Selasa, 10 Juli 2018

Pentingnya Memahami Perasaan Anak - Day 60 RBI

Ada oleh-oleh cemilan lagi nih dari diskusi dengan Bunda Lisna dan Bunda Erlik dari Rumah Parenting, sebuah komunitas yang digagas oleh salah seorang sahabat saya yang pertama kali dikenal saat program matrikulasi Ibu Profesional di pertengahan tahun 2017 kemarin, Bunda Rasmi Widya Rani, atau yang lebih akrab dengan panggilan Ninda alias nin mudahihi.. My lovely powerful mate. Ninda punya slogan atau motto khusus yang berbunyi, "Uti pantang mati gaya." Kereeen!



Berikut resumenya:
Resume materi kulwap ttg *Pentingnya Memahami Perasaan Anak*
Senin, 9 Juli 2018

Bersama *Bunda Erlik Isfandiari*
Pelatih Parenting di RUMAH PARENTING.

Pada umumnya orangtua kurang peduli dgn kemampuannya untuk mengenali perasaan anak.

Beberapa merasakan sangat tidak mudah untuk melakukannya. Terlebih jika ada masalah dengan anak, dan seringnya melibatkan perasaan yang cenderung emosional.

Bagi para orangtua yang sudah tahu pentingnya menamakan perasaan anak pun terkadang masih bingung melakukannya.
Mereka sudah melihat perubahan pada mimik  muka anak tapi ketika di ekspresikan tidak atau kurang  tepat, sehingga anak masih merasakan orangtua blm memahami perasaannya. Bagi anak orangtua yang tidak berusaha memahami perasaan anak, ditangkap sebagai tidak memahami dirinya. Berarti penting bagi kita untuk sering berlatih menamai perasaan anak.

Dalam berlatih biasanya dipandu di kelas parenting dengan praktek bicara. Karena ketika belajar dan berlatih bersama terjadi proses di dalam sambungan otak, memillih tahapan sehingga orangtua mendapatkan pengalaman ABC atau Affective, Behaviour, dan Cognitif. 
Apalagi jika ditambah dengan mempraktekkan berulang-ulang karena proses penguatan di dalam otak terjadi dgn pengulangan. Itu sebabnya mengapa kita diajarkan untuk selalu istiqamah dalam mengerjakan kebaikan. Dalam hal ini kita terus berproses mendidik dan membangun kebiasaan dengan membuat pijakan yang akan menjadi sambungan kuat di dalam otak, agar supaya pada waktunya menjadi sebuah perilaku positif yang menetap. Jadi bukan sesuatu yang main-main, apalagi dengan menginginkan hasil yang cepat dan instant.

Salah satu cara memahami perasaan anak misalnya, dengan tetap berusaha menyebutkn perasaan apa yg sedang terjadi, atau dialami oleh anak. Meskipun kadang tidak tepat, tetap perlu dilakukan. Ketika yang terjadi salah dalam menebak atau tidak tepat menggambarkan perasaan anak, orangtua bisa memberikan respon yg ringan tergantung situasinya, misalnya :

"Hehee ....mama salah ya..." Lalu orangtua tetap melanjutkan menebak dengan perasaan yg memungkinkan ...dan benar. 

Hal penting yang perlu diketahui dari dampak orangtua Mengenali dan memahami perasaan anak, nantinya akan berhubungan dengan komunikasi dan pembentukan konsep diri pada anak.

Ada sepenggal kisah keseharian yang sering tanpa sadar kita lihat atau mungkin kita alami sendiri, meskipun dalam kasus dan situasi yang berbeda. 

Setiap pagi ada saja yang terjadi di rumah. Suatu ketika ayah dan ibu/suami istri punya masalah yg belum terpecahkan, sampai2 keduanya tidak saling bicara dan mengobrol, apalagi saling canda atau makan pisang goreng hangat dan teh panas manis di sore hari. Ternyata masalah yang terjadi antara ayah dan ibu belum menemukan solusi. Sehingga  muka sang ibu yg sedang cemberut tiba-tiba berubah dan memerintah si sulung yang pagi itu  hendak  sarapan pagi.

"Kak segera habiskan sarapanmu, kalau tidak berangkat sendiri sana!". 

Si sulung menjawab dengan agak kaget krn sarapan saja belum, apalagi ketika dilihat lauknya makanan yang tidak disukainya, " Aku ga mau makan pake semur, kan aku udah bilang ga suka semur Bau..!"
 "Bibiiii..biii..biibik. bikinin telooor..!".
Tiba-tiba si sulung berteriak spontan.

Tentu saja teriakannya mengganggu ibu.
"Kenapa sih kakak pagi2 teriak2 kayak nggak tahu bibi lagi nyuci. Huuh..!" 

"Cepeet biii...bibiii!!", seperti tidak peduli keluhan ibu, suara si sulung makin keras. Sementara itu bibi tetap asyik dengan cuciannya, mungkin tidak mendengar teriakan kakak, sehingga si sulung ngambek.

Dalam waktu bersamaan..tiba2 si ade keluar kamar dengan muka yg terlihat 'kumel' sambil ngomel.."Bu rambutku ini gimanaaa..ade ga suka modelnya, kemarin tukang salon ga becus motong rambut ade, ade gamau sekolah ahh..malu!!".

Ibu langsung terbelalak matanya dan tidak dpt menerima ucapan Ade.
 "Jangan berkata begitu segera ambil tasmu dan masuk mobil...!!" Ibu menghardik dengan nada ketus.

Belum selesai bicara si kecil tiba2 sesenggukan karena telor yang mau dimakan sudah keduluan dimakan si sulung. Si ibu akhirnya bilang, " Sudahlah Dee makan yang ada, keburu siang nih!". 

"Tapi Ade kan ga suka ini buuu..hiks..!!". Jawab Ade dgn nada yg makin tinggi. Ibu tetap memaksa Ade karena sdh tidak sempat untuk menggoreng telor lagi..πŸ˜ŸπŸ˜”πŸ˜£πŸ˜©

Dapat dibayangkan...suasananya, penuh dgn emosi.
Cuplikan cerita di atas mungkin sering kita temui, terutama di pagi hari. Saat semua orang harus bergegas berangkat n beraktifitas pagi. 

Cerita tersebut menggambarkan dlm berkomunikasi pasti melibatkan perasaan. Makin emosional situasi makin dalam perasaan yg terlibat.

Perasaan berperan sangat penting dlm komunikasi. Kalau kita menebak perasaan yg muncul pada anak dlm cerita. Kita dpt merasakan munculnya perasan terpaksa, tertekan, dan terabaikan.

Yang muncul semua perasaan "negatif", hal ini yg membuat anak malas utk bicara/berkomunikasi selanjutnya.
Bayangkn jika hal ini sering terjadi, lama kelamaan anak merasa dirinya tdk diperhatikan,  merasa dicuekin, marah, sedih, tdk dihargai, benci, iri dengan kakak, dsb. Sehingga komunikasi jadi terhambat, jika ini terjadi maka emosi akan mudah terpicu dan meledak. Contohnya ibu baru menegur, " Kak kalau abis belajar rapikan mejanya jangan langsung kabur begitu". Anak bisa jadi langsung nyolot, " Apaan sih ibu inii..sebel deh!". 
Mungkin dengan jawaban lain yg menunjukkan emosi negatif.

Agar komunikasi berlanjut, nyaman, orangtuapun jadi tahu jika anak sdg memiliki masalah, dan ada "peluang" untuk sharing dgn orangtua, sehingga membuat anak belajar mencari solusi dan mengelola emosi dg cara yang baik, bukan dgn marah marah.

Selain dgn memahami perasaan dgn menamakan, menyebutkan, atau menebak emosi yg terlihat pd anak, pada saat yg sama orangtua juga sdg melatih anak untuk membawa emosi dr pusat "Perasaan" di otak ke pusat "Berpikir/cortex. Agar anak belajar mengontrol kata2 meskipun dlm keadaan marah.

Sehingga anak mudah diajak bicara dan sering dibawa BMM/ Berpikir Memilih dan Memutuskn  jika mengalami masalah.

#RuangBerkaryaIbu
#IbuProfesional
#MandiriBerkaryaPercayaDiriTercipta
#KenaliPotensimuCiptakanRuangBerkaryamu
#Proyek2RBI
#Day60






1 komentar:

  1. MasyaAllah luar biasa sharing nya, trimakasihπŸ€—, dulu anak saya sekolah di Azzahra TK milik Bunda Erlik, ilmu parenting nya sm persis seperti ini menamai perasaan anak, tdk akan sy lupakan 😊

    BalasHapus