Dari Komunitas Peduli Pengasuhan Anak (KIPAS) yang saya ikuti, ada oleh-oleh yang boleh dishare umum yang dikutip dari sini.
Berikut isi artiket tersebut:
Wartapilihan.com, Jakarta — Seringkali pola asuh masa kecil mendatangkan dosa-dosa pengasuhan ketika menjadi orangtua. Hal ini disampaikan Elly Risman, psikolog sekaligus Trainer di Yayasan Kita dan Buah Hati, Senin, (17/10/2017).Banyak sekali hal terjadi dalam pengasuhan yang merupakan kebiasaan atau sesuatu yang otomatis, tak bisa dikendalikan dan dilakukan berulang-ulang oleh orang tua pada anaknya. Umumnya hal itu terjadi dalam keadaan yang terdesak, tegang, kurang waktu dan tergesa-gesa.Elly menceritakan pengalaman tentang masa pola asuh orangtuanya dulu, untuk mengambil pelajaran. Ia mengatakan, ayahnya dulu mengajarkan anak-anaknya untuk menghormati setiap tamu yang datang ke rumah dengan memberi makan.“Beliau menginginkan tamu-tamu itu makan dulu baru berbincang bincang. Karenanya, kalau lama saja sedikit ayah saya akan bertanya : ”Sudah siap Ma atau Elly? Boleh cepat sedikit?”Elly menjelaskan, hal ini terjadi berpuluh tahun, maka sudah jadi kebiasaan pula bagi sekeluarga untuk menawarkan atau sudah langsung menyiapkan makan untuk tetamu kami bila waktu makan tiba.Seiring dengan kebiasaan tersebut, maka ia mengatakan, jadi terbiasa pula lah saya mengatakan : “Cepat sedikit!” Pada anak-anaknya. Nah, setelah punya cucu, tak terelakkan saya menyaksikan bagaimana anak-anak saya sering mengucapkan hal yang sama dalam cara yang berbeda pada anak-anaknya. Terutama itu tadi, kalau buru-buru, sudah telat, dan situasi lain yang serupa.“Inilah yang saya sebutkan bahwa pengasuhan itu di turun-temurunkan,” imbuh Elly.Dia melanjutkan, masing-masing keluarga pada dasarnya miliki kebiasaan sendiri dan aturan serta harapan yang juga berbeda. Pada umumnya orang tidak menyadari bahwa kebiasaan pengasuhan yang dilakukan sehari-hari merupakan pengulangan dari bagaimana dulu dia diasuh.“Hanya orang-orang yang sungguh-sungguh sadar ada yang salah dengan cara pengasuhannya dulu dan sudah sepenuhnya dirasakanya dampak tidak baik dari cara pengasuhan tersebut, yang berjuang untuk tidak melakukan hal yang serupa,” tukas dia.Secara otomatis, anak yang dibesarkan dengan tenang, kata-kata yang baik dan suara yang lembut serta perlakuan yang respek, semua tertib dan teratur, akan menjadi orang tua yang sama pula bagi anak-anaknya. “Ringkasnya, anak yang dibesarkan dengan cubitan akan mencubit, dan yang biasa dengan pukulan akan menampar,”Elly sebagai psikolog menemukan, terdapat temuan penelitian yang bertahun-tahun dilakukan, menunjukkan bahwa cara pengasuhan akan berdampak sangat jauh berupa gaya bicara dan sikap, termasuk bahasa tubuh orang tua. Ia mengajak para orangtua dapat mengenali dan memotong kebiasaan buruk yang dilakukan sehari-hari.Metode Tazkiyatun Nafs untuk Obati Inner ChildElly memberitahu tips-tips untuk meminimalisir sifat-sifat buruk yang terkandung dalam inner child, yaitu (1) berdamai dengan kenyataan, (2) memaafkan orangtua yang telah membentuk diri sedemikian rupa, (3) meminta ampun (bertaubat) kepada Allah, dan (4) memulai bicara dengan tersenyum terlebih dahulu.“Saya mengajak diri saya dan Anda orang tua terpelajar yang baik hati untuk mengenali dan kemudian memotong kebiasaan-kebiasaan buruk dalam pengasuhan yang kita lakukan sehari hari,” pungkas Elly.Menurut Ustadz Harry Santosa, pelopor pendidikan berbasis fitrah, Tazkiyatun nafs merupakan bahasa al-Quran untuk melakukan terapi secara alamiah dan fitriyah apa-apa yang menyebabkan diri berperilaku buruk.“Tiada cara yang baik dan mengakar kecuali memperbaiki jiwa sebelum memperbaiki fikiran dan amal,” papar Harry.Harry menjelaskan, belum pernah ada surat di dalam Al-Qur’an dimana Allah bersumpah begitu banyak, sampai 11 kali, kecuali untuk pensucian jiwa “sungguh beruntung mereka yang mensucikan jiwanya” yang tercantum pada surat as-Syams.“Warisan pengasuhan masa lalu dalam dunia psikolog sering disebut Inner Child, kadang sehebat apapun ilmu parenting atau psikologi yang kita pahami, tetap saja di tataran praktis yang kita pakai adalah apa yang pernah kita alami ketika kecil,” lanjut dia.Ia memisalkan, orangtua tahu membentak dan menjewer itu buruk, namun ketika kekesalan memuncak maka hilang semua pemahaman, yang ada lagi lagi membentak dan menjewer.“Ada terapinya untuk ini, namun sebaiknya kita menggunakan jalur alamiah dan syar’i yaitu Tazkiyatunnafs, atau pensucian jiwa. Ini perlu waktu, perlu momen, perlu keberanian utk keluar dari zona nyaman dan instan,” Ustadz Harry melanjutkan.Al-Quran juga mengingatkan bahwa sebelum ta’lim maka penting untuk tazkiyah lebih dulu. Dalam prakteknya dapat dilakukan secara paralel, karena begitu orangtua berniat sungguh-sungguh mendidk anak sesuai fitrahnya, maka sesungguhnya tanpa sadar mengembalikan fitrah kita atau sedang tazkiyatun nafs.Dalam buku tarbiyah Ruhiyah, dia menambahkan, pensucian jiwa itu bisa dilakukan dengan 5 M. Pertama, mu’ahadah, yakni mengingat-ingat kembali perjanjian kita kepada Allah. Baik syahadah, maksud penciptaan, misi pernikahan, doa-doa ketika ingin dikaruniai anak, menyadari potensi-potensi fitrah.“Kedua, muroqobah, yakni mendekat kepada Allah agar diberikan qoulan sadida, yaitu ucapan dan tutur yang indah berkesan mendalam, idea dan gagasan yang bernas dalam mendidik, sikap dan tindakan yang pantas diteladani,” lanjut Ustadz Harry.Ketiga, orangtua perlu untuk melakukan muhasabah, yakni mengevaluasi terus menerus agar semakin sempurna dan sejalan dengan fitrah dan kitabullah, bukan obsesi nafsu dan orientasi materialisme.Adapun yang keempat, mu’aqobah, yakni menghukum diri jika tidak konsisten dengan hukuman yang membuat semakin bersemangat dan juga semakin konsisten untuk tidak melalaikan amanah.“Terakhir, bermujahadah, yakni bersungguh-sungguh menempuh jalan fitrah dengan konsisten, membuat perencanaan dan ukuran-ukurannya,” pungkas dia.Nama Penulis artikel ini adalah Eveline Ramadhini
#RuangBerkaryaIbu
#IbuProfesional
#MandiriBerkaryaPercayaDiriTercipta
#KenaliPotensimuCiptakanRuangBerkaryamu
#Proyek2RBI
#Day59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar