung Piyan kepadaku.
“Bentar”, kataku menolak ajakan Piyan
“Udah. Udah”, kata Piyan meraih bahuku untuk sedikit memaksa aku pergi keluar
“Bawa lah
ka luar. Trouble maker!”, Kata Anhar
“Heu’euh!”, Susi menimpali. Sesaat setelah itu, aku maju dan langsung merenggut kerah baju si Anhar. Anhar berdiri.
“Sekarang kau mau apa?!”, kataku dengan mata melotot. Piyan bergerak
memposisikan dirinya berada di antara aku dan Anhar, berusaha melerai.
Susi dan kawan-kawannya sudah mulai berdiri. Anhar berusaha
menyingkirkan tanganku yang memegang kerah bajunya. Tetapi cengkramanku
sungguh kuat. Kulihat mata Anhar mulai marah, dia mendorongku membuat
aku nyaris jatuh untung bisa kutahan.
“Neng, udah. Jangan berantem”, kata Bi Eem berdiri dari memasak
bala-bala.
Sesaat kemudian tiba-tiba Anhar menampar pipiku. Sangat keras dan sakit
rasanya. Aku berusaha membalas tetapi mengenai bahu Piyan. Piyan mulai
kewalahan untuk bisa berusaha melerai walaupun akhirnya bisa juga dia
pisah. Aku langsung pergi keluar disusul oleh Piyan. Kudengar Susi dan
kawan-kawannya bicara dengan kata-kata yang tidak enak kudengar.
“Piyan, mana Dilan?”, kataku menangis sambil berjalan dengan Piyan menuju sekolah
“Gak sekolah kayaknya”, jawab Piyan. Aku diam
“Ada apa Lia?”, tanya Piyan
“Ga apa-apa, Piyan”
Setelah masuk ke sekolah, kami ketemu Wati yang nanya kenapa aku
nangis, kukira orang lain yang kebetulan ada di sekitar diriku juga pada
lihat aku nangis. Ah, seandainya bisa kutahan saat itu.
“Gak apa-apa”, jawab Piyan. Aku, Piyan dan Wati masuk ke kelas.
Orang-orang yang sudah ada di kelas pada bingung ada apakah gerangan,
Rani, Revi dan beberapa yang lainnya mulai berekerumun, mengitariku yang
sudah duduk dengan Wati. Piyan tetap berdiri. Aku masih nangis sambil
menutup mukaku dengan kedua telapak tanganku.
“Kenapa?” tanya Wati mendongak ke arah Piyan, mungkin dia kuatir aku nangis karena Piyan
“Berantem sama Anhar”, jawab Piyan. Kayaknya kepaksa harus Piyan katakan biar Wati tidak menuduh dirinya.
“Hah? Kok? Gara-gara apa?”, tanya Wati ke Piyan.
“Gak tau. Tiba-tiba berantem”
“Kok gak tau?”, Wati nanya lagi. Tidak lama kemudian datang Anhar. Dia
masuk ke kelas. Kuduga dia mau meminta maaf. Sebagian orang yang
mengelilingiku bergeser untuk memberi jalan ke Anhar agar bisa
menemuiku. Wati berdiri
“Kamu apain?”, tanya Wati ke Anhar.
“Ga diapa-apain”, jawab Anhar
“Bohong!”, kata Wati
“Lia, maaf”. Kata Anhar. Tapi tidak kujawab.
“Tadi gak sengaja. Gak ada maksud menamparmu”, kata Anhar lagi
“Hah? Kamu tampar?!” tanya Wati
“Gak sengaja, Wat”, jawab Anhar
“Bilangin
siah ke si Dilan”, kata Wati. (
Siah: luh)
“Gak sengaja. Beneran. Tadi panik”
“Ah bilangin
ku aing“, kata Wati. (
Ku Aing = Oleh aku)
“Beneran gak sengaja, Wat. Lia, maaf ya”
“Udah sana!!!!”, kata Wati mengusir Anhar. Piyan sih diam terus.
“Lia, Maaf”, kata Anhar lagi
“Udah sana! Sana! Sana!” kata Wati mulai bergerak berusaha mengusir Anhar. Anhar akhirnya pergi.
Mengenangnya hari ini, mungkin aku bisa senyum, tetapi itulah
harinya, hariku, hari yang penuh dengan aneka macam masalah. Ketika
pelajaran dimulai, semuanya menjadi normal kembali, tetapi pikiran dan
juga perasaanku tentu saja belum.
————————————————————————————————–
BERSAMBUNG (Sampai sini sudah 75 %)
** selengkapnya bisa dibaca langsung di bukunya yaa (^^, )v